Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menyimak Indonesia dari "Banda: The Dark Forgotten Trail"

9 Agustus 2017   00:20 Diperbarui: 9 Agustus 2017   16:27 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pertama kali menonton film dokumenter di bioskop ketika duduk di kelas 3 SMP, kalau tidak 1982 atau tahun 1983. Biasanya pada liburan semester kami sekeluarga bertandang ke rumah kakak ibu sekitar 3 atau 4 hari. Nah waktu libur itu ayah rutin mengajak suami kakak ibu, saya dan seorang adik saya menonton film.

Biasanya yang ditonton adalah film thriller dan yang menentukan film yang ditonton ayah atau paman. Tapi hari itu saya tertarik pada iklan di Pikiran Rakyat yang berjudul kalau tidak salah "Mission over Falkand". Film dokumenter bukan film cerita. Saya bersikeras menonton film itu, setelah debat yang cukup panjang, akhirnya ayah dan paman setuju.

Di luar dugaan cukup banyak yang menonton, walau tidak penuh. Film itu yang mengungkapkan tentang kronologi Perang Malvinas ternyata memikat ayah dan paman, serta adik saya. Sinematografinya bagus dan tentu saja editingnya apik dari kompilasi berapa reportase. 

Benar-benar tidak membosankan dan tidak ada penonton yang ke luar dari ruangan. Durasinya sekitar 90 menit sama dengan rata-rata film panjang. Adegan yang saya sukai ialah perang tanding pucara Argentina dengan kapal-kapal Inggris benar-benar dapat.

Berkat menonton film itu otak saya bisa menerima film dokumenter. Walaupun saya baru menonton film dokumenter di arena Jiffest pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Baru pada 2007 saya menonton "Earth" di sebuah bioskop di Jakarta dengan penonton hanya 7 orang.

Kami bertujuh tidak ada yang keluar hingga film habis, benar-benar menikmati film yang tokoh utamanya beruang kutub, gajah dan ikan paus. Film ini hanya berdurasi 90 menit itu sinematografinya indah dan editingnya juga ciamik.

Saya suka adegan landscape dari atas beruang di atas padang es, paus di tengah laut yang biru dan gajah di padang sabana. Pantas biayanya 109 juta dollar. Saya diajak bersimpati kepada tiga tokoh utama itu yang terancam habitat kelangsungan hidupnya.

Hasilnya saya menjadi penggemar "National Geographic".

Film dokumenter yang ketiga saya tonton, Minggu 6 Agustus 2017 lalu adalah "Banda: The Dark Forgotten Trail". Produsernya adalah kawan saya kuliah di Fakultas Sastra UI (sekarang FIB), satu jurusan sejarah pula.

Besar ekspetasi saya film itu memukau saya di bangku bioskop seperti dua film dokumenter yang saya ungkapkan dengan kriteria di atas: sinematografi berarti kekayaan gambar dan cara bertutur yang memikat.

Saya menonton di Blok M Square pertunjukan 19.15 dengan jumlah penonton 40 orang.

"Banda: The Dark Forgotten Trail" dibuka dengan gambar landscape Kepulauan Banda dari atas. Kemudian diikuti pembacaan narasi dari Reza Rahadian menceritakan sejarah kepulauan penghasilan rempah-rempah itu, komoditi yang mahal di seluruh dunia terutama pada abad 15 hingga 17. Pala pengawet makanan, penghangat tubuh, hingga status kekayaan.

Para pedagang China menyembunyikan rempah-rempah di bawah timbunan sutera. Para pedagang Arab menyebarkan kabar bohong tentang penduduk yang suka memotong kepala.

Bangsa Portugis dan Spanyol kemudian mencari jalan ke tempat rempah-rempah berasal. Bagi yang gemar membaca buku sejarah narasi mengungkapkan bahwa nama Banda sudah disebutkan dalam Negara Kertagama, Babad Tanah Jawi, hingga sebuah mitos "Langit menjatuhkan 99 buah keemasan" yang diyakini asal usul pala dan cerita kelompok lima (uli lima) dan kelompok sembilan (uli siwa).

Perjanjian Tordesilas pada 7 Juni 1494 hingga akhirnya Belanda menguasai Banda dengan cara yang keji sebetulnya bukan hal yang baru bagi mereka yang menyimak pelajaran sejarah bahkan tingkat SMA sekalipun.

Ilustrasi sejarah digambarkan dengan ilustrasi animasi peta kuno dengan cokelat sephia agar terkesan antik. Untuk urusan sejarah film yang disutradarai Jay Subiakto cukup padat, informatif dan berisi. Termasuk kisah pengasingan Hatta dan Syahrir, yang membuat dua dari sebelas pulau itu diabadikan dengan nama mereka.

Hanya saja saya baru tahu kalau Hatta dipanggil warga setempat sebagai Om Kacamata.

Selain bagian sejarah lewat narasumber sejarawan, ada juga menerangkan tentang tanaman pala dengan narasumber pemilik perkebunan. Informasinya menarik, misalnya pala yang bermutu itu yang kering setelah diasapkan. Kalau masih berair bisa berjamur. Masalahnya harga pala yang kering dan yang masih ada kadar airnya sama.

Film ini memberikan informasi komplit soal masyarakat Banda yang sudah "Indonesia" karena dulunya ada orang Jawa, Melayu, serta berbagai etnik lainnya yang didatangkan sebagai pekerja karena penduduk Banda sudah berkurang. Pulau itu meninggalkan sejak sejarah yang banyak sekali seperti dua belas benteng, rumah tempat Hatta dan Syarir tinggal. Harusnya bisa jadi wisata sejarah, demikian saya pikir.

Sinematografi untuk ilustrasi bagian budaya ini juga menarik dengan tari-tarian yang kalau memperhatikan dengan seksama ada berbagai unsur. Penggunaan anak-anak dengan obor, menjelajah situs bekas benteng, mungkin sebagai metafora bahwa sejarah Banda harus diwariskan pada generasi mudanya. Itu yang saya tangkap.

Hanya saja memang kekayaan gambar tidak bisa dibandingkan dengan "Earth" yang saya tonton sepuluh tahun lalu karena budgetnya beda. Namun bagi masyarakat awam saya kira sudah cukup. Kalau dihitung budget dengan hasil yang didapat saya kira maksimal.

Sekarang apa apresiasi penonton? Saya tidak masalah. Orang di sebelah saya asyik dengan WA-nya sejak pertengahan cerita, tetapi begitu cerita konflik Maluku muncul dia menyimpan kembali ponsel cerdasnya. Tujuh penonton meninggalkan ruangan sebelum film berakhir. Tapi saya intip di Filmindoensia.or.id penonton Banda menacapai 14 ribu, lumayan karena lebih tinggi dari "Earth".

"Banda: The Dark Forgotten Trail" jadi salah satu topik pembicaraan di Komunitas Truedee (pencinta novelis Dewi "Dee" Lestari), baik di grup WA maupun di reuni sehari sebelum saya menonton. Bagi kami film itu bergizi. Memang penonton yang mendominasi jam pertunjukkan saya usia mahasiswa hingga 50 tahunan.

Oh, ya ending film ini Reza membacakan puisi karya Chairil Anwar "Cerita Buat Dien Tamaela" petikannya begini: Beta Pattirajawane ketika lahir dibawakan Datu dayung sampan/Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala/Beta api di pantai.

Dalam skenario "Aku" yang ditulis Sjuman Jaya yang jadi bacaan tokoh Rangga dalam "Ada Apa dengan Cinta?", Dien Tamaela digambarkan termangu kagum ketika Chairil membacakan puisi itu. Begitu juga dengan saya setelah Reza membacakan kalimat terakhir dari puisi itu: Beta Pattirajawane yang dijaga datu-datu. Cuma satu.

Saya pun termangu kagum. "Banda: The Dark Forgotten Trail" memberikan pesan dalam untuk dibawa pulang: Jangan lupakan sejarah dan jati diri Banda, karena saya bisa belajar ke-Indonesiaan dari Banda.

Hasilnya? (mudah-mudahan) saya menjadi lebih Indonesia.

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun