Saya pertama kali menonton film dokumenter di bioskop ketika duduk di kelas 3 SMP, kalau tidak 1982 atau tahun 1983. Biasanya pada liburan semester kami sekeluarga bertandang ke rumah kakak ibu sekitar 3 atau 4 hari. Nah waktu libur itu ayah rutin mengajak suami kakak ibu, saya dan seorang adik saya menonton film.
Biasanya yang ditonton adalah film thriller dan yang menentukan film yang ditonton ayah atau paman. Tapi hari itu saya tertarik pada iklan di Pikiran Rakyat yang berjudul kalau tidak salah "Mission over Falkand". Film dokumenter bukan film cerita. Saya bersikeras menonton film itu, setelah debat yang cukup panjang, akhirnya ayah dan paman setuju.
Di luar dugaan cukup banyak yang menonton, walau tidak penuh. Film itu yang mengungkapkan tentang kronologi Perang Malvinas ternyata memikat ayah dan paman, serta adik saya. Sinematografinya bagus dan tentu saja editingnya apik dari kompilasi berapa reportase.Â
Benar-benar tidak membosankan dan tidak ada penonton yang ke luar dari ruangan. Durasinya sekitar 90 menit sama dengan rata-rata film panjang. Adegan yang saya sukai ialah perang tanding pucara Argentina dengan kapal-kapal Inggris benar-benar dapat.
Berkat menonton film itu otak saya bisa menerima film dokumenter. Walaupun saya baru menonton film dokumenter di arena Jiffest pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Baru pada 2007 saya menonton "Earth" di sebuah bioskop di Jakarta dengan penonton hanya 7 orang.
Kami bertujuh tidak ada yang keluar hingga film habis, benar-benar menikmati film yang tokoh utamanya beruang kutub, gajah dan ikan paus. Film ini hanya berdurasi 90 menit itu sinematografinya indah dan editingnya juga ciamik.
Saya suka adegan landscape dari atas beruang di atas padang es, paus di tengah laut yang biru dan gajah di padang sabana. Pantas biayanya 109 juta dollar. Saya diajak bersimpati kepada tiga tokoh utama itu yang terancam habitat kelangsungan hidupnya.
Hasilnya saya menjadi penggemar "National Geographic".
Film dokumenter yang ketiga saya tonton, Minggu 6 Agustus 2017 lalu adalah "Banda: The Dark Forgotten Trail". Produsernya adalah kawan saya kuliah di Fakultas Sastra UI (sekarang FIB), satu jurusan sejarah pula.
Besar ekspetasi saya film itu memukau saya di bangku bioskop seperti dua film dokumenter yang saya ungkapkan dengan kriteria di atas: sinematografi berarti kekayaan gambar dan cara bertutur yang memikat.
Saya menonton di Blok M Square pertunjukan 19.15 dengan jumlah penonton 40 orang.