Gunung Kapur, Padalarang, waktu Tak diketahui. Malam hari.
Cerita Nanda Andryas
“Bang Ahmady, Kang Nana, ini pembajak nomor Alif akhirnya bicara dan dia mengaku sebagai bidadari di surga! Nggak mungkin hantu, kan?” geram aku.
“Paling anak asuh cewek dari germo itu,” sahut Nana setengah tertidur di matras di hamparan pasir.
“Kalau dia kontak lagi dan saya ada, kasihkan saya. Biar saya minta bicara dengan bosnya. Masih saja mau mempermainkan orang yang sudah meninggal. Nanti saya buat meninggal benaran…” Ahmady menggerutu.
“ Kenapa Di? Gerombolan germo itu lagi menteror?” Yola juga setengah tertidur di balik sleeping bag-nya.
“ Frisca juga sering dikontak, Cuma ketika ditelpon balik tidak diangkat. Itu terjadi setahun terakhir ini…” ujar aku. “Aku tahu karena sudah lama aku kos di tempat Alif. Dia kerap dapat SMS katanya dari bidadari Kang Alif di surganya. Namanya Zahra…”
“Adik alif? Ah perempuan semua lagi yang diteror. Saya sumpahin mereka mati di tangan Inong Balee..” geram Ahmadi. “Katanya namanya Zahra? Jangan-jangan di belakangnya Si Zainal mucikari di Jakarta itu.”
“Jadi kalau kita mati, Dan? Bisa masuk surga, lalu dilayani 72 bidadari,” celetuk seorang serdadu yang terbangun oleh percakapan kami.
“ Luhpengen masuk surga? Salat yang rajin sana! Bertemu 72 bidadari, serakah amat! Satu saja tidak beres. Sissy, anak Semarang itu kamu permainkan, kan? Dia nangis di markas, tahu?. Untung kalian belum menikah dan belum ngapai-ngapain. Kalau sampai hamil, awas kau Sersan Iqbal! Untung saya yang menghadapi. Kau tahu sendiri kalau komandan kita mendengar anak buahnya mempermainkan perempuan.”
Yola tergelak. “Mmmh.. patriarki lagi.. enak benar ya laki-laki dapat 72 bidadari…”