Tepat pukul tiga sore. Mariana Rossa Nilamaya, Coorporate Coomunication Hotel Bandung Permai baru saja keluar dari ruangannya Dia selalu berdiplomasi wartawan yang hendak mengkonfirmasi soal penggrebekan polisi di hotel itu, sesuai perintah manajemen yang intinya: tanyakan sama polisi”.
Namun kali ini Alif yang wajahnya dia hafal. Dia menarik ke sebuah coffee shop yang letaknya ekskusif. Di tempat yang eksklusif pula. “Berlaku sebagai teman aku. Simpan tape kalian. Semua off the record...” katanya.
Alif terpukau di usianya berkepala tiga, Mariana justru di puncak kecantikannya. Dia menerima Alif dan Harum. Alif mencium tangannya seperti masa lalu.
“Teteh… saya belum mendengar kabar Zahra lagi…dia bersama anak-anak Pak Nanang menghilang ketika aku sudah lulus SD, ketika Zahra sudah di atas umur tiga tahun…”
Mariana meneteskan air matanya. “Kamu menyukainya. Dia anak cantik. Kalau dia sudah remaja kamu pasti naksir…”
Harum diam dan menyimak percakapan mereka sebelum masuk masalah. “Siapa Zahra Teteh…”
Mariana menceritakannya dengan pelan. Harum tersentak mendengarnya. Dia geram. Tetapi setelah Mariana menuntaskan ceritanya, lalu dia melirik Alif. Kali ini tidak dengan dingin, tetapi memberikannya rasa hormat seperti waktu dia di FIB. “Atas nama perempuan terima kasih...” bisiknya.
“Ok, sekarang apa yang terjadi…”
“Andy Wahyudi itu klien penting kami. Pemilik saham terbesar hotel ini kawan dia. Juga Pandu...mantanku. Mereka kerap pemesan jasa Om Willy untuk gathering di Bali, Singapura, Lombok...Backingnya dari berbagai kalangan...juga politisi Jakarta...”
“Bisa sebut namanya?” Harum tak sabar.
“Sayang saya tidak tahu Alif. Saya pernah melihatnya wajah di televisi, terkenal kok, tetapi saya muak melihat dan mendegar berita politik…”