Alif sebetulnya ingat kasus itu. Kasus yang ingin dilupakannya. Ayah Harum hanya seorang petani, tidak berdaya. Tetapi dia punya otak pintar hingga mampu kuliah.
Cerita klise sih, anak orang kaya itu lolos dari jerat hukum. Bapaknya bisa bayar pengacara mahal untuk menyudutkan Harum sebagai mahasiswi yang nyambi.
“Kami dekat sewaktu sama-sama di pencinta alam. Aku mencintai dia. Waktu itu Aku ingin mengawininya dan siap. Tetapi ayahku tidak setuju. Tetapi sebetulnya bukan aku yang diharapkannya? Sebetulnya aku juga mengharapkan orang itu jadi pahlawannya,”
Alif tertengun dan dia duduk berhadapan dengan anak yang tanpa tandeng aling menceritakan sikap hidupnya. Kisah hidup isterinya nyaris serupa dengan ibunya Zahra. Hanya saja ada pahlawan yang mau berkorban untuk dia.
“Kekuatan apa yang mendorongnya mau mengorbankan hidupnya untuk perempuan itu dan mau mengorbankan masa depannya. Cinta?” kata Alif.
“Ha...ha...ha...Yang membuat aku marah bukan karena ayahku melarang aku mengawini perempuan hamil bukan oleh perbuatan aku. Tetapi karena ayahku munafik. Dia mengkihanati ibuku dengan menghamili perempuan lain…”
“Gila… kamu ingin memberikan keadilan pada ibumu dengan cara memberikan keadilan pada istrimu itu?”
“Kamu bisa menebak, kawan. Tetapi aku mencintai Harum, karena dia anak bersemangat. Dia ingin jadi wartawan seperti kamu. Ketika dia melaksanakan tugas kuliah mewawancarai putra seorang pejabat, dia dijebak. Kamu mungkin akan mengingatnya?”
“Kamu memelihara anaknya, kawan?”
“Ya, dia melahirkan di koloni ini. Selama di sini dia juga memberikan aku seorang anak lagi. Tetapi dua-duanya tetap anakku. Oh, ya Harum juga pengagummu”
Alif terdiam. Satu ceritanya seperti bangkit dari kubur.