Lalu pelan-pelan Alif bercerita apa yang dia tahu tentang Mariana Rossa.
Zahra mendengarkannya dengan seksama. Dia hanya sekali menangis. Dia berkata lantang. “Aku mau memaafkan ibu aku, karena memilih melahirkan aku dan tidak menggugurkan aku. Tetapi aku tidak memaafkan laki-laki yang seharusnya jadi ayahku.”
“Selanjutnya ketika sudah besar, Kakanda bertemu ibumu kembali. Karirnya bagus. Dia tidak pernah menikah. Kemudian…”
Zahra menutup mulut Alif. “Sudah aku tidak siap mendengar cerita selanjutnya. Manusia di luar sana lebih kejam dari binatang. Bagi aku yang penting ke depan, kakanda tidak akan meninggalkan aku, kan? Kakanda tinggal di dunia aku saja, ya? Apa pun yang kakanda mau aku layani asal tidak meninggalkan aku?”
Alif mengangguk.
“Sudah siang. Kita tangkap ikan, lalu kita masak sendiri,” kata Zahra dengan cepat tertawa. “Aku diajarkan caranya oleh kawan yang bertugas untuk itu. Kita menangkapnya dari udara Kak.”
Zahra mengeluarkan semacam jala dari kantungnya yang digulung dengan rapi. “Harus kerjasama ya, kak?”
DUA PULUH
Beberapa hari setelah pesawat dari maskapai penerbangan Archipelago Airlines jatuh di laut di Kepulauan Riau. Bandara Hang Ngadim
Ibu tua itu termanggu di lobi bandara. Didekapnya foto Alif erat-erat. Sang suami termanggu. Mata mereka tak henti-hentinya menyaksikan melihat televisi berita jatuhnya pesawat Archipelago Airlines.