Alif segera meloncat turun dan ke luar kamar. Zahra tidak lari dia menunggu dengan tenang. Wajah Alif merah padam. Buku itu catatan harian yang selalu ia bawa. Itu pasti buku catatan terakhir ketika ia berangkat ke pesawat. Halaman yang dibacakan Zahra adalah halaman-halaman pertama. Itu dia harap.
“Kakak.” Dia berkata lembut.
“Barang-barang apa lagi yang tersisa? Kamu menyimpan semua.” Alif panik.
“Anggap saja sebagai salah satu tukaran untuk mendapatkan bidadarimu?” Dia berdiri tanpa rasa takut sedikit pun, matanya yang tajam seperti elang menatapnya sejajar matanya karena tinggi mereka memang sepantar terasa lebih menusuk.
“Kamu baca semua?”
Zahra tidak menjawab. Dia kemudian mengajak Alif menuju sebuah lemari di rumahnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak. Wajahnya takjub melihat Zahra mengeluarkan fotonya waktu masih sembilan tahun dengan seorang bayi, sudah kusam karena sudah belasan tahun perkiraannya.
Selain itu ada ponselnya yang dia prediksi sudah rusak. Mungkin ditemukan di kantungnya. Alif menebak siapa yang memberi foto itu pada Zahra.
“Zahra ingin tahu seperti apa tampang penyelamat hidupku.” ucapnya lirih. “Orang yang lebih baik dari ayahku. Mungkin juga ibuku.”
“Ayahmu memang brengsek. Tetapi ibumu tidak,” ucap Alif.
Zahra melotot. “Kamu tahu ibuku? Ceritakan?”
Alif mengangguk. “Tidak di sini, tetapi di luar…”