“Baik, …artinya aku boleh tahu semua tentang diri kamu dan apa yang kamu tahu tentang diri aku.”
Alif memeluknya.
“Kalau begitu di luar kita ngobrol saja. Soal sibar-sibar kapan-kapan, kalau kamu mau?” Dia berhenti bersedih. Dia kembali memperlihatkan wajahnya yang meledek. Sesuatu yang mulai disuka oleh Alif, Zahra bisa mengontrol emosinya.
“Kalau begitu, main-mainnya sekarang saja…”
Alif menyerah. Dia seperti panglima pasukan penjaga kota terkepung mengibarkan bendera putih. Tapi yang menyerbunya bukan pasukan besar, hanya Zahra sendiri.
“Tapi jawab dulu pertanyaannya.Siapa Mariana? Siapa Yola? Siapa Frisca? Siapa pula Nanda?”
“Nanti aku jelaskan. Tiga orang perempuan yang dekat dengan saya selain ibumu. Hanya kamu bidadariku.”
“Kamu tidak akan mencari sampai tujuh, kan? Apalagi sampai 72?”
“Ya, nggaklah. Satu saja sudah repot.”
Zahra mengangguk. Tampaknya dia percaya. Alif lega.
“Besok kita harus kerja seperti yang lain. Hari ini hari terakhir kita senang-senang. Aku harus kembali ke bengkel dan kakak ke tempat orangtua.”