Dia mengangguk.
“Seram sekali cara kalian menerima tamu?”
Zahra tak segera menjawab terus melihat seolah dia sudah menjadi mainannya. Tangannya menopang dagunya agar bisa melihat Alif lebih kuat.
“Seram yaa? Aku suka melihat kakanda ketakutan. Tahu nggak, aku tertawa setelah itu.”
“Lalu kok pakai ditiup? Pakai apa? Aku langsung lemas.”
“Serbuk dari sebuah tanaman di tempat ini. Cahaya ini juga dari bahan yang ada di tempat ini. Agar calon pangeranku tidak bisa melihat aku secara jelas. Aku bisa dan aku memutuskan kakakanda benar-benar pangeranku yang aku mimpikan atau tidak.”
“Kalau tidak?”
“Banyak tanya. Nanti kakanda tahu sendiri. Banyak waktu untuk itu.”
Tempat ini? Pulau? Negeri? Atau?
Zahra terus melihat. Alif jadi canggung. Tetapi dia tetap mengunyah rotinya sambil meneguk air yang dituang Zahra.
“Zahra Putri Fajar, rasanya aku pernah ingat nama itu. Tetapi aku lupa. Apa Déjà vu…”