Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Saran Saya, Ridwan Kamil Sebaiknya (Memilih untuk) Melanjutkan Karya di Bandung

7 April 2017   17:11 Diperbarui: 9 April 2017   18:30 1291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ridwa Kamil (Kredit Foto: Infobandung)

Pilkada Jawa Barat tidak sepanas PIlkada DKI Jakarta.  Berapa calon yang disebut dalam media dan survei cenderung lurus dan tidak mengundang resistensi  yang besar. Netty Heriawan, isteri Ahmad Heriawan, Gubernur Jawa Barat saat ini   sekalipun dicibir sebagai bagian dari fenomena dinasti, tetapi penolakan hanya dari kalangan kritis dan bukan dari grass root.  Calon lain ialah Wakil Gubernur Deddy Mizwar hanya ditolak oleh orang-orang yang tidak suka pada PKS dan saya tidak yakin apakah di grass root demikian.  Secara integritas di mata saya tidak ada masalah sebetulnya dengan Deddy Mizwar.

Calon kuat lain datang dari Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang berapa waktu lalu dideklarasikan oleh Partai Nasdem dan Bupati Purwakarta Deddy Mulyana yang kemungkinan diusung oleh Partai Golkar.   Ada juga nama Dede Yusuf yang kemungkinan diajukan oleh Partai Demokrat.  Secara integritas ketiganya tidak punya masalah. 

Hanya saja bagi Ridwan Kamil hanya karena dia didukung oleh partai yang dianggap pendukung penista agama bakal menjadi tanda tanya, khususnya untuk Partai Gerindra dan PKS, pengusungnya dulu pada Pilwakot Bandung 2013.

Dari kalangan pendukung Ridwan Kamil sewaktu mencalonkan diri menjadi Wali Kota Bandung  tidak bulat. Sebagian masih lebih suka Ridwan Kamil lebih baik memilih opsi mencalonkan kembali menjadi Wali Kota Bandung untuk periode 2018-2023.   Hingga saat ini saya, warga Jawa Barat, termasuk di antara yang lebih suka Kang Emil meneruskan jabatannya.

Revitaliasi Taman dan Trotoar Memang Membuat Warga Happy

Bagi para pendukungnya Kota Bandung sudah banyak berubah. Sejumlah taman di kota Bandung menjadi hidup.  Mulai dari alun-alun, Taman Musik, Taman di Ujungberung, Taman Vanda, Taman Pers, Taman Pramuka dan masih ada sejumlah taman.  Jalur bagi pedestrian atau trotoar juga diperbaiki. Saya kalau ke Bandung gemar berjalan kaki bisa duduk di bangku sepanjang Jalan Braga dan Asia Afrika.  Sejumlah trotoar akan diperbaiki.

Walaupun bagi yang kritis apa yang dilakukan Kang Emil masih berupa kosmetik, tetapi setidaknya menurut saya warga Bandung yang ingin cari hiburan atau meredakan stress dan tidak punya uang banyak, masih ada saluran gratis. Sejumlah taman dan trotoar akan terus dibenahi, sekalipun masih di sekitar pusat kota atau yang dilalui wisatawan. Jadi masih perlu lima tahun untuk keseluruhan Bandung.  

Revitalisasi Taman Tegallega, misalnya  diharapakan  baru tuntas dalam empat tahun. Taman yang luasnya 16 hektar ini akan dilengkapi perpustakaan dan ruang pameran di ruang bawah tanah.   Pedagang Kaki Lima diakomodasi tetapi hanya untuk jenis kuliner di sisi Barat waktunya bergantian dengan parkir.  Sebanyak 30-40 persen dari taman dibangun, namun tetap ada resapan air. Revitalisasi  taman ini perkirakan menelan biaya Rp88 miliar (Pikiran Rakyat, 9 Februari 2017).

Persoalan yang berkaitan dengan Ruang Terbuka Hijau ini ialah peruntukkan lahan Eks Palaguna. Menurut pemerhati  kebudayaan dari Bandung Herry Dim  kawasan itu erat kaitannya dengan legenda Sumur Bandung  dan Adipati Wiranata Kusumah II ketika menancapkan tongkatnya pada 25 Mei 1811 sebagai permulaan alun-alun Bandung  dan keberadaan Kota Bandung. Kawasan itu adalah kawasan budaya yang harus dilindungi.

Bagi saya kawasan eks Palaguna adalah salah satu bagian dari  romantis historis. Waktu kecil, pada 1970-an kerap diajak main ke Elita Teater oleh Bibi saya (Kakak dari Ibu) ketika berlibur ke Bandung atau oleh ayah saya ketika diajak menonton film.  Begitu juga ketika Nusantara Teater dibangun dan akhirnya jadi Palaguna pada 1980-an hingga 1990-an menjadi tempat hang out kami sekeluarga ketika berada di Bandung. 

Saya lebih suka kalau pun menjadi areal komersial bangunan di lahan eks Palaguna mempertahankan karakter umum kawasan kota lama, yaitu bangunan berderet dengan lantai rendah  satu hingga tiga lantai.   Aji Binarsono dari Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung malah menyebutkan bangunannya hanya 1 hingga 2 lantai.   Dia mengecam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang ditetapkan Desember 2015 yang memberikan legitimasi pemanfaatan lahan untuk bangunan dengan banyak lantai.

Booming Sarjana

Persoalan lain yang haru diselesaikan Ridwan Kamil jika terpilih menjadi Wali Kota pada periode kedua ini ialah  persoalan sosial ekonomi.  Sebagai kota Pendidikan Bandung punya keuntungan yaitu banyaknya perguruan tinggi, baik di kota maupun di suburban seperti Jatinangor.  Jumlah lulusan perguruan tinggi  yang menjadi warga Kota Bandung menjadi melimpah. Dari sekitar 2,7 juta Bandung (cari data BPS) populsi orang terdidik sudah di atas 10 persen dari populasi.   

Di satu sisi industri kreatif, menjamurnya band indie adalah buah dari limpahan lulusan atau mereka yang pernah kuliah di perguruan tinggi.  Sebagian besar UMKM yang saya data  lulus atau pernah mengenyam pendidikan tinggi . Sekalipun  jumlah mereka yang terlibat di  UMKM  kontribusinya kurang dari 2 persen  dari populasi  kota, tetapi mereka ikut menyelamatkan  kota dari bahaya penangguran. Begitu juga dengan musisi Bandung  berlatar belakang universitas. 

Begitu juga dengan mereka yang terlibat di industri musik. Update dari tulisan saya sebelumnya sudah berhasil mendata lebih dari 200 kelompok musik dan band baik yang label maupun yang idie berasal dari Kota Bandung dan sekitarnya antara 1990-an hingga saat ini.   Personel 2-7 orang (ada yang lebih) dan itu belum terhitung penyanyi solo.  Latar belakang pendidikan yang baik membuat mereka bisa mencari jalan ke luar untuk bertahan. 

Jika dihitung dengan manajer dan berbagai usaha yang hidup jika  Bandung menjadi kota musik, maka  jumlah tenaga kerja yang tertampung mencapai ribuan orang, karena dihitung dengan komunitasnya, mereka yang terkait dengan musik di Bandung  menurut taksiran saya mencapai puluhan ribu dan bukan tidak mungkin mencapi satu persen dari populasi.   

Hal ini sudah terbangun   sejak 1950-an dimulai dengan berdirinya IKIP Bandung kini menjadi UPI, Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan, Universitas Pasundan, Universitas Islam Bandung, cikal bakal STT Telkom dan Sekolah Tinggi Pariwisata  sekarang  dan beberapa universitas kecil hanya dalam kurun waktu lima  tahun antara 1954 hingga 1959. 

Mungkin saja yang kuliah di sana juga ada yang datang dari luar kota Bandung, tetapi kontribusinya besar menumbuhkan lapisan terdidik baru gelombang kedua di kota Bandung –setelah politik etis 1910-an.  Saya meminjam istilah neo Priyayi yang disebut Van Niel  menjadi “Neo Menak” bagi lapisan baru kedua ini.   Lapisan ini menjadi kuat sejak 1980-an dan 1990-an karena semakin banyaknya unversitas yang berdiri.

Lapisan terdidik inilah  salah satu faktor yang  memenangkan Ridwan Kamil pada 2013.  Kelompok yang potensial menjadi pembangun tetapi juga sekaligus paling potensial menjadi perusak.  Kerusuhan Mei 1963 dimulai dari perguruan tinggi . Namun lapisan terdidik ini yang juga meredam tidak terjadinya kerusuhan Mei 1998 di Kota Bandung.   Lapisan terdidik ini tersegmen oleh berbagai ideologi dari kanan hingga kiri, sama-sama kuat di Kota Bandung.

Sampai saat ini hanya  Ridwan Kamil yang  begitu direspon oleh para lulusan perguruan tinggi dan menariknya hingga saat ini Kang  Emil diterima oleh kalangan “religius” maupun “sekuler”. Keputusan Kang Emil   untuk tidak tergiur memperebutkan DKI Satu adalah keputusan tepat memperkokoh posisinya untuk menyelesaikan tugas di Kota Bandung.  Berbagai kebijakannya dalam setahun terakhir ini soal perayaan Natal di Sabuga, tetapi juga mengakomodasi Islam di sisi lain dilakukan dengan tepat dan proporsional.

Kang Emil harus memecahkan masalah bahwa banyak lulusan sarjana menganggur. Angka penganguran di Kota Bandung tinggi  hingga September 2015, tercatat ada 90.000 warga Kota Bandung yang tidak bekerja alias menganggur. Kebanyakan para penganggur ini adalah lulusan S1.  Jumlah yang berbahaya bila tidak diselesaikan dengan tepat.

Pemberian akses terhadap UMKM merupakan jalan keluar dan tampaknya kebijakan Kang Emil dengan menjadikan Kiara Condong sebagai sentra industri kreatif  sudah tepat arahnya dan perlu seperti itu lagi.  Kang Emil juga mempermudah perizinan, sehingga UKM langsung bisnis.

Pertumbuhan UKM di Bandung 7,8%,  lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia itu 4,7%. Bandung punya keuntungan UKM sifatnya eksperimental dan nyeleneh.  Mungkin Kang Emil masih perlu melakukan pemberian intensif bagi pelaku industri wisata seperti kafe bisa dilakukan  karena musik juga akan hidup. 

Saya tidak yakin sampai saat ini ada calon wali kota lain yang bisa mengatasi masalah ini.  

Sektor Informal

Tantangan yang berat  dan menentukan masa depan Kota Bandung adalah penyelesaian masalah Pedagang Kaki Lima atau sektor informal (UKM yang lebih kecil). Pada satu sisi keberadaan pedagang kaki lima bertabarkan dengan estetika kota dan menimbulkan masalah lain seperti terganggunya eksistensi  pedestrian.  Di sisi lain  keberadaan sektor informal adalah katalisator dari pengangguran. Penyelesaiannya ialah dengan relokasi ke tempat yang dianggap pemerintah kota sebagai lokasi yang tepat.

Sayangnya dalam sejumlah kasus beberapa relokasi pedagang kaki lima yang dilakukan Pemkot kerap tidak disertai solusi bagaimana para pedagang kaki lima bisa mendapatkan pembeli yang sebanyak berjualan di tempat lama.  Kasus yang terjadi pada PKL Kosambi adalah salah satu contohnya. Pemindahan  PKL dari yang tadi berjualan di trotoar ke Lantai Bawah Masjid Attaubah ternyata tidak membawa hasil yang memadai.  Padahal ada pedagang dengan berjualan di kaki lima bisa membuat empat anaknya  bisa mengakses pendidikan menengah hingga perguruan tinggi (Pikiran Rakyat, 25 Februari 2017).

Begitu juga dalam kasus PKL di Jalan Purnawarman problem yang serupa.  Kerap jumlah PKL terlalu banyak dengan daya tampung di tempat relokasi.

Penyelenggaraan event yang mendatangkan pengunjung  mungkin salah satu solusi. Tempatnya cukup memungkinkan untuk penyelenggaraan pameran, live music hingga seminar. Promosi adanya event itu harus kuat dan rutin.    

Saya sendiri pernah  melihat pedagang kaki lima yang direlokasikan ke basement alun-alun.  Memang mereka dapat pembeli karena pengunjung alun-alun akan ada yang turun ke bawah. Tetapi  tempat itu tidak punya daya tarik lain.  Perlu ada terobosan, seperti misalnya live music dengan  memanfaatkan musisi  indie.  Terobosan lain ialah menjadikan penjualan buku murah dengan merelokasi penjual buku di Jalan Dewi Sartika. Tentu perlu promosi  dan penataan yang detail.   

Terobosan yang membawa hasil sejauh itu ialah Teras Cihampelas, wisata dapat, solusi pedagang kaki lima juga dapat dan semua sinergi. Seharusnya pedagang kaki lima bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan menengah ke bawah atau para backpacker yang berkunjung ke Bandung.  Persoalannya hanya sektor kuliner hingga saat ini yang paling memungkinkan untuk menjadi bagian dari industri pariwisata.      

Kebijakan Pemkot untuk membebaskan warga miskin dari kewajiban membayar pajak bumi dan banunan  dengan menggunakan skema subsidi silang dari wajib kalangan menengah ke atas terobosan lain. Sekitar 1300 dari 63 ribu warga miskin PBB dibebaskan.  Kebijakan yang dilontarkan pada Maret 2017 ini membutuhkan verifikasi yang akurat (Pikiran Rakyat, 15 Maret 2017).

Bidang transportasi Kang Emil selangkah maju dengan memperkenalkan metro kapsul untuk light ral transit, yang menurut klainnya dibangun dua tahap.  Tahap pertama Stasiun Bandung-Alun-alun sepanjang tiga kilometer tampaknya rampung pada 2017 ini.  Dalam sehari 10 ribu penumpang terangkut, kalau terealisasi (Pikiran Rakyat, 6 April 2017).

Saya menebak keberadaannya bukan saja pada transportasi warga Bandung, tetapi juga daya tarik wisata. Yang terakhir harus dipikirkan membangun budaya sadar wisata warga Bandung. Usaha homestay dengan biaya ekonomis bisa mendatangkan daya tarik bagi backpacker.

Teras Cihampelas (Kredit Foto Kompas).
Teras Cihampelas (Kredit Foto Kompas).
Tantangan di PIlgub Jabar Berbeda

Dari parpol pendukung hingga saat ini baru Partai Nasdem yang menyatakan dukungannya terhadap Ridwan Kamil sebagai Gubernur DKI Jakarta. Seorang wartawan senior Usep Romli HM menyebutnya sebagai langkah terburu-buru.  Nasdem adalah partai yang tidak populer di Jawa Barat terbukti hanya lima kursi di DPRD. Sementara Nasdem kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok juga menjadi perhatian warga Jabar. Pilgub Jawa Barat berbeda dengan DKI Jakarta. Nasdem sulit mencari kawan koalisi. Selain itu niat Nasdem juga tidak gratis, meminta Kang Emil ikut mendukung Jokowi pada 2019.

Gerindra sendiri sudah menyebut mendukung Ridwan Kamil kalau ia menjadi kader partai itu, sebuah syarat yang berat. Gerindra agak sulit bersanding dengan Nasdem. Begitu juga PKS, partai kedua yang mendukung Kang Emil waktu menjadi pilwakot Kota Bandung tampaknya lebih mengarah ke Netty Heryawan atau Deddy Mizwar. Gerindra juga menawarkan syarat mendukung Prabowo untuk 2019.

Saya tidak setuju Kang Emil diseret-seret untuk ikut persaingan Jokowi-Prabowo jilid II karena PIlgub Jawa Barat.   

Dari argumen di atas rasanya saya sepakat dengan Relawan Kota Bandung bahwa kemajuan Kota Bandung saat ini harus dipertahankan dan perlu dua periode seperti Risma di Surabaya.  Juru bicaranya Ben Wirawan mengungkapkan dua periode adalah masa ideal untuk menyempurnakan programnya. Dia juga menyebutkan masalah transportasi harus juga menjadi prioritas untuk dituntaskan dan itu perlu dua periode.

Masalahnya seorang pendukung keras Ridwan Kamil yang kerap menjadi kawan diskusi saya menyebutkan bahwa  ada target yang lebih besar kalau jabatan Gubernur Jabar bisa didapatnya pada 2018 besok. Bukan tidak mungkin Kang Emil jadi alternatif calon Presiden pada 2024.  Langkah lompat tangga.  Tetapi kalau itu targetnya bukankah keberhasilannya memimpin Bandung bisa menjadi barometer?  Jangankan 2024, peta politik 2019 –sekalipun diprediksi Jokowi masih kuat- bisa berubah.

Hingga saat ini walau saya bukan warga Bandung, tetapi mencintai Kota Bandung, saya berharap agar Ridwan Kamil lebih memilih menjadi calon  Inkumbent di Pilwakot Bandung, di mana pendukungnya masih sangat besar, daripada Pilgub Jawa Barat yang masih cair.  Ibarat pepatah jangan sampai melihat burung terbang tinggi di langit, punai di tangan dilepaskan.

Irvan Sjafari       

Sumber:

Bimarsono, Aji, “Polemik Pemanfaatan Lahan”  dalam Pikiran Rakyat, 22 Februari 2017.

Dim, Herry,  “Menyoal Eks Palaguna” dalam Pikiran Rakyat, 22 Februari 2017.

HM, Usep Romli , “Seandainya Nasdem Tinggal Sendirian”, Pikiran Rakyat, 22 Maret 2017

https://daerah.sindonews.com

http://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/3152895/ukm-di-bandung-berkembang-pesat-ridwan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun