Booming Sarjana
Persoalan lain yang haru diselesaikan Ridwan Kamil jika terpilih menjadi Wali Kota pada periode kedua ini ialah persoalan sosial ekonomi. Sebagai kota Pendidikan Bandung punya keuntungan yaitu banyaknya perguruan tinggi, baik di kota maupun di suburban seperti Jatinangor. Jumlah lulusan perguruan tinggi yang menjadi warga Kota Bandung menjadi melimpah. Dari sekitar 2,7 juta Bandung (cari data BPS) populsi orang terdidik sudah di atas 10 persen dari populasi.
Di satu sisi industri kreatif, menjamurnya band indie adalah buah dari limpahan lulusan atau mereka yang pernah kuliah di perguruan tinggi. Sebagian besar UMKM yang saya data lulus atau pernah mengenyam pendidikan tinggi . Sekalipun jumlah mereka yang terlibat di UMKM kontribusinya kurang dari 2 persen dari populasi kota, tetapi mereka ikut menyelamatkan kota dari bahaya penangguran. Begitu juga dengan musisi Bandung berlatar belakang universitas.
Begitu juga dengan mereka yang terlibat di industri musik. Update dari tulisan saya sebelumnya sudah berhasil mendata lebih dari 200 kelompok musik dan band baik yang label maupun yang idie berasal dari Kota Bandung dan sekitarnya antara 1990-an hingga saat ini. Personel 2-7 orang (ada yang lebih) dan itu belum terhitung penyanyi solo. Latar belakang pendidikan yang baik membuat mereka bisa mencari jalan ke luar untuk bertahan.
Jika dihitung dengan manajer dan berbagai usaha yang hidup jika Bandung menjadi kota musik, maka jumlah tenaga kerja yang tertampung mencapai ribuan orang, karena dihitung dengan komunitasnya, mereka yang terkait dengan musik di Bandung menurut taksiran saya mencapai puluhan ribu dan bukan tidak mungkin mencapi satu persen dari populasi.
Hal ini sudah terbangun sejak 1950-an dimulai dengan berdirinya IKIP Bandung kini menjadi UPI, Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan, Universitas Pasundan, Universitas Islam Bandung, cikal bakal STT Telkom dan Sekolah Tinggi Pariwisata sekarang dan beberapa universitas kecil hanya dalam kurun waktu lima tahun antara 1954 hingga 1959.
Mungkin saja yang kuliah di sana juga ada yang datang dari luar kota Bandung, tetapi kontribusinya besar menumbuhkan lapisan terdidik baru gelombang kedua di kota Bandung –setelah politik etis 1910-an. Saya meminjam istilah neo Priyayi yang disebut Van Niel menjadi “Neo Menak” bagi lapisan baru kedua ini. Lapisan ini menjadi kuat sejak 1980-an dan 1990-an karena semakin banyaknya unversitas yang berdiri.
Lapisan terdidik inilah salah satu faktor yang memenangkan Ridwan Kamil pada 2013. Kelompok yang potensial menjadi pembangun tetapi juga sekaligus paling potensial menjadi perusak. Kerusuhan Mei 1963 dimulai dari perguruan tinggi . Namun lapisan terdidik ini yang juga meredam tidak terjadinya kerusuhan Mei 1998 di Kota Bandung. Lapisan terdidik ini tersegmen oleh berbagai ideologi dari kanan hingga kiri, sama-sama kuat di Kota Bandung.
Sampai saat ini hanya Ridwan Kamil yang begitu direspon oleh para lulusan perguruan tinggi dan menariknya hingga saat ini Kang Emil diterima oleh kalangan “religius” maupun “sekuler”. Keputusan Kang Emil untuk tidak tergiur memperebutkan DKI Satu adalah keputusan tepat memperkokoh posisinya untuk menyelesaikan tugas di Kota Bandung. Berbagai kebijakannya dalam setahun terakhir ini soal perayaan Natal di Sabuga, tetapi juga mengakomodasi Islam di sisi lain dilakukan dengan tepat dan proporsional.
Kang Emil harus memecahkan masalah bahwa banyak lulusan sarjana menganggur. Angka penganguran di Kota Bandung tinggi hingga September 2015, tercatat ada 90.000 warga Kota Bandung yang tidak bekerja alias menganggur. Kebanyakan para penganggur ini adalah lulusan S1. Jumlah yang berbahaya bila tidak diselesaikan dengan tepat.
Pemberian akses terhadap UMKM merupakan jalan keluar dan tampaknya kebijakan Kang Emil dengan menjadikan Kiara Condong sebagai sentra industri kreatif sudah tepat arahnya dan perlu seperti itu lagi. Kang Emil juga mempermudah perizinan, sehingga UKM langsung bisnis.