“ Cerita rakyat Minang, anak perempuan membela ayahnya dengan senapan lantak dari orang zalim,” kata Harun.
Perjalanan dilanjutkan dan tidak ada apa-apa lagi.
***
April 1958. Di Jakarta, Dyah Wahyuni resmi diangkat jadi wartawan harian Tanah Air. Bukan laporan tentang pemboman di Bukititinggi yang membuat Mas Yoppiedan Mbak Shita tertarik, tetapi keberaniannya menyelamatkan seorang perempuan Minang dari harimau justru reportase menarik. Begitu juga reportase situasi Sumatera Barat selama Februari 1958 diajdikan karya berdua Ikhsan dan Dyah. Mas Yoppie puas mendengar ia tidak hanya dipanggil Nyi Iteung, tetapi juga dijuluki Sabai Nan Alui dari Tanah Pasundan.
“Tepatnya Nyi Iteung di Titik 500!” kata Ikhsan Mayo yang resmi jadi rekannya. Ia dan Dyah sepekan sekali berkumpul dengan para wartawan di sebuah kedai di kawasan Cikini , Jakarta. Ada Bobby dari Harian Rakyat, ada Julius dari Abadi, ada Zainal dari Duta Masyarakat, ada Hendri dari Sin Po, lainnya ada dari Indonesia Raya dan harian lain. Para wartawan ini bersahabat walau media mereka berbeda ideologi.
Di kantin itu hadir Kapten Hari Jumanto, perwira militer yang kerap ikut nongkrong bersama para wartawan. Hari sahabatnya Ikhsan sejak ia meliput geriliya waktu Perang kemerdekaan Kedua di Gunung Kidul.
“Saya mengusulkan Nyi Iteung tugas bersama saya ke Manado?” cetus Ikhsan.”Sepupu dari ayah punya kawin dengan orang Manado dan punya kebun cengkeh. Saya sudah kontak dan boleh menginap di tempatnya. Dari sana barangkali kami bisa mewawancarai Ventje Samual atau Kawilarang.”
“Wong edan! Perang sudah pecah! Ahmad Yani sudah mendarat di Padang, pasukan Permesta jauh lebih militan! Bakal pertempuran keras di sana!” cetus Kapten Hari Jumanto.
“ Kan namanya wartawan?” kata Julius.
Nyi Iteung senyum-senyum saja mendengar mereka dibicarakan. “Saya juga mengajukan usulan lain.”
“Pasti ulah Shita lagi, apa itu?” kata Rahmadi, wartawan Tanah Air lainnya.