“Kalian garis ibu ya…”
“Iya, Nyi Iteung….”
Harun hanya lulusan MULO Padang. Usianya terpaut berapa tahun di bawah Dyah. Harun tidak pernah ke Jawa dan senang main randai. Sehari-hari dia membantu ayahnya menjadi supir otobus antar provinsi atau truk pengangkut barang. Dia kenal seluk beluk jalan di Sumatera Tengah. Perjalanan cukup lama dan panjang. Tetapi mereka minum kopi tadi pagi hingga tidak mengantuk. Hampir tengah hari, truk dihentikan beberapa tentara berseragam.
“Ka tempat Bagindo Erwin, Uda!” Harun menyapa dengan santai. Salah seorang di antara mengenal mereka.
“ Hoi, Harun, sia ko nan juo Uni Yus?”
“Kawan Padusi Uda Ikhsan dari Bandung…wartawan juo?”
“Satu kantor uda!” Dyah menyahut. Nyi Iteung cepat beradaptasi.
Truk itu kemudian diizinkan melanjutkan perjalanan masuk dusun. Dyah melihat dengan mata kepala sendiri beberapa Rumah Gadang Minang yang hanya dilihatnya di foto-foto majalah. Dia mengikuti Harun, Yusni turun membawa tas masing-masing diikuti kawannya menuju sebuah warung makan yang terbuka. Tak ada rasa gentar di dalam dirinya,malah seperti memasuki petualangan. Dia jadi seperti Purbasari dalam cerita Lutung Kasarung ketika diasingkan oleh Purbararang.
“ Kita makan di tempat itu, Uni? Lapar atuuuh!” kata Dyah. Logatnya kembali seperti di Jawa,
“ Iyalah, saya juga lapar,” sela Harun sambil turun dari truk. “Itu kan warung punya Angku Yusran..Gajebonya lamak…”
“Gajebo apa itu?” tanya Dyah Wahyuni.