Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerukunan Umat Beragama, Perspektif Lokal dan Media Sosial

10 September 2016   16:16 Diperbarui: 10 September 2016   16:37 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artinya mungkin dampak di Amerika Serikat tidak sehebat dampak yang terjadi di negara mayoritas muslim ketika berita itu diterima. Masalahnya pemerintah dan aparat belum tentu siap mengantisipasinya. Lebih celaka lagi kalau informasinya diplintir dari berita aslinya. Sementara masyarakat di negara itu belum terdidik dan terbiasa menyaring berita. Di Facebook saya sering mendapatkan foto dan berita lama dibuat menjadi baru yang bisa memicu emosi bagi mereka yang membaca dan melihat sambil lalu.

Berita di Media Sosial Sama dengan Selebaran Gelap

Selebaran gelap sebelum teknologi informasi mulai marak juga digunakan untuk provokasi. Misalnya saja sekitar September 1995 hal yang sebangun dengan Tanjung Balai sudah terjadi dengan menggunakan selebaran gelap. Si penulis selebaran itu mengajak pembacanya untuk ikut gerakan jihad fisabillilah beramai-ramai menghancurkan sebuah sekolah di Depok, Jawa Barat sebagai “balasan” atas kasus pembakaran kitab suci oleh seorang pelajar sebuah sekolah di Sukabumi. Sekolah yang dijadikan sasaran satu grup dengan sekolah yang ada di Sukabumi.

Pada waktu yang hampir bersamaan di Timor Timur (sewaktu masih menjadi wilayah Indonesia), pelecehan agama yang dilakukan oknum lembaga pemasyarakatan yang kebetulan beragama Islam menjadi isu panas karena dikipasi sekelompok orang. Isu Islamisasi menjadi bahan. Tetapi masalah sebetulnya ketidakpuasan masyarakat setempat atas rekruitmen pegawai negeri sipil yang tidak adil terhadap masyarakat asli [4]

Jadi sebetulnya tidak ada bedanya antara berita di media sosial dan selebaran gelap itu. Yang jadi persoalan adalah kontennya dan kepada siapa sasarannya. Kalau berita di media sosial dan selebaran gelap itu ada di wilayah yang relatif banyak yang terdidik dan secara sosial ekonomi stabil tentunya dikritisi kebenarannya. Persoalan lain ialah komunitas-komunitas yang terbentuk di media sosial kerap secara esklusif. Itu sebabnya himbauan-himbauan antar kerukunan antar umat beragama atau penjelasan soal suatu kejadian bersifat SARA tidak efektif.

Itu sebabnya penyelesaian masalah di suatu daerah yang rawan gesekan antar umat beragama-juga berlaku antar etnik dan ras-secara komprehensif harus dilakukan semua stakeholder sampai akar permasalahannya. Menurut saya masalah umat beragama itu dilihat dari tiga tingkat, lokal, nasional hingga internasional. Kalau saja tingkat lokal bisa diselesaikan dengan cepat, maka tidak akan merambat ke tingkat nasional, kalau sudah tak teratasi di tingkat nasional, maka bisa menyeret dunia internasional seperti Arab Spring.

Media sosial hanya mempercepat prosesnya dibandingkan ketika teknologi belum memungkinkan isu tersebar dan kalau tidak dikendalikan efeknya lebih besar. Himbauan untuk menahan diri dan memilih jalan damai ibarat mata air yang sudah kehilangan sungai, karena sungainya sudah pindah.

Begitu juga dengan membina kerukunan umat beragama seharusnya juga dimulai dari perspektif tingkat lokal, jangan hanya memakai kacamata pusat (nasional). Kepala kepolisian, militer yang ditempatkan di daerah, apalagi dari luar daerah itu harus menguasai komposisi demografi, budaya, tingkat ekonomi, etnis mana yang dominan, agama mana yang dominan, apakah pernah terjadi kerusuhan karena agama, sejarahnya dahulu bagaimana? Siapa saja sesepuh agama di sini. Apakah toleransi agama sudah terbina di sini sejak dahulu?

Sementara di tingkat pusat Kementerian Agama, Kementerian dalam Negeri dan badan-badan pemerintah lain mengupdate perkembangan yang terjadi di masing-masing daerah yang rawan. Di negeri ini sudah saatnya mempunyai data base lokal yang akurat dan diperbaharui secara berkala. Kalau masalah yang mengganjal tidak ada, maka selebaran, berita dari media sosial akan kehilangan bahannya dan kehilangan kredibilitasnya di mata warga. Persis seperti spanduk yang ditempelkan enam tahun yang silam di daerah saya, berlalu seperti angin.

Di sisi lain karena persahabatan di tingkat lokal sudah terbentuk dengan banyaknya warga yang disatukan lewat kegiatan bersama, sehingga saling mengenal, seperti yang saya ulas di atas, tanpa disuruh mereka akan membuat komunitas lintas agama juga di media sosial, seperti grup Whatsapp, Facebook, Path, Instagram dan juga pertemanan di Twitter. Sekali lagi media sosial hanya sebuah sarana dan bukan solusi atau masalahnya.

Membuat Perimbangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun