Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerukunan Umat Beragama, Perspektif Lokal dan Media Sosial

10 September 2016   16:16 Diperbarui: 10 September 2016   16:37 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : https://eduters.gnomio.com/pluginfile.php/2/course/section/1/agama.jpg

Dalam berapa hari ini saya membuka berapa buku catatan harian saya yang lama tersimpan di boks kardus. Catatan-catatan ini berkaitan pengalaman saya dalam soal kerukunan umat beragama. Di antaranya saya menulis suatu hari di Cinere, tertanggal 25 Desember 2010, sebuah spanduk di depan ruko-ruko Blok A yang bunyinya warga umat Islam di Cinere menolak pembangunan sebuah gereja di Jalan Bandung (Blok M, Cinere) sungguh mengagetkan saya.

Peristiwa penolakan pembangunan gereja di Bekasi beberapa waktu sebelumnya juga terjadi di Cinere. Hanya saja kalau di Bekasi saya bisa mengerti karena faktor sosial demografi, faktor ekonomi (juga politik), faktor kultural menyatu menjadi satu persoalan dalam kerukunan umat beragama, di Cinere seharusnya tidak terjadi. Sekalipun mayoritas masyarakat di Cinere muslim, tetapi saya mengetahui terdapat beberapa detonimasi Kristen di wilayah ini tersebar dalam berapa puluh blok atau kompleks yang ingin punya tempat ibadah sendiri.

Setahu saya warga di Cinere secara ekonomi cenderung homogen-walau tidak semuanya orang kaya, tetapi boleh dibilang tidak susah-susah benar, tetapi secara demografi didominasi warga yang relatif lebih terdidik. Di belakang perumahan yang dibangun developer megapolitan ada sejumlah kampung tradisional secara ekonomi juga relatif masih baik dibanding belahan Depok lain. Banyak dari warga tradisional ini punya usaha dan yang tidak beruntung terserap oleh keberadaan usaha-usaha yang ada di sejumlah kompleks.

Pada hari itu polisi memang berjaga di Gereja Tiberias menempati salah satu ruko dan tidak terjadi apa-apa. Sampai saat tulisan ini ditulis (2016) tidak pernah terjadi apa-apa menyangkut masalah kerukunan beragama selain soal spanduk tadi. Pada hari raya Idul Fitri umat Nasrani yang menjadi tetangga saya mengucapkan selamat hari raya dan begitu juga sebaliknya pada hari Natal, tetangga yang Muslim juga menyalami tetangganya yang nasrani. Kondisi ini sebetulnya sudah terjadi sejak 1983 ketika saya dan keluarga tinggal di kawasan ini. 

Sayangnya ketika saya remaja hingga di bangku kuliah tidak aktif dalam kegiatan remaja di kompleks karena lebih suka dengan aktif di SMA saya di kawasan Pasarminggu atau lebih suka dengan kegiatan kampus. Tetapi setahu saya ada beberapa kegiatan seperti 17 Agustus yang melibatkan para anak-anak dan remaja dan ada Ikatan Remaja Cinere yang barangkali fungsinya sama dengan karang taruna. Selain itu terdapat juga kegiatan remaja masjid yang cukup aktif setidaknya 1990-an. Di antaranya lomba mengaji antar anak.

Pada 2010 itu juga saya menjadi kontributor sebuah media nasional untuk kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam suatu suatu liputan secara tak sengaja saya menemukan sebuah kegiatan karang taruna di RW 12 Pegangsaan Dua di mana beberapa komunitas remaja yang berbeda agama melakukan kegiatan bersama, seperti bazaar dan kegiatan bersifat sosial.

Di RW itu setahu saya dari beberapa warga malah ada kegiatan Halal Bihalal melibatkan semua warga lintas agama dan malah dijadikan acara silaturahmi. Begitu juga pada acara tahun baru menjadi pertemuan warga. Saya bekerja empat tahun di Kelapa Gading untuk majalah komunitas setempat dan dua tahun menjadi konstributor media nasional itu untuk wilayah yang sama.

Fenomena yang sama terjadi di sejumlah cluster dalam Kelapa Gading. Beberapa komunitas yang punya hobi yang sama seperti komunitas sepeda, memancing, otomotif secara tak langsung merekatkan kerukunan umat beragama. Seorang warga kelapa Gading, seorang perempuan kenalan saya di Kelapa Gading penganut Katolik teman baiknya seorang muslimah berhijab dan mereka memamerkan foto kebersamaan mereka. Padahal setahu saya keduanya sekolah di tempat berbasis agama masing-masing dan aktifis rohani agama asing-asing. Tetapi bisa bersahabat. Berarti ada kegiatan bersama yang mempertemukan mereka.

Seharusnya kegiatan karang taruna kembali dihidupkan. Sayang di era Orde Baru karang taruna lebih menjadi simbol politis, daripada untuk merekatkan para remaja yang berlatar belakang berbeda. Sayang seharusnya kegiatan pramuka bisa dilakukan bersama antar sekolah daripada dilaksanakan oleh ekskul sekolah masing-masing – di Kelapa Gading banyak sekolah berbasis agama.

Saya mengusulkan sudah diperlukan kegiatan pramuka berbasis komunitas wilayah. Pembentukan kegiatan bersama dalam wadah organisasi model karang taruna atau kepramukaan adalah satu satu cara menanamkan kerukunan antar agama. Perkumpulan olahraga tingkat RW, perkumpulan hobi yang saya adalah alternatif lain. Sebab persahabatan yang melibatkan penganut lintas agama dilakukan sejak dini dan bukan baru dibicarakan ketika sudah ada kasus. 

Dari dua komunitas wilayah yang saya kenal cukup dekat, yang satu tempat saya bekerja cukup lama dan yang satu tempat saya tinggal puluhan tahu ada kesamaan: faktor ekonomi dan pendidikan, kepemimpinan politik, interaksi para tokoh-tokoh agama menjadi hal yang penting untuk tatanan yang pluralisme. Komunitas-komunitas dengan hobi yang sama Tentunya dari sudut lokal tatanan sosial juga menentukan. Banyak faktor yang menyebabkan kerukunan umat beragama bisa berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Untuk itu penyelesaiannya juga berbeda-beda, namun ada yang sama yaitu komunikasi.

Hakis dari IAIN Ambon dalam tulisannya untuk kasus Ambon untuk membangun kerukunan umat diperlukan langkah berikut (1) menghentikan bahasa hasutan; (2) mengkomunikasikan untuk selalu menahan diri; (3) melakukan komunikasi dengan bahasa damai dari bawah ke atas, dan sebaliknya; (4) mela–kukan dialog, membuka jaringan antar remaja, dan pendidikan multikulturalisme; (5) ruang publik sebagai tempat perjumpaan level sosio-kultural harus diperhatikan; (6) manajemen perdamaian itu sendiri. Hakis juga menyebutkan bahwa jaringan antar remaja lintas agama lebih efektif dan cepat untuk membentuk kerukunan umat beragama dalam masyarakat [1].

Media Sosial

Saya tertarik dengan tulisan Aceng Abdullah, Staf Pengajar Jurnalistik Fikom Unpad “Media Massa dan Pemilu” dalam Pikiran Rakyat, 3 Juni 2014. Menurut Aceng dalam artikel itu pemberitaan media massa termasuk pemberitaan televisi pada era sekarang tidak lagi memberikan pengaruh. Debat calon presiden, talkshow di televisi tidak disukai kaum muda. Khayalak mayoritas penonton televisi lebih menyukai acara hiburan atau olahraga.

Efeknya sejumlah surat kabar rontok di Amerika Serikat dan sejumlah Negara di Eropa. Hal ini terjadi karena dalam sepuluh tahun terakhir ini terjadi pergeseran penggunaan sumber informasi di kalangan muda. Yang menjadi pegangan dan sumber informasi adalah media baru, internet dan media jejaring sosial. Siapa yang mampu memanfaatkan sosial media secara maksimal dia yang memenangkan persaingan politik.

Apa yang diungkapkan Aceng Abdullah dua tahun lalu terungkap juga pada hasil survei Reuters Institute Digital News Report pada 2016. Survei menunjukkan separuh dari 50.000 konsumen berita berbasis online yang disurvei di 26 negara menyatakan menggunakan media sosial sebagai sumber pemberitaan. Bahkan, sebesar 12 persen di antaranya menggunakan media sosial sebagai sumber pemberitaan yang utama.

Survei ini diperkuat juga oleh survei tatap muka yang dilakukan oleh Litbang Kompas awal bulan Juni 2016 lalu di wilayah DKI Jakarta, mengungkapkan banyak warga Jakarta saat ini mengikuti pemberitaan lewat media sosial ketimbang harus masuk ke laman penyedia berita daring. Persentase warga yang membaca berita lewat media sosial mencapai 44,4 persen, sementara kelompok masyarakat yang mendapat informasi dari laman berita daring hanya 31,7 persen. Warga Ibu Kota yang mengonsumsi berita lewat media sosial sebagian besar berusia di bawah 40 tahun. [2]

Pertanyaan besar kalau media sosial yang dijadikan pegangan, apakah mereka yang mengkonsumsi berita dari media sosial percaya begitu saja terhadap isi beritanya? Apakah informasi yang disebarkan melalui media sosial itu fakta, realitas sesungguhnya atau hoax? Mungkin saja karena berita itu diterima dari kawannya, seorang pengguna media sosial percaya begitu saja, bahkan ikut menshare dan memberikan komentar.

Pengalaman pilpres 2014 kemarin membuktikan apa yang realitas, berita lama, berita yang diplintir, berita palsu mengenai seorang kandidat lalu lalang di berbagai media sosial seperti facebook, twitter. Ibaratnya setiap orang seperti mempunyai kekebasan membuang sampah di sungai yang mengalir sampai ke hilir dan orang di hilir mendapatkan sampah itu dan mengira dari hulu, bukan dari mata airnya. Membuang sampahnya bisa dilakukan dengan menyamar.

Kalau begitu, provokasi bisa dengan mudah dilakukan, karena akun bisa dimuat palsu. Pemilik akun asli pun dengan informasi yang mungkin saja ada benarnya, bisa jadi tidak menyadari akibat yang akan dia timbulkan. Masalahnya karena kesalahan satu orang bisa ditimpakan pada hal-hal yang berkaitan dengan identitas orang itu, yang “lari” secara liar ke agama yang dianut, rasial dan suku asal orang itu. Kerusuhan Tanjung Balai adalah salah satu contoh bagaimana media sosial bisa mempunyai untuk merusak kerukunan umat Bergama. Apakah karena kesalahan seorang yang kebetulan dari etnis Tionghoa yang tidak memahami kondisi sosialogis masyarakat di pemukimannya bisa menjadi pembenaran untuk merusak vihara?

Media sosial memang bisa menjadi pemicu masalah kerusuhan bernuansa Suku Agama Ras dan Antar Golongan, tetapi media sosial sebetulnya hanya sebuah sarana dan bukan persoalan utamanya. Sebelum era media sosial, media konvensional seperti surat kabar, siaran radio , siaran televisi juga bisa bisa menjadi pemicu kerusuhan. Hanya saja kontrol dan seleksi berita dalam media konvensional ketat, sementara

Pengamat isu-isu pembangunan, perdamaian dan keadilan dari Amerika Serikat, Dr.Ghassan Michel Rubeiz dalam sebuah tulisan mengungkapkan hal itu. Ketika terjadi penistaan terhadap Al Qur’an oleh seorang pemuka agama di Florida sekitar 2011, berita menyebar secara global secara online melalui situs jaringan sosial seperti Twitter, YouTube dan Facebook, secara instan. “Kisah kebencian disiarkan berulang-ulang dapat memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi hubungan antara masyarakat,” kata Ghassan [3].

Artinya mungkin dampak di Amerika Serikat tidak sehebat dampak yang terjadi di negara mayoritas muslim ketika berita itu diterima. Masalahnya pemerintah dan aparat belum tentu siap mengantisipasinya. Lebih celaka lagi kalau informasinya diplintir dari berita aslinya. Sementara masyarakat di negara itu belum terdidik dan terbiasa menyaring berita. Di Facebook saya sering mendapatkan foto dan berita lama dibuat menjadi baru yang bisa memicu emosi bagi mereka yang membaca dan melihat sambil lalu.

Berita di Media Sosial Sama dengan Selebaran Gelap

Selebaran gelap sebelum teknologi informasi mulai marak juga digunakan untuk provokasi. Misalnya saja sekitar September 1995 hal yang sebangun dengan Tanjung Balai sudah terjadi dengan menggunakan selebaran gelap. Si penulis selebaran itu mengajak pembacanya untuk ikut gerakan jihad fisabillilah beramai-ramai menghancurkan sebuah sekolah di Depok, Jawa Barat sebagai “balasan” atas kasus pembakaran kitab suci oleh seorang pelajar sebuah sekolah di Sukabumi. Sekolah yang dijadikan sasaran satu grup dengan sekolah yang ada di Sukabumi.

Pada waktu yang hampir bersamaan di Timor Timur (sewaktu masih menjadi wilayah Indonesia), pelecehan agama yang dilakukan oknum lembaga pemasyarakatan yang kebetulan beragama Islam menjadi isu panas karena dikipasi sekelompok orang. Isu Islamisasi menjadi bahan. Tetapi masalah sebetulnya ketidakpuasan masyarakat setempat atas rekruitmen pegawai negeri sipil yang tidak adil terhadap masyarakat asli [4]

Jadi sebetulnya tidak ada bedanya antara berita di media sosial dan selebaran gelap itu. Yang jadi persoalan adalah kontennya dan kepada siapa sasarannya. Kalau berita di media sosial dan selebaran gelap itu ada di wilayah yang relatif banyak yang terdidik dan secara sosial ekonomi stabil tentunya dikritisi kebenarannya. Persoalan lain ialah komunitas-komunitas yang terbentuk di media sosial kerap secara esklusif. Itu sebabnya himbauan-himbauan antar kerukunan antar umat beragama atau penjelasan soal suatu kejadian bersifat SARA tidak efektif.

Itu sebabnya penyelesaian masalah di suatu daerah yang rawan gesekan antar umat beragama-juga berlaku antar etnik dan ras-secara komprehensif harus dilakukan semua stakeholder sampai akar permasalahannya. Menurut saya masalah umat beragama itu dilihat dari tiga tingkat, lokal, nasional hingga internasional. Kalau saja tingkat lokal bisa diselesaikan dengan cepat, maka tidak akan merambat ke tingkat nasional, kalau sudah tak teratasi di tingkat nasional, maka bisa menyeret dunia internasional seperti Arab Spring.

Media sosial hanya mempercepat prosesnya dibandingkan ketika teknologi belum memungkinkan isu tersebar dan kalau tidak dikendalikan efeknya lebih besar. Himbauan untuk menahan diri dan memilih jalan damai ibarat mata air yang sudah kehilangan sungai, karena sungainya sudah pindah.

Begitu juga dengan membina kerukunan umat beragama seharusnya juga dimulai dari perspektif tingkat lokal, jangan hanya memakai kacamata pusat (nasional). Kepala kepolisian, militer yang ditempatkan di daerah, apalagi dari luar daerah itu harus menguasai komposisi demografi, budaya, tingkat ekonomi, etnis mana yang dominan, agama mana yang dominan, apakah pernah terjadi kerusuhan karena agama, sejarahnya dahulu bagaimana? Siapa saja sesepuh agama di sini. Apakah toleransi agama sudah terbina di sini sejak dahulu?

Sementara di tingkat pusat Kementerian Agama, Kementerian dalam Negeri dan badan-badan pemerintah lain mengupdate perkembangan yang terjadi di masing-masing daerah yang rawan. Di negeri ini sudah saatnya mempunyai data base lokal yang akurat dan diperbaharui secara berkala. Kalau masalah yang mengganjal tidak ada, maka selebaran, berita dari media sosial akan kehilangan bahannya dan kehilangan kredibilitasnya di mata warga. Persis seperti spanduk yang ditempelkan enam tahun yang silam di daerah saya, berlalu seperti angin.

Di sisi lain karena persahabatan di tingkat lokal sudah terbentuk dengan banyaknya warga yang disatukan lewat kegiatan bersama, sehingga saling mengenal, seperti yang saya ulas di atas, tanpa disuruh mereka akan membuat komunitas lintas agama juga di media sosial, seperti grup Whatsapp, Facebook, Path, Instagram dan juga pertemanan di Twitter. Sekali lagi media sosial hanya sebuah sarana dan bukan solusi atau masalahnya.

Membuat Perimbangan

Untuk media konvensional termasuk televisi buat berita yang berimbang, yang bisa meredam kemarahan. Kalau wawancara itu seharusnya cover both sides. Tokoh FPI dan pengusaha bar yang dirusak sama-sama diwawancarai secara proporsional. Selain itu pihak masyarakat lokal untuk memiliki suara dalam program radio atau televisi, maupun media cetak. Perspektif lokal harus ada di televisi, radio maupun media cetak nasional. Bukan hanya perspektif pusat.

Ghassan Michel Rubeiz menganjurkan media konvensional maupun mereka yang punya akses media sosial bisa memperbaiki ketidakseimbangan dan membawa lebih banyak cerita "kabar baik"? Misalnya ia member contoh untuk mencari cerita-cerita yang mengandung unsur ketegangan, keberanian dan pengorbanan. Seperti bagaimana seorang Muslim menyelamatkan kehidupan seorang Yahudi selama kejahatan, atau bagaimana seorang anak Yahudi diselamatkan seorang wanita Muslim tua di badai, bisa dibawa ke perhatian produsen televisi dan pembuat konten media baru [5]

Di luar berita produksi sinetron, reality show, yang bersifat hiburan jangan lagi didominasi lucu-lucuan dan bersifat bullying hingga lama kelamaan menumpulkan sikap kritis pemirsa televisi. Lebih celaka lagi penonton pada prime time bukanlah penonton yang kritis, tetapi kaum muda. Pendidikan rasa benci bisa dipicu oleh konten acara televisi yang tidak dipikirkan dampaknya.

Penampilan penyiar berita dan presenter berhijab jangan hanya pada momen Ramadan, membacakan berita hard news adalah hal yang biasa, sehingga tidak dilabeli “anti Islam” ketika harus memberitakan soal kerukunan umat beragama. Pemirsa yang punya pefahaman agama yang keras akan mencibir: Nah, di internal media saja tidak tolerasi, bagaimana Anda menyerukan toleransi? 

Dalam produksi sinetron dan FTV bersahabatan tokoh-tokoh lintas agama dibuat hal yang biasa seperti sehari-hari, bukan menggurui secara berlebihan soal pluralisme seperti film Tanda Tanya-nya Hanung Bramantyo yang justru menimbulkan sikap reaksioner. Film Aisyah Kita Semua Bersaudara malah menjadi contoh yang baik.

Begitu juga film yang digagas Glenn Fredly berjudul Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Dalam pembuatan features berita secara berkala diangkat perjuangan tokoh Palestina non muslim, seperti George Habash melawan kezaliman Israel bisa membantu menanamkan konstruksi soal pluralism atau pandangan tokoh non Islam kritis terhadap perjuangan Palestina sebagai bukan masalah agama, tetapi perjuangan hak asasi manusia.

Irvan Sjafari

Catatan Kaki:

  1. Hakis “Komunikasi Antar Umat Beragama di Kota Ambon” dalam Jurnal Komunikasi Islam Volume 05, Nomor 01, Juni 2015 Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya - Asosiasi Profesi Dakwah Islam Indonesia.
  2. http://print.kompas.com/baca/2016/09/01/Media-Sosial-Jadi-Kanal-Informasi-Baru?
  3. Ghassan Michel Rubeiz, “The media’s power to promote religious tolerance” dalam http://www.commongroundnews.org/article.php?id=29684&lan=en&sp=1
  4. Majalah Sinar edisi 7 Oktober 1995
  5. Ghassan, op.cit

Ilustrasi : https://eduters.gnomio.com/pluginfile.php/2/course/section/1/agama.jpg

toleransi era media sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun