Bila sejarah ekonomi dunia mengenal awal Depresi pada 29 Oktober 1929 sebagai Selasa Hitam, maka sejarah ekonomi Indonesia punya sejarah kelam yang disebut kebijakan sanering pada 25 Agustus 1959 juga pada Selasa. Headline Pikiran Rakjat pada hari itu memakai judul “Presiden Sukarno Besok Malam Pidato: Rp500=50 & 1000=100”. Isi beritanya sebagian simpanan di bank-bank mulai hari ini dibekukan. Nilai uang kertas Bank Indonesia Rp500 dan Rp1000 masing-masing bernilai Rp50 dan Rp100. Namun uang pecahan lain tetap nilainya.
Letnan Kolonel Amir Machmud sebagai Penguasa Kuasa Perang Komando Militer Kota Besar Bandung memberikan instruksi bahwa toko-toko tetap harus buka. Pihaknya mematuhi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 2/1959 dan nomor 3/1959 tentang tindakan pemerintah di bidang moneter yang dikeluarkan pukul 22.00 Senin Malam sebelumnya. Aparat militer dan kepolisian menjaga ketat bank-bank di kota kembang itu.
Sejak pagi Selasa 25 Agustus 1959 orang-orang kaya di Bandung menyerbu kampung-kampung sekitar Bandung dan membelanjakan uangnya. Mereka mencari barang apa saja yang dijual oleh penduduk, tetapi paling diutamakan ialah beras dan barang-barang yang tahan lama. Bahkan sampai tengah malam pun orang-orang yang punya uang tetap tak surut langkah membelanjakan uangnya ke orang-orang kampung.
Fenomena yang serupa juga terjadi di Jakarta di mana orang-orang kaya pergi ke luar kota membelanjakan uangnya ke penduduk yang dianggap belum banyak tahu soal keputusan ini. Perdagangan di kota Jakarta lesu, pasar kacau dan pedagang belum mau berjualan. Kalau pun ada yang mau mereka menaikan harga sejadi-jadinya. Peraturan ini menjadikan masyarakat menyerbu toko-toko untuk berlomba-lomba membelanjakan uang-uang macan dan gajahnya. Bank-bank juga diserbu masyarakat untuk menukarkan uang macan(Rp500) dan gajah (Rp1000) dengan pecahan yang lebih kecil.
Dampak di Kota Bandung tak kalah menggelisahkan hingga seminggu sesudah keputusan sanering itu. Josodihardjo, warga Gang Warta 99/116 Bandung menceritakan curahan hatinya pada surat pembaca Pikiran Rakjat, 1 September 1959. Kira-kira bunyinya seperti ini:
Kami penduduk Cibangkong kecewa karena tindakan sebagian pedagang tidak menerima uang belanja dengan ratusan (maksudnya Rp100 yang tidak kena sanering) dengan alasan tidak ada kembali. Bagi kami penduduk buruh kecil, hal itu sangat mengesalkan sekali. Kami mengharapkan bantuan yang berkepentingan untuk menindak pedagang yang tidak mau terima uang kami. Kami yakin mereka bukan tidak punya uang, tetapi khawatir nilai uang artisan akan turun juga. Padahal Presiden Sukarno telah menekankan uang ratusan tidak diturunkan.
Hingga akhir Agustus 1959 situasi pasar di Kota Bandung tetap sepi. Jual beli yang terjadi baik di pasar-pasar maupun toko-toko di Kota Bandung hanya sekitar barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti sabun dan pasta gigi. Tetapi menyangkut barang-barang seperti tekstil jarang sekali terjadi transaksi besar-besaran seperti pada bulan-bulan sebelumnya. Harga makanan cenderung turun, harga kentang Rp9 turun menjadi Rp8 per kg, tomat turun dari Rp15 menjadi Rp10/kg, cabe merah turun dari Rp20 menjadi Rp15/kg. Beras sekitar Rp7,50 turun menjadi Rp6,90 bahkan kalau beli per kwintal jatuhnya Rp600 atau Rp6 per kg. Harga semen yang tadinya Rp160-170 per zak terjun bebas seharga Rp70 per zak.
Para pengusaha atau pedagang khawatir mereka kesulitan membayar upah buruh dengan keperluan melebihi Rp25.000 ke atas. Harga barang diturunkan hingga 10-20% karena pedagang membutuhkan modal guna memperkuat likuiditas keuangannya. Dengan harapan uang masuk digunakan mengganti barang dengan persedian baru. Bahkan banting harga merembet ke kebutuhan untuk gaya hidup. Sepotong kemeja sporthem Rp165 dijual Rp75. Warga Bandung tetap ramai mengunjungi toko tetapi hanya untuk melihat-lihat saja. Daya beli warga Bandung telah menurun.
Pada 26 Agustus 1959 Presiden/Perdana Menteri Dr. Ir. H Soekarno melalui RRI menjelaskan tindakan pemerintah dalam bidang moneter dengan dikeluarkan peraturan pemerintah tentang penurunan nilai uang kertas Rp1000 dan Rp500 merupakan tindakan pendahuluan. Tindakan ini katanya untuk menghentikan langkah orang-orang yang berbuat mencari keuntungan untuk kantong sendiri. Segala perbuatan tersebut akibat dibiarkannya sistem liberalism mewarnai kehidupan politik, sosial dan ekonomi tanah air yang bertentangan dengan tujuan revolusi.
Dalam pidatonya Soekarno mengungkapkan bahwa tindakan ini bertujuan untuk menghentakan merajalelanya peredaran uang yang tak terawasi, seklaigus tindakan untuk menghentikan melonjaknya harga barang yang seenaknya,. Selain itu defisit anggaran belanja negara tidak lebih meningkat hingga usaha pembangunan di lapangan produksi dapat lebih longgar, serta penghasilan negara menjadi lebih besar.
Kurs mata uang asing pada 25 Agustus 1959 untuk US $ beli Rp43,82 dan jual Rp45,78. Sementara kurs untuk Poundsterlling senilai beli Rp123,49 dan jual Rp128,91, Dollar Malaya beli dengan Rp14,77 dan jual Rp15,05 dan Mark Jerman beli Rp10,72 dan jual Rp10.82.
Situs resmi Bank Indoensia dalam bagian sejarahnya mengungkapkan rentetan terjadinya sanering. Mulanya pada 1959, pemerintah telah melakukan kebijakan pengetatan moneter sebagai upaya mengatasi tekanan inflasi. Kebijakan pengetatan moneter 1959 tersebut antara lain dilaksanakan dengan mengeluarkan ketentuan pagu kredit bagi tiap-tiap bank secara individual pada 8 April 1959.
Namun tampaknya belum efektif. Akhirnya pemerintah dengan Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959 melakukan sanering uang pada tanggal 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100, serta melalui UU No. 3 Prp. tahun 1959 membekukan simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah di atas Rp 25.000 yang akan diganti menjadi simpanan jangka panjang.
Penanganan laju inflasi ini terus berlangsung hingga awal 1960-an dengan melakukan pembatasan kredit perbankan secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam paket kebijakan moneter itu, dilakukan pula devaluasi nilai tukar rupiah sebesar 74,7% dari Rp 11,40 per USD menjadi Rp 45 per USD.
Keputusan Sanering Tidak Bisa Diduga
Apabila keputusan politik Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali ke UUD 1945 bisa dibaca sebelumnya, kebijkan Sanering lebih tidak bisa diprediksi. Sekalipun kenaikan harga sejumlah komoditi berlangsung begitu cepat dalam hitungan bulan. Pikiran Rakjat pada 24 Agustus 1959 hanya menyebutkan bahwa hari minggu 23 Agustus 1959 ada sidang pleno kabinet enam jam antara pukul 10.00 hingga 17.00 (istirahat satu jam untuk makan) untuk pembicaraan soal sandang pangan rakyat di istana Bogor.
Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah memperingatkan bahaya uang yang beredar terlalu banyak, namun peringatannya tenggelam dalam hingar bingar politik. Ketika Gonjang-ganjing ekonomi terjadi Hatta sedang berada di Eropa selama tiga bulan sebagai utusan Jawatan Koperasi Indonesia. Dalam ceramahnya di depan mahasiswa Indonesia di Bremen, Jerman, Hatta menyebutkan kesulitan ekonomi terutama di bidang politik. Kalau ini tidak diselesaikan dapat menghabiskan uang bermilyar dan menimbulkan defisit terus menerus inflasi merajalela (Pikiran Rakjat, 1 Agustus 1959). Hatta kembali ke tanah air pada 3 September 1959 lebih dari seminggu keputusan Sanering dilakukan.
Soekarno dalam pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1959 dengan judul The Rediscovery of Our Revolution atau Penemuan Kembali Revolusi Kita lebih banyak memuat isu politik, di antaranya soal keberadaan modal asing. Soekarno memperingatkan modal asing yang bukan Belanda jika digunakan untuk sabotase ekonomi maka rakyat Indonesia juga akan memperlakukan hal yang sama dengan modal yang asalnya dari negeri Belanda.
Soekarno juga mengecam imprealisme budaya dengan menyebutkan “Hai Pemuda-pemudi kenapa kalangan engkau banyak yang masih rock n roll, dansi-dansian, ala cha cha cha, music-musikan ala ngak ngik ngok, gila-gilaan dan lain sebagainya”. Hal lain yang diungkapkan Soekarno ialah keinginan pemerintah membentuk front nasional yang baru, yang akan menggalang seluruh tenaga rakyat, menggalang seluruh kegotongroyongan rakyat, menjadikan satu Hu Lupis Kuntul Baris untuk menyelesaikan revolusi. Tidak terlalu jelas konsep ekonomi yang akan dijalankan, sementara yang disebutkan ekonomi terpimpin masih dalam wacana terbatas.
Acara pesta 17 Agustus 1959 berlangsung meriah seperti biasa. Yang mencolok adalah pertunjukkan di Karang Setra pada 15 hingga 17 Agustus 1959, berupa bioskop terbuka, Orkes melayu, Wayang Golek, adu domba dan beberapa perlombaan seperti pukul gentong dan lempar tempolong. Atraksi paling menarik ialah melibatkan 560 pelajar dari 20 sekolah mulai tingkat Sekolah rakyat, SMP, SGB, SGTK, SGA di Bandung untuk ambil bagian dalam angklung rally yang diselenggarakan Badan koordinasi Musik Angklung pada minggu malam 16 Agustus 1959.
Hingga malam 24 Agustus 1959 aktifitas warga Bandung masih berlangsung seperti biasa. Informasi menarik terungkap dari buku Harta Bumi Indonesia: Biografi J.A. Katilli (2007). Bagian buku tentang peristiwa sanering ini n bercerita dari sudut Illy, isteri dari geolog Indonesia Prof. Dr. John Ario Katlli, dosen ITB, ketika ia hanya punya uang Rp.1000 yang tersisa dari gaji suaminya. Ia menukar uang itu dengan recehan agar cukup untuk berbelanja yang kian mahal masa itu, terutama untuk membeli ikan. Illy, menukarkan uang itu agar bisa dibawa seperlunya saja. Pola pikir praktis yang membawa berkah.
Illy baru tahu keputusan penyehatan uang pagi hari melalui ulangan berita di RRI, lega sekali. Uangnya aman. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya andaikata selembar uang ribuan tersebut masih tersimpan di dompetnya. Yang diingat pertama kali adalah membeli ikan cukup banyak untuk menyenangkan suami tercinta (halaman 110).
Perhatian Warga Bandung Terpecah: Persib dan Garam
Agustus 1959 perhatian rakyat Bandung juga terpecah belah pada politik, tetapi juga pada event olahraga seperti Tour de Java ke II di mana para pembalap Bandung, Munaip Saleh menunjukan keperkasaannya dan Persib Bandung menunjukkan performa yang baik dalam kompetisi PSSI yang diadakan di Stadion Siliwangi. Memang warga Bandung juga mengeluh soal kenaikan harga dan kelangkaan sejumlah komoditi namun tampaknya tidak ada dugaan bahwa tindakan pemerintah begitu drastis.
Setelah menghadapi kelangkaan gula pada Juli 1959, giliran garam yang menghilang pada pertengahan Agustus 1959. Warga Bandung dan Jakarta kesulitan mendapatkan garam. Mentri Pembangunan Chaerul Saleh mengadakan pertemuan dengan Menteri Produksi Suprayogi pada Rabu 19 Agustus 1959 di Pejambon, Jakarta membicarajab persoalan garam yang melambung dalam beberapa hari. Padahal industri garam rakyat di Kalianget, Madura dalam keadaan baik dan produksi cukup untuk kebutuhan dalam negeri. Lagi-lagi kesulitan pengangkutan dijadikan alasan.
Harga garam di Bandung yang tadinya Rp0,40 per bata atauRp0,60 per kg untuk garam bubuk naik menjadi Rp2,50 per bata atau dalam bentuk bubuk Rp2,80 hingga Rp3/kg. Ikatan Warung Bandung yang biasanya mendapatkan alokasi 1800 kg per bulan hanya mendapatkan alokasi 250 kg untuk tiga bulan.
Kepala Staf Harian PKP KMKB Bandung Mayor Poernomo memberi isyarat penguasa perang akan ikut campur lagi seperti pada komoditi lain. Mereka akan melakukan penelitian lebih dahulu. Rumor yang beredar pengacauan harga barang berhubungan dengan keputusan Menteri Perdagangan Rachmat Muljosuseno tentang likuiditas pedagang asing di tingkat kewedanaan dan kecamatan. Harga garam tetap mencapai Rp3 per bata pada pasca sanering.
Krisis yang terjadi pada pasca sanering menimpa pabrik sigaret NV Serayu, Bandung ketika beratus-ratus batang sigaret tidak bisa keluar karena kelangkaan kertas cukai. NV Serayu di Bandung memproduksi 25 juta batang sigaret per bulan dan menyumbang cukap sebesar Rp1 hingga Rp1,5 juta per bulan. Kelangkaan kertas cukai ini bisa menyebabkan negara terancam kehilangan cukai.
Sebuah iklan menarik dari Pikiran Rakjat, edisi 29 Agustus 1959.
Djangan susah! Uang hilang dapat ditjari gantinja. Jang perlu tempat hiburan jang masih murah. Untuk itu tempat terbaik Karang Setra. Acara dansa di Grand Hotel Lembang juga masih jalan. Sebagian warga tidak mau kehilangan gaya hidupnya. Sekalipun tidak lagi seperti 1950-an.
Sanering mungkin menyelesaikan suatu masalah tetapi masalah ekonomi lainnya menunggu.
Irvan Sjafari
Sumber:
Pikiran Rakjat, 15 Agustus 1959, 18 Agustus 1959, 19 Agustus 1959, 20 Agustus 1959, 21 Agustus 1959, 24 Agustus 1959, 25 Agustus 1959, 26 Agustus 1959, 27 Agustus 1959, 29 Agustus 1959, 1 September 1959, 3 September 1959
Nusantara, A. Ariobimo (editor) Harta Bumi Manusia: Biografi J.A Katilli, Jakarta: PT.Grasindo, 2007
Foto:
Ilustarsi Uang Rp1000 atau Uang Gajah (kredit foto www.uang-kuno.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H