Situs resmi Bank Indoensia dalam bagian sejarahnya mengungkapkan rentetan terjadinya sanering. Mulanya pada 1959, pemerintah telah melakukan kebijakan pengetatan moneter sebagai upaya mengatasi tekanan inflasi. Kebijakan pengetatan moneter 1959 tersebut antara lain dilaksanakan dengan mengeluarkan ketentuan pagu kredit bagi tiap-tiap bank secara individual pada 8 April 1959.
Namun tampaknya belum efektif. Akhirnya pemerintah dengan Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959 melakukan sanering uang pada tanggal 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100, serta melalui UU No. 3 Prp. tahun 1959 membekukan simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah di atas Rp 25.000 yang akan diganti menjadi simpanan jangka panjang.
Penanganan laju inflasi ini terus berlangsung hingga awal 1960-an dengan melakukan pembatasan kredit perbankan secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam paket kebijakan moneter itu, dilakukan pula devaluasi nilai tukar rupiah sebesar 74,7% dari Rp 11,40 per USD menjadi Rp 45 per USD.
Keputusan Sanering Tidak Bisa Diduga
Apabila keputusan politik Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali ke UUD 1945 bisa dibaca sebelumnya, kebijkan Sanering lebih tidak bisa diprediksi. Sekalipun kenaikan harga sejumlah komoditi berlangsung begitu cepat dalam hitungan bulan. Pikiran Rakjat pada 24 Agustus 1959 hanya menyebutkan bahwa hari minggu 23 Agustus 1959 ada sidang pleno kabinet enam jam antara pukul 10.00 hingga 17.00 (istirahat satu jam untuk makan) untuk pembicaraan soal sandang pangan rakyat di istana Bogor.
Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah memperingatkan bahaya uang yang beredar terlalu banyak, namun peringatannya tenggelam dalam hingar bingar politik. Ketika Gonjang-ganjing ekonomi terjadi Hatta sedang berada di Eropa selama tiga bulan sebagai utusan Jawatan Koperasi Indonesia. Dalam ceramahnya di depan mahasiswa Indonesia di Bremen, Jerman, Hatta menyebutkan kesulitan ekonomi terutama di bidang politik. Kalau ini tidak diselesaikan dapat menghabiskan uang bermilyar dan menimbulkan defisit terus menerus inflasi merajalela (Pikiran Rakjat, 1 Agustus 1959). Hatta kembali ke tanah air pada 3 September 1959 lebih dari seminggu keputusan Sanering dilakukan.
Soekarno dalam pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1959 dengan judul The Rediscovery of Our Revolution atau Penemuan Kembali Revolusi Kita lebih banyak memuat isu politik, di antaranya soal keberadaan modal asing. Soekarno memperingatkan modal asing yang bukan Belanda jika digunakan untuk sabotase ekonomi maka rakyat Indonesia juga akan memperlakukan hal yang sama dengan modal yang asalnya dari negeri Belanda.
Soekarno juga mengecam imprealisme budaya dengan menyebutkan “Hai Pemuda-pemudi kenapa kalangan engkau banyak yang masih rock n roll, dansi-dansian, ala cha cha cha, music-musikan ala ngak ngik ngok, gila-gilaan dan lain sebagainya”. Hal lain yang diungkapkan Soekarno ialah keinginan pemerintah membentuk front nasional yang baru, yang akan menggalang seluruh tenaga rakyat, menggalang seluruh kegotongroyongan rakyat, menjadikan satu Hu Lupis Kuntul Baris untuk menyelesaikan revolusi. Tidak terlalu jelas konsep ekonomi yang akan dijalankan, sementara yang disebutkan ekonomi terpimpin masih dalam wacana terbatas.
Acara pesta 17 Agustus 1959 berlangsung meriah seperti biasa. Yang mencolok adalah pertunjukkan di Karang Setra pada 15 hingga 17 Agustus 1959, berupa bioskop terbuka, Orkes melayu, Wayang Golek, adu domba dan beberapa perlombaan seperti pukul gentong dan lempar tempolong. Atraksi paling menarik ialah melibatkan 560 pelajar dari 20 sekolah mulai tingkat Sekolah rakyat, SMP, SGB, SGTK, SGA di Bandung untuk ambil bagian dalam angklung rally yang diselenggarakan Badan koordinasi Musik Angklung pada minggu malam 16 Agustus 1959.
Hingga malam 24 Agustus 1959 aktifitas warga Bandung masih berlangsung seperti biasa. Informasi menarik terungkap dari buku Harta Bumi Indonesia: Biografi J.A. Katilli (2007). Bagian buku tentang peristiwa sanering ini n bercerita dari sudut Illy, isteri dari geolog Indonesia Prof. Dr. John Ario Katlli, dosen ITB, ketika ia hanya punya uang Rp.1000 yang tersisa dari gaji suaminya. Ia menukar uang itu dengan recehan agar cukup untuk berbelanja yang kian mahal masa itu, terutama untuk membeli ikan. Illy, menukarkan uang itu agar bisa dibawa seperlunya saja. Pola pikir praktis yang membawa berkah.
Illy baru tahu keputusan penyehatan uang pagi hari melalui ulangan berita di RRI, lega sekali. Uangnya aman. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya andaikata selembar uang ribuan tersebut masih tersimpan di dompetnya. Yang diingat pertama kali adalah membeli ikan cukup banyak untuk menyenangkan suami tercinta (halaman 110).