Pepatah bilang ada gula ada semut. Pepatah ini benar-benar bukan kiasan terjadi di kota kembang pertengahan 1959. Warga Bandung sejenak menikmati kelimpahan gula dengan harga yang ditetapkan pemerintah (sebagian karena tindakan keras militer Jawa Barat). Awal Juni warga dapat membeli gula Rp6 hingga Rp6,50 kg, sesuai dengan harga Desember 1958. Harga gula murah bukan hanya di tingkat grosir tetapi juga di warung-warung.
Ketika distribusi gula di Bandung mulai stabil, Jakarta justru mengalami kelangkaan gula. Penduduk Jakarta resah karena mereka tidak bisa menikmati minuman manis setiap hari. Harga gula mencapai Rp10 hingga Rp12/per kg. Melihat keuntungan yang menjanjikan para spekulan gula pun memborong gula dari kota Bandung untuk dibawa ke Jakarta. Pikiran Rakjat 15 Juni 1959 melaporkan sekitar 2 ton gula diangkut dengan truk ke Jakarta.
Akibatnya Bandung kembali menderita kelangkaan gula dan harga gula mulai naik di pasaran. Sebetulnya serupa terjadi pada Mei 1959 harga gula di pasar gelap mencapai Rp7,50 dan di pasar ada yang mencapai Rp8-Rp9 per kg. Kenaikan pada Mei 1959 ini untuk gula adalah kedua kalinya setelah awal 1959. Para pedagang gula di Bandung pada Mei 1959 menerangkan tingginya harga karena soal alokasi gula dan habisnya persedian gula dari Cilegon, serta meningkatnya ongkos pengangkutan. Padahal menurut aturan harga gula di Kotapraja Bandung Rp5,40 per kg dan Keresidenan Priangan Rp5.50 per kg.
Kelangkaan gula di Jakarta pada Juni 1959 terjadi karena pengangkutan gula dari Jawa Tengah mengalami kesukaran. Namun tentu saja cara orang Jakarta mengambil alokasi gula dari untuk Bandung bukanlah langkah bijak. Warga Bandung meminta truk-truk yang mengangkut gula ditindak oleh pihak berwajib dan tidak bisa keluar dari Bandung.
Akhirnya awal Juli 1959 Pelaksana Kuasa Perang Komando Militer Kota Besar Bandung (PKP KMKB) melakukan beberapa kebijakan untuk mencegah manipulasi peredaran gula pasir di wilayahnya.
Aparat militer menetapkan sekitar 300 toko dan warung dalam wilayah kota sebagai penjual gula yang setiap hari diharapkan dapat melayani kebutuhan masyarakat. Alokasi gula untuk kota Bandung yang tadinya tidak terangkut, dapat diangkut. Keputusan PKP KMKB berlaku sejak 6 Juli 1959 setiap pedagang pertama di kota Bandung wajib mengeluarkan 50% dari alokasinya kepada warung-warung yang ditunjuk PKP KMKB tersebut sebagai pengecer gula.
Setiap warung setiap harinya menerima sekarung gula dan setiap bulannya toko atau warung itu wajib menghabiskan 25 kwintal gula. Disebutkan setiap tempat penjualan ditempelkan plakat yang menyebutkan setiap hari dijual gula pasir untuk umum dengan harga pemerintah Rp5,50 setiap pembeli hanya diperkenankan membawa paling banyak 0,5 kg gula pasir. Di sisi lain penyaluran gula ke 13 pasar kota Bandung dilaksanakan oleh Pusat Koperasi Kota Bandung yang setiap bulan mendapatkan alokasi 100 ton gula.
Sementara perdagangan di ibukota semakin lesu. Gula pasir di Jakarta hanya bisa didapat dengan harga Rp11-Rp12 per kg. Harganya dua kali lipat harga pemerintah yang ditetapkan di Bandung. Dengan demikian manipulasi peredaran gula dari Bandung untuk diselundupkan ke Jakarta begitu menggiurkan bagi para spekulan1.
Tekstil Juga Diborong Orang Jakarta
Komoditi lainnya kejadian mirip dengan gula tetapi dengan alasan lain ialah tekstil. Pada pertengahan 1959 tekstil dalam jumlah besar dibeli orang dari luar Bandung. Harga tekstil melonjak antara Rp45 hingga Rp45,50 per meter dari harga seharusnya yang ditetapkan pemeirntah, yaitu Rp15 hingga Rp16 per meter. Para pembeli rupanya memburu barang yang bisa disimpan lama.
Di antara pembeli yang menyerbu barang-barang terdiri dari bangsa yang asing dan sebagian yang dilikudir perdagangannya dari kota-kota Kecamatan dan Kewedanan. Ada juga pemegang uang nganggur dari bangsa Indonesia. Seorang pembeli dari Cirebon dilaporkan menghabiskan Rp11.200 untuk 8 kayu kain blacu.
Para pembeli di Jakarta bahkan datang di Bandung membeli tekstil tanpa tawar menawar lagi. berapa pun harga yang ditetapkan pedagang dibeli. Tekstil kasar dilaporkan mencapai Rp 50 per meter, Poplin kembang Rp 40 hingga Rp50 per meter, begitu jenis kain lain rata-rata mencapai Rp50 per meter. Padahal pemerintah menetapkan Rp15 hingga Rp25 per meter. Akibatnya persedian tekstil yang harusnya untuk warga Bandung menipis. Sementara penyaluran tekstil pampasan perang belum juga terlaksana.
Situasi berubah pada awal Juli 1959 ketika masuknya tekstil import dari China, Jepang dan Hongkong ke pasar Jakarta menyebabkan anjloknya harga tekstil sebesar 10 hingga 15%. Faktor lain adalah para pemegang uang “nganggur” tidak lagi berminat membeli tekstil. Mereka sudah pasrah apa pun tindakan moneter yang dilakukan pemerintah.
Tampaknya mereka beralih membeli emas. Akibatnya harga emas yang tadinya Rp152/gram untuk 24 gram baik di Jakarta maupun di Bandung pada Maret 1959 melonjak menjadi Rp200/gram untuk 24 karat di Jakarta dan Rp220 per gram untuk 24 gram di Bandung pada awal Juli 1959. Dengan naiknya harga emas lebih dari 30% menjadi indikasi bahwa sebetulnya nilai uang benar-benar merosot.
Untuk kebutuhan sehari-hari harga sayur-mayur di Kota Bandung bisa diturunkan. Harga kentang yang sempat mencapai Rp10 bisa turun menjadi Rp8,5 per kg-nya. Harga tomat semula Juli 1959 sempat mencapai harga Rp17,50 hingga Rp25 per kg turun menjadi Rp15-20 per kg. Bawang merah dari Rp25 turun menjadi Rp15 hingga Rp20 per kg. Namun harga daging tidak bisa diturunkan baik daging kerbau, sapi, hingga kambing. Hal ini terjadi karena pengangkutan hewan-hewan ini dari Jawa Tengah dan luar Jawa.
Pemerintah Hanya Pikir Politik
Tidak berdaya pemerintah mengontrol harga sembako mendapatkan kritik pedas. Di antaranya oleh Ketua Baperki Siauw Giok Tjian mengkritik kebijakan pemerintah yang lebih berorientasi pada politik, tetapi mengabaikan fakta-fakta ekonomi. Dalam ceramahnya pada Mei 1959 di Sekolah Chi Au Chung Jalan Kebon Jati nomor 8 Bandung, Siauw Giok Tjian menyatakan harga barang tidak mungkin ditentukan oleh peraturan pemerintah, tetapi harus ditentukan oleh persedian yang cukup dan cara distribusi yang lancar.
Siauw Giok Tjian mengingatkan keadaan keuangan negara suram. Defisit Rp8milyar tidak dapat dipertahankan pemerintah. Kemudian pemerintah mengusahakan tidak melebihi Rp10 milyar yang berarti bahwa di akhir tahun 1959 peredaran uang diprediksi menjadi Rp30 milyar. Hal ini tidak dapat diatasi tanpa mengimbanginya dengan meningkatkan produksi.
Dia juga menuding kongsi-kongsi minyak asing setiap tahunnya mengeruk keuntungan Rp600 hingga Rp700 juta devisen ke luar negeri. Padahal kalau jumlah itu digunakan dengan baik, setidaknya 9 pabrik gula bisa didirikan. Karena mendirikan sebuah pabrik gula membutuhkan biaya Rp80 juta. Siauw Giok Tjian mengutip laporan Bank Indonesia sejak 1949 hingga 1959 sebanyak Rp2-2,6milyar rupiah devisen dari minyak ke luar negeri. Kalau 70% dari jumlah itu diambil, maka Indonesia tidak perlu import tekstil.
Kenyataannya kebijakan moneter pemerintah untuk membatasi uang beredar tampaknya kalah berpacu dengan politik. Keputusan sidang kabinet awal Juli 1959 untuk menyedot hot money dari masyarakat (sebagian uang itu lari ke perdagangan spekulasi). Langkah pemerintah antara lain menggerakan wajib simpan dengan jalan kampanye banking dan saving minded melibatkan jarring-jaring organisasi PTT dengan kantor-kantor pos. Kepada instansi tersbeut ditambah fungsi baru yaitu Dinas Giro dan Cek yang akan mendorong rakyat untuk tidak menyimpan uang kontan di rumahnya.
Dalam sidang kabinet disebutkan perlu dikeluarkan keputusan yang melarang transaksi pembayaran yang berjumlah di atas Rp5000 tanpa menggunakan rekening giro. Jalan lain yang dapat ditempuh untuk membatasi peredaran uang kontan adalah dengan mengeluarkan ketentuan wajib simpan bagi mereka yang menerima fasilitas kredit dari bank-bank pemerintah dan pegadaian negeri. Dalam sidang disebutkan pegadaian negeri dirubah stasusnya menjadi bank kredit kecil.
Kepada golongan yang berpenghasilan tinggi misalnya mereka yang berpenghasilan di atas Rp3000 per bulan diwajibkan mengambil polis asuransi jiwa. Ketentuan ini berlaku pada para pengusaha dan pekerjaan bebas seperti advokat dan dokter.
Lebih Besar Pasak Daripada Tiang
Di tingkat lokal, Anggaran Kota Bandung sangat suram. Beberapa jenis pajak terpaksa dinaikan. Jumlah pengeluaran sekalipun pekerjaan-pekerjaan kualifikatif dikurangi mencapai Rp34. 292.640. Padahal pada 1958 jumlah pengeluaran Rp31.307.580. Di antaranya jumlah itu termasuk pengeluaran dinas bari Rp34,2 juta. Itu pun sudah ditekan.
Untuk berapa pekerjaan yang pelaksanaannya mendesak.
Membuka Jalan Sukarasa
Membuat kantor pasar kecil
Membeli los kepunyaan pedagang-pedagang di Pasar Babun. Perbaikan tempat salat di pasra dan pemindahan Pasar Cihargeulis.
Perubahan kampung di Kali Cikapundung.
Perusahaan yang menguntungkan, antara lain air, penjagalan,
1957 Rp 2.852.731
1958 Rp 1.865.290
1959 Rp 1.639.810
Perusahaan yang merugikan seperti perbaikan jalan, kuburan, pekerjaan umum, perlengkapan.
1957 Rp 11.289.794
1958 Rp 15.636.470
1959 Rp 16.509.360
Dari jumlah di atas itu jelas bahwa jumlah keuntungan terus berkurang dan jumlah kerugian terus meningkat. Pendeknya keadaan keuangan Pemerintah Kota Bandung serupa dengan pepatah lebih besar pasak daripada tiang. Namun sebetulnya persoalan di Kota bandung adalah bagian dari persoalan ekonomi Indonesia yang pada masa itu menghadapi bahaya yang lebih besar.
Irvan Sjafari
Sumber :
Pikiran Rakjat, 24 Maret 1959, 8 Mei 1959, 12 Mei 1959, 13 Mei 1959, 20 Juni 1959, 22 Juni 1959, 1 Juli 1959, 2 Juli 1959, 4 Juli 1959,6 Juli 1959
Sumber Foto Ilustrasi : Warung kelontong di Bandung 1950-an (kredit foto https://www.pinterest.com/kurniasariwdd/bandoeng-east-indies/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H