Para pembeli di Jakarta bahkan datang di Bandung membeli tekstil tanpa tawar menawar lagi. berapa pun harga yang ditetapkan pedagang dibeli. Tekstil kasar dilaporkan mencapai Rp 50 per meter, Poplin kembang Rp 40 hingga Rp50 per meter, begitu jenis kain lain rata-rata mencapai Rp50 per meter. Padahal pemerintah menetapkan Rp15 hingga Rp25 per meter. Akibatnya persedian tekstil yang harusnya untuk warga Bandung menipis. Sementara penyaluran tekstil pampasan perang belum juga terlaksana.
Situasi berubah pada awal Juli 1959 ketika masuknya tekstil import dari China, Jepang dan Hongkong ke pasar Jakarta menyebabkan anjloknya harga tekstil sebesar 10 hingga 15%. Faktor lain adalah para pemegang uang “nganggur” tidak lagi berminat membeli tekstil. Mereka sudah pasrah apa pun tindakan moneter yang dilakukan pemerintah.
Tampaknya mereka beralih membeli emas. Akibatnya harga emas yang tadinya Rp152/gram untuk 24 gram baik di Jakarta maupun di Bandung pada Maret 1959 melonjak menjadi Rp200/gram untuk 24 karat di Jakarta dan Rp220 per gram untuk 24 gram di Bandung pada awal Juli 1959. Dengan naiknya harga emas lebih dari 30% menjadi indikasi bahwa sebetulnya nilai uang benar-benar merosot.
Untuk kebutuhan sehari-hari harga sayur-mayur di Kota Bandung bisa diturunkan. Harga kentang yang sempat mencapai Rp10 bisa turun menjadi Rp8,5 per kg-nya. Harga tomat semula Juli 1959 sempat mencapai harga Rp17,50 hingga Rp25 per kg turun menjadi Rp15-20 per kg. Bawang merah dari Rp25 turun menjadi Rp15 hingga Rp20 per kg. Namun harga daging tidak bisa diturunkan baik daging kerbau, sapi, hingga kambing. Hal ini terjadi karena pengangkutan hewan-hewan ini dari Jawa Tengah dan luar Jawa.
Pemerintah Hanya Pikir Politik
Tidak berdaya pemerintah mengontrol harga sembako mendapatkan kritik pedas. Di antaranya oleh Ketua Baperki Siauw Giok Tjian mengkritik kebijakan pemerintah yang lebih berorientasi pada politik, tetapi mengabaikan fakta-fakta ekonomi. Dalam ceramahnya pada Mei 1959 di Sekolah Chi Au Chung Jalan Kebon Jati nomor 8 Bandung, Siauw Giok Tjian menyatakan harga barang tidak mungkin ditentukan oleh peraturan pemerintah, tetapi harus ditentukan oleh persedian yang cukup dan cara distribusi yang lancar.
Siauw Giok Tjian mengingatkan keadaan keuangan negara suram. Defisit Rp8milyar tidak dapat dipertahankan pemerintah. Kemudian pemerintah mengusahakan tidak melebihi Rp10 milyar yang berarti bahwa di akhir tahun 1959 peredaran uang diprediksi menjadi Rp30 milyar. Hal ini tidak dapat diatasi tanpa mengimbanginya dengan meningkatkan produksi.
Dia juga menuding kongsi-kongsi minyak asing setiap tahunnya mengeruk keuntungan Rp600 hingga Rp700 juta devisen ke luar negeri. Padahal kalau jumlah itu digunakan dengan baik, setidaknya 9 pabrik gula bisa didirikan. Karena mendirikan sebuah pabrik gula membutuhkan biaya Rp80 juta. Siauw Giok Tjian mengutip laporan Bank Indonesia sejak 1949 hingga 1959 sebanyak Rp2-2,6milyar rupiah devisen dari minyak ke luar negeri. Kalau 70% dari jumlah itu diambil, maka Indonesia tidak perlu import tekstil.
Kenyataannya kebijakan moneter pemerintah untuk membatasi uang beredar tampaknya kalah berpacu dengan politik. Keputusan sidang kabinet awal Juli 1959 untuk menyedot hot money dari masyarakat (sebagian uang itu lari ke perdagangan spekulasi). Langkah pemerintah antara lain menggerakan wajib simpan dengan jalan kampanye banking dan saving minded melibatkan jarring-jaring organisasi PTT dengan kantor-kantor pos. Kepada instansi tersbeut ditambah fungsi baru yaitu Dinas Giro dan Cek yang akan mendorong rakyat untuk tidak menyimpan uang kontan di rumahnya.
Dalam sidang kabinet disebutkan perlu dikeluarkan keputusan yang melarang transaksi pembayaran yang berjumlah di atas Rp5000 tanpa menggunakan rekening giro. Jalan lain yang dapat ditempuh untuk membatasi peredaran uang kontan adalah dengan mengeluarkan ketentuan wajib simpan bagi mereka yang menerima fasilitas kredit dari bank-bank pemerintah dan pegadaian negeri. Dalam sidang disebutkan pegadaian negeri dirubah stasusnya menjadi bank kredit kecil.
Kepada golongan yang berpenghasilan tinggi misalnya mereka yang berpenghasilan di atas Rp3000 per bulan diwajibkan mengambil polis asuransi jiwa. Ketentuan ini berlaku pada para pengusaha dan pekerjaan bebas seperti advokat dan dokter.