Pada Mei 1959 Masyumi menampilkan pembicara Hamka di konstitunate. Penulis buku Tenggelamnya kapal Van Der Wijk ini meningatkan bahwa menciptakan UUD Negara bukanlah laksana menggosok lampu aladin. Kembali ke UUD 1945 tidak boleh dilakukan dengan paksaan dan tidak perlu dilakukan dengan ancaman. Kebenaran lahir dari lubuk hati yang ikhlas. Kebenaran itu kuat adanya. Tapi bila dipakai cara-cara menimbulkan rasa takut, mulailah orang bertanya-tanya dalam hati.
Takala PJM Presiden mulai melantjarkan kampanje kembali ke UUD 1945, mulai pulalah diadakan rapat-rapat raksasa. Dijemputlah kaum tani jang sedang mengerdjakan sawahnja supaja berarak berangkat ke kota, ke tanah lapang. Jang tidak punja ongkos disediakan pengangkutan dan truk, malah wang dibagi-bagi(Pikiran Rakjat, 8 Mei 1959)
Yang dimaksud Hamka ialah mobilisasi ke kota untuk menyatakan dukungan terhadap kembalinya ke UUD 1945. Di antaranya rapat raksasa yang diadakan pada 1 Mei 1959 di Lapangan Tegallega yang dihadiri 30 ribu buruh, Rapat raksasa itu bukan saja menyatakan soal perbaikan naisb buruh, tetapi juga mendukung gagasan presiden untuk kembali ke UUD 1945. Resolusi itu diberikan kepada Panglima Siliwangi Kosasih disaksikan Gubenur Jawa Barat Ipik Gandamana.
Fraksi NU melalui Haji Zainal Arifin pada 12 Mei 1959 menegaskan bahwa fraksinya tidak sependapat dengan pemerintah memandang Piagam Jakarta sebagai dokumen Historis, tetapi lebih dari itu NU menganggap Piagam Jakarta sebagai sumber dasri segala sumber , pokok-pokok keadah negara, yang nilainya lebih tinggi dari UUD 1945.
Bagaimana persepsi warga kota Bandung terhadap polemik kembali ke UUD 1945 yang meramaikan halaman depan surat kabar? Warga Kota Bandung bernama Achmad Rasidy dalam surat pembacanya pada Pikiran Rakjat 11 Mei 1959 menyebutkan bahwa dia menyetujui kembali ke UUD 1945 untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Namun ia mengingatkan bahwa rakyat sesungguhnya menghadapi persoalan serba seret di bidang ekonomi, terutama barang-barang yang terus naik harganya. Hal ini terasa bagi kaum buruh yang penghasilannya tidak seimbang dengan kebutuhannya. Selain soal ekonomi, kebuntuan politik bisa teratasi kalau saja dwi tunggal Soekarno-Hatta dipulihkan.
Saya pertjaja terhadap pulihnja dwi tunggal jang mempunjai pengikut besar baik di pusat maupun di daerah-daerah, rakjat akan menjambut gembida dan mengharap agar segera tertjapai kestabilan politik dan ekonomi..
Dalam Sidang Konstituante pada pertengahan Mei 1959 apa yang diungkap Achmad Rasidy juga diungkapkan. Di antaranya oleh Sutrisna Sendjaja dari Gerakan Pilihan Sunda mengajukan usul baru untuk mengatasi kesukaran ini dengan cara membentuk presidium yang memimpin negara dengan batas waktu tiga tahun, yang terdiri delapan anggota. Di antaranya Soekarno, Hatta, Sri Sultan Hamangkubuwono VIII, Mr. Kusna Puradiredja, KSAD, KSAU, KSAL dan Kepolisian Negara.
PSII dalam pernyataannya pada 24 Mei 1959 juga menyatakan pihaknya meneirma gagasan kembali ke UUD 1945, tetapi Piagama Jakarta 22 Juni 1945 dijadikan mukadimah. Pernyataan PSII sebetulnya sama dengan partai Islam lainnya hanya menginginkan Piagam Jakarta ini diakomodir dan hal ini yang ditolak Blok Pancasila.
Sejarah mencatat bahwa tiga kali pengambilan suara di konstituante gagal mencapai qorum. Pemungutan suara yang pertama pada Sidang Pleno 30 Mei 1959 menghasilkan 269 setuju kembali ke UUD 1945 dan 199 menolak, sisanya abstain dari 474 yang hadir. Sementara qorum 316 suara harus setuju. Pada Sidang Pleno ke II 1 Juni 1959 sebanyak 264 setuju, 204 suara menolak, hadir 469 anggota dan qorum 313. Pada sidang gabungan ke III 2 Juni 1959 263 suara setuju dan 203 suara tidak setuju dari 468 anggota yang hadir dan qorum 313. Menurut tata terib konstiuante apabila 3 kali pemungutan suara tidak mendapatkan qorum, maka bisa diartikan majelis menolak kembali ke UUD 1945.
Irvan Sjafari
Sumber: