AADC (bersama Petualangan Sherina) di satu sisi adalah tonggak kebangkitan film Indonesia. Sebetulnya ada film horor Jelangkung yang sebetulnya juga manifestasi kultur Asia Tenggara yang suka akan cerita mistik dan dunia gaib.
Indonesia dalam hal ini serupa dengan Thailand di mana horor tumbuh subur. Sayang dalam penggarapannya akhirnya juga menjual sensualitas perempuan dan inovasinya juga tidak terlalu banyak dan beberapa tahun terakhir sepi penonton. Saya akan bahas film horor pada tulisan lain lebih dalam dan tidak di tulisan ini. Sekalipun sebetulnya penggemar horor ini juga banyak datang dari kalangan remaja.
Di sisi lain A2DC adalah akhir dari suatu sejarah era remaja yang sudah dimulai 1970-an ketika komunikasi baru berupa telepon rumah. Zaman baru (untuk ukuran sejarah sosial remaja) sebetulnya justru terwakili oleh film Eiffel, I’im in Love. Kalau A2DC ditulis oleh Jujur Prananto yang sebetulnya bukan remaja lagi, maka Eiffel, I’m in Love diangkat dari novel karya remaja juga (pada masa itu) Rahmania Arunita namanya.
Film itu benar-benar menampilkan remaja dengan ponsel, bahasanya sudah idiom remaja era 2000-an, tempat tongkrongan praktis mal seperti Citos. Ada adegan remaja ikut orangtuanya ke luar negeri yaitu Prancis. Apa yang ditampilkan dalam film itu sudah real: bahwa remaja sudah konsumtif. Soundtrack film ini juga popular dan penontonnya fantastis lebih dari 3,5 juta. Belakangan film tentang remaja berlatar luar negeri menjadi tren dan rata-rata diangkat dari novel. Jumlah penonton juga bagus. Terbukti dengan angka penonton London Love Story di atas 1 juta.
Yang menarik sejak era 2000-an ini muncul segmen lain, yaitu film religius yang menampilkan tokoh-tokoh utamanya berbusana muslim. Era sebelumnya juga ada terutama ditampilkan Rhoma Irama, tetapi apa yang digambarkan berbeda. Kalau dulu pertarungan antara yang menegakan amal ma’ruf melawan yang mungkar lebih dominan, maka era 2000-an lebih bertema drama percintaan tetapi dengan cara Islam.
Tokoh-tokohnya juga banyak didominasi anak muda. Dimulai dengan Ayat-ayat Cinta yang sebetulnya penontonnya lebih banyak anak muda yang lebih dewasa dan kaum ibu, tetapi kemudian diikuti film dengan tokoh-tokohnya lebih muda hingga menyentuh segmen remaja.
Agak sukar saya memprediksi segmen religius ini yang tiba-tiba booming dan tiba-tiba meredup, lalu booming lagi. Film religius ini sebetulnya bisa lebih banyak meraup penonton kalau bioskop lebih tersebar karena kantong penontonnya lebih banyak di kabupaten yang jarang terdapat bioskop.
Selain itu berapa film religius juga kerap terbebani hal-hal yang bersifat “ideologis” (dengan cara menggurui) daripada menampilkan hal-hal yang membumi. Termasuk juga yang diperuntukan untuk remaja. Padahal nilai-nilai bisa ditanamkan tidak dengan menggurui.
Irvan Sjafari
Sumber lain: