Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Remaja dan Film Remaja Indonesia: Dari Tiga Dara hingga Ada Apa dengan Cinta?

2 April 2016   19:25 Diperbarui: 3 April 2016   12:57 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

AADC (bersama Petualangan Sherina) di satu sisi adalah tonggak kebangkitan film Indonesia. Sebetulnya ada film horor Jelangkung yang sebetulnya juga manifestasi kultur Asia Tenggara yang suka akan  cerita mistik dan dunia gaib. 

Indonesia dalam hal ini serupa dengan Thailand di mana horor tumbuh subur.  Sayang dalam penggarapannya akhirnya juga menjual sensualitas perempuan dan inovasinya juga tidak terlalu banyak dan beberapa tahun terakhir sepi penonton. Saya akan bahas film horor pada tulisan lain lebih dalam dan tidak di tulisan ini. Sekalipun sebetulnya penggemar horor ini juga banyak datang dari kalangan remaja.  

Di sisi lain A2DC adalah akhir dari suatu sejarah era remaja yang sudah dimulai 1970-an ketika komunikasi baru berupa telepon rumah. Zaman baru (untuk ukuran sejarah sosial remaja) sebetulnya justru terwakili  oleh film Eiffel, I’im in Love. Kalau A2DC ditulis oleh Jujur Prananto yang sebetulnya bukan remaja lagi, maka Eiffel, I’m in Love diangkat dari novel karya remaja juga (pada masa itu)  Rahmania Arunita namanya.  

Film itu benar-benar  menampilkan remaja dengan ponsel, bahasanya sudah idiom remaja era 2000-an, tempat tongkrongan praktis mal seperti Citos. Ada adegan remaja ikut orangtuanya ke luar negeri yaitu Prancis.  Apa yang ditampilkan dalam film itu sudah real: bahwa remaja sudah konsumtif. Soundtrack film ini juga popular dan penontonnya fantastis  lebih dari 3,5 juta.  Belakangan film tentang remaja berlatar luar negeri menjadi tren dan rata-rata diangkat dari novel. Jumlah penonton juga bagus. Terbukti dengan angka penonton London Love Story di atas 1 juta.

Yang menarik sejak era 2000-an ini muncul segmen lain, yaitu film religius yang menampilkan tokoh-tokoh utamanya berbusana muslim. Era sebelumnya juga ada terutama ditampilkan Rhoma Irama, tetapi apa yang digambarkan berbeda.  Kalau dulu  pertarungan antara yang menegakan amal ma’ruf  melawan yang mungkar lebih dominan, maka era 2000-an lebih bertema drama percintaan  tetapi dengan cara Islam.  

Tokoh-tokohnya juga banyak didominasi anak muda.  Dimulai dengan Ayat-ayat Cinta  yang sebetulnya penontonnya lebih banyak anak muda yang lebih dewasa dan kaum ibu, tetapi kemudian diikuti  film dengan tokoh-tokohnya lebih muda hingga menyentuh segmen remaja.  

Agak sukar saya memprediksi segmen religius ini yang tiba-tiba booming dan tiba-tiba meredup, lalu booming lagi. Film religius ini sebetulnya bisa lebih banyak meraup penonton kalau bioskop lebih tersebar karena kantong penontonnya lebih banyak di kabupaten yang jarang terdapat bioskop. 

Selain itu berapa film religius  juga kerap  terbebani hal-hal yang bersifat  “ideologis” (dengan cara menggurui) daripada menampilkan hal-hal yang membumi. Termasuk juga yang diperuntukan untuk remaja.  Padahal nilai-nilai bisa ditanamkan tidak dengan menggurui.

 

Irvan  Sjafari

Sumber  lain:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun