Lompat lagi pada 1980-an  tampil  Catatan Si Boy benar-benar merubah  citra dalam alam berpikir remaja. Film ini diangkat  dari  sandiwara radio karya Marwan Alkatiri  dan  tokoh rekaannya, Raden Ario Purbo Joyodiningrat atau disebut Boy. Tokohnya pemuda kaya dengan mobil BMW, ganteng, hidup serba enak, tetapi taat beribadah dan disukai para gadis. Sayangnya norma ketimuran ditabrak, seperti pelukan dan ciuman dianggap hal yang lumrah. Ketika dalam suatu adegan  Boy menampik Vera karena takut keterusan menjadi hubungan terlarang menjadi hipokrit.  Â
Kemunculan Catatan si Boy sebetulnya pas dengan kejayaan dan kegemilangan Orde Baru di mana ekonomi menjadi panglima. Masalahnya  gaya hidup mewah yang ditampilkan dalam film ini bukan merupakan gaya hidup remaja kebanyakan tetapi akibat film ini menjadi trendsetter remaja. Padahal dalam film itu tidak diajarkan bagaimana caranya menjadi kaya dengan kerja keras. Â
Memang perlu ada penelitian seberapa besar pengaruh film ini pada pergaulan dan cara berpikir remaja, tetapi secara kasat mata kecemburuan sosial sudah terasa masa itu. Â Harus diakui film yang dibuat sampai lima sekuel ini rata-rata meraih 300 ribuan penonton. Â Lagu-lagu yang menjadi soundtrack film ini juga popular.
Yang jelas pada 1990-an film Indonesia didominasi oleh film yang menjual sensualitas perempuan  dan penonton yang disasar adalah remaja.  Apa yang ditampilkan dalam film-film era itu  menjual mimpi dan bersamaan dengan  booming televisi swasta dengan sinetron yang menjual mimpi. Â
Sebetulnya juga  karena produsen  sinetron itu  keturunan India membawa pengaruh Bollywood-nya kuat dengan  menampilkan aktor dan aktris sinetron yang cantik-cantik. Era telenovela sebetulnya resepnya sama dengan cerita Cinderella yang diselamatkan pangeran atau cewek miskin diselamatkan cowok kaya. Benar-benar kebalikan 1970-an ketika cowok miskin (tetapi punya integritas), serta mereka yang  punya naik sepeda dan angkutan  masih punya tempat yang baik dalam konstruksi sosial buatan film.  Â
Perlawanan di layar kaca diberikan oleh sinetron Si Doel Anak Sekolahan sebetulnya manifestasi bentuk baru dari film Rano Karno 1970-an, di mana Galih yang miskin dan pintar  bereinkarnasi pada sosok Si Doel.Â
Sementara Sarah adalah  manifestasi lain dari Ratna.  Serial ini dengan cepat popular karena pada dasarnya penonton Indonesia rindu pada tontonan yang membumi tetapi tetap ringan.  Inilah yang tidak ada di layar lebar atau film 1990-an. Si Doel Anak Sekolahan praktis jadi  gambaran yang  lebih ideal dan realistis bagaimana dunia anak muda Jakarta masa itu yang tidak terwakili di layar lebar.
[caption caption="Adegan dalam Ada Apa dengan Cinta: Remaja 2000-an atau akhir era baru sejarah sosial remaja? (Kredit foto http://media.themalaymailonline.com/)"]
Remaja pergi ke kafe di mal batas kewajaran ditemui sehari-hari.  Sosok Rangga  mengenalkan sastra dan aktifitas geng Cinta di majalah dinding dan main basket memberikan nilai edukasi. Kegandrungan Rangga mengunjungi perpustakaan dan pasar buku bekas di Senen memberikan alternatif  bagi remaja. Remaja suka band dan musik juga tidak berlebihan. Dalam A2DC  belum tampak remaja bawa ponsel. Â
Soundtracknya dengan cepat popular dengan terlibatnya Melly Goeslaw. Tetapi yang penting A2DC adalah trendsetter, tiba-tiba remaja demam puisi.  Jumlah penonton sekitar 2,5 juta fantastis dan tidak bisa diprediksi. Tetapi saya kira bukan hanya remaja yang menonton tetapi mereka yang ada di usia 25 tahunan dan 30 tahunan seperti saya waktu  itu yang tidak puas terhadap film remaja 1980-an dan 1990-an. Â
Dirilisnya film Ada Apa dengan Cinta 2 pada 28 April nanti juga menarik untuk diamati apakah penontonnya lebih banyak datang dari penonton AADC 2000-an dahulu atau remaja segenerasi sekarang juga  penasaran dan mau ke bioskop.