[caption caption="Kota Minyak Balikpapan 1950-an (kredit foto : Colletice Tropen Musuem )"][/caption]Secara tak sengaja saya menemukan dua reportase dari media berbeda sewaktu mencari bahan untuk penulisan sejarah Kota Bandung. Dua reportase itu merupakan hasil kunjungan para jurnalis dari berbagai media ke Balikpapan pada akhir Agustus 1951. Namun yang saya ambil hanya laporan dari dua jurnalis dari dua media berbeda. Apa yang diungkapkan dua reportase itu mencengangkan bahwa karena kekayaan minyaknya hidup buruh di Balikpapan sekalipun masih di bawah taraf hidup buruh minyak di Arab Saudi, tetapi jauh lebih baik dengan kawan-kawannya di Jawa pada kurun waktu yang sama.
Yang saya tahu di jawa Barat para pengusaha hanya sanggup membayar upah buruh Rp2,25 per hari pada 1950 dan menuntut kenaikan Rp3 per hari pada September 1950 menurut Pikiran Rakjat masa itu. Sementara di Balikpapan upah buruh BPM (perusahaan minyak) antara Rp6 hingga Rp10 per hari. Yang menarik harga beras di Jawa bisa mencapai 250 sen per kg, sementara di toko khusus untuk buruh Rp1,85 per kg. Hanya saja kondisi ini menimbulkan persoalan dengan warga lokal yang bekerja sebagai pegawai negeri yang gajinya di bawah buruh.
Penemuan sumur minyak Mathilda, sumur pengeboran perdana pada 10 Februari 1897 di kaki gunung Komendur di sisi timur Teluk Balikpapan merubah nasib kota yang diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke 18. Penamaan sumur minyak ini berasal dari nama anak JH Menten dari JH Menten dan Firma Samuel & Co sebagai pemenang hak konsesi pengeboran di yang ditunjuk pemerintah Hindia Belanda yang telah mengontrak Balikpapan dari Kesultanan Kutai. Pada awal 1900-an bertambahnya jumlah penemuan dan pengeboran minyak di Balikpapan telah membawa pendatang dalam jumlah besar ke Balikpapan. Pendatang ini kebanyakan adalah orang Cina. Sementara para pekerja pengeboran yang rata-rata berasal dari jawa dan berbagai daerah lainnya seperti India. Pekerja dari Cina dan India ini menjadi cikal bakal penghuni desa di Tukung (Klandasan) dan Jumpi (Kampung Baru) yang merupakan asal usul sebagian besar warga Balikpapan (http://balikpapan.go.id/read/46/sejarah). Karena merupakan daerah sumber minyak kota ini menjadi target serangan tentara Jepang, sehingga Perang Pasifik menimbulkan kerusakan besar atas fasilitas minyak. Dua reportase ini mengungkapkan ketika kota ini bangkit kembali.
Pikiran Rakjat pada 28-31 Agustus 1951 memuat laporan panjang jurnalisnya yang ikut dalam rombongan wartawan dari Yogyakarta, Bandung dan Jakarta memenuhi undangan de Bataafse Petroleum Maatschappy untuk mengunjungi Balikpapan. Rombongan wartawan diceritakan tiba di bandara tengah hari dengan menggunakan Canada Air. Sayangnya tidak disebut nama jurnalis koran itu yang meliput. Dalam laporan itu disebutkan mereka (para jurnalis ) dijemput para petinggi perusahaan minyak itu, yang hanya disebut bernama Dozy,Mandelaar dan Manus.
Kota Balikpapan disebutkan terletak lima kilometer dari bandara. Perjalanan menggunakan mobil melalui jalan dengan sisi sebelah kiri terbentang lautan yang membiru. Tulisan itu melaporkan tidak tampak perahu nelayan seperti umumnya kota-kota pantai. Mata pencaharian sebagian besar penduduk bukan mencari ikan, tetapi sebagai buruh, diantaranya bekerja untuk BPM. Sekitar 10.000 atau sepuluh persen dari seratus ribu penduduk kota itu bekerja di maskapai perusahaan minyak itu. Termasuk di antaranya 450 tenaga asing.
Menurut laporan itu Balikpapan pada awal1950 mempunyai lebar sekitar satu kilometer dari pantai tetapi mempunyai panjang 15 kilometer. Air tawar sukar didapatkan karena air hujan jatuh ke tanah poreus langsung menghisap dan dialirkan ke laut. Biaya hidup di Balikpapan lebih mahal dibandingkan kota-kota di Jawa, karena segala bahan makanan harus didatangkan dari Jawa. Tanah sekitar Balikpapan tandus sukar ditanami Palawija.
Tenaga kasar seperti pelayan, tukang kebun, petugas kebersihan, tukang cuci sulit didapat. Kalau pun ada gajinya paling sedikit Rp100 per bulan. Cerita dari pembesar kepada wartawan menceritakan bahwa juru masak yang dibawa dari Jawa dalam waktu sebulan menikah dengan orang Banjarmasin. Balikpapan kekurangan perempuan pada masa itu.
Perdagangan gelap merajalela di Balikpapan. Orang mencuri paraffine (lilin) dan dijual ke Makassar atau lain tempat. BPM membiarkan saja karena paraffine yang diambil tidak terpakai. Mata pencaharian lain penduduk lokal lainnya ialah berburu. Hewan yang diburu adalah banteng dan kijang yang ada di sekitar Balikpapan. Daging buruan ini dimakan sendiri atau dijual Seekor banteng bisa dijual seharga Rp1000. Daging termasuk komoditas mahal di Balikpapan.
BPM di Indonesia pekerjaannya hanya mengebor. Penjualannya dilakukan perusahaan Inggris Shell. Sementara pengangkutannya oleh Anglo Saxon Oil Coy. Perusahaan ini mempunyai kapal tangker untuk diangkut ke negara-negara yang membutuhkan minyak. Dengan demikiran minyak bumi melibatkan banyak perusahaan dan pihak. Dalam tulisan berseri itu disebutkan bahwa pengeboran dan kemudian minyak keluar dari tanah terus dijual ke dunia luar dan kemudian menjadi kaya tidaklah semudah itu.
Misalnya saja di seluruh Samboja, Kalimantan Timur, sekitar 50 km dari Balikpapan terdapat 50 tempat pengeboran minyak. Wilayah yang masa itu terletak di tengah hutan belukar yang jauhnya beratus kilometer dari tempat raffinaderij tempat minyak tanah diolah lebih dahulu. Dalam wilayah itu harus dibangunkan rumah tempat tinggal pekerja dan infrastruktur lainnya. Rombongan wartawan ke tempat itu dengan auto tetapi melalui jalan yang membelah hutan. Menjelang masuk Samboja kondisi jalan buruk. Fasilitas di Samboja untuk perumahan buruh tidak begitu baik namun dianggap lebih baik dari rumah wartawan di Bandung. Di wilayah pemukiman terdapat masjid dari dinding gedeg (bamboo) dan ada bioskop untuk hiburan para buruh yang hidup terasing.
Penghasilan minyak kasar di Kalimantan Timur menurut informasi artikel tersebut:
*1939 1.680.000 kg/ ton
*1945 17.000.000kg /ton
*1950 840.000 kg/ton
Perang Pasifik menyebabkan banyak sumber minyak mengalami kerusakan atau dalam keadaan yang tak terpelihara. Di daerah sumber minyak Louise di dekat Samarinda beratus sumber minyak harus diperbaiki. Para pekerja harus mengeluarkan barang-barang yang diceburkan tentara Jepang. Saluran pipa ke penjaringannya di Balikpapan sepanjang 110 km rusak dan sebagian harus diganti. Saluran pipa ini selesai diperbaiki pada 1946 dan dapat bekerja. Kerusakan berat terhadap sumber minyak juga terjadi Tarakan, bahkan di sini tangka-tangkinya hancur sama sekali. Pada 1947 jembatan minyak di Tarakan bisa diperbaiki namun hanya bisa menyimpan 60 ribu meter kubik atau hanya setengah dari jumlah sebelum perang.
Pada 1947 dimulai pembangunan tangka baru dan hingga 1951 baru 50 yang selesai. Gaya penyimpanannya pada 1951 berjumlah sekitar 400.000 meter kubik. Tetapi tetap tidak sebesar 1.000.000 meter kubik seperti sebelum perang. Sebagian terbesar dari jembatan yang rusak digantikan ponton dan sebagian lagi bisa diperbaiki.
Fasilitas pendidikan dibangun untuk anak-anak pekerja, di antaranya sekolah rendah. Terdapat rumah sakit dengan delapan ruangan dan lebih sari 100 tempat tidur. Terdapat kamar bedah, ruang rongent,laboratorium, apotik dan tempat dokter gigi. Keluarga para pekerja dilaporkan sudha disuntik cacar,kolera dan tipus. Bahkan di sekitar sumbe rminyak louise hampir seluruh penduduk disuntik cacar. Terdapat juga fasilitas olahraga di daerah sumber minyak, untuk tempat berenang, tenis, serta olahraga terbang.
Reportase kedua dilakukan Asa Bafaqih untuk Majalah Merdeka dimuat pada edisi 3 dan 10 September 1951. Pada tulisan pertama berjudul “Balikpapan Dibanding dengan Dahran”, wartawan itu membandingkan kawasan Dahran,sumber minyak di padang pasir Arab Saudi dengan Balikpapan. Dahran dikelola oleh Arabian American Oil Company (Aramco) dengan Balikpapan yang dikelola BPM. Sang wartawan rupanya pernah mengunjungi Dahran setahun sebelumnya.
1. Balikpapan pusat administrasi dan penjaringan minyak dari BPM di Kalimantan. Sementara Dahran pusat kegiatan Aramco.
2. Perumahan yang dibangunkan BPM untuk para pekerjanya sederhana namun mencukupi. Aramco membangunkan rumah yang semuanya menggunakan Air Conditioning dan perkakas modern untuk abad ke 20.
3. Alat-alat yang digunakan BPM untuk mengelola lima puluh telaga sumber minyak (di kawasan Samboja) yang menghasilkan 20 ton minyak sehari masih menggunakan model awal abad ke 20. Sedangkan Aramco menggunakan alat-alat lebih modern. Seluruh Kalimantan BPM seharinya menghasilkan 2300 ton minyak sementara Aramco pada 1951 menghasilkan 10.000 ton per hari.
4. Pemerintah RI berdaulat di Kota Balikpapan dan daerah minyak. Di Balikpapan dan samoja, BPM mempunyai penjaga dan polisi tidak diperbolehkan. Di Dahran, walaupun ada polisi, kantor pos dan lapangan terbang, tetapi Aramco mempunyai sendiri polisi,lapangan terbang dan pemancar radio hingga menimbulkan kesan negara dalam negara di kawasan konsesi minyaknya.
5. Upah buruh paling rendah sehari Rp6 sehari dan ada yang mendapatkan Rp10. Rumah, air dan penerangan diberikan gratis. Para pekerja mendapatkan kesempatan membeli bahan pokok untuk kehidupans ehari-hari . Setiap bulan BPM mengeluarkan Rp4 juta per bulan untuk pembayran 10 ribu pegawai termasuk 450 orang asing. Harga-harga di toko Balikpapan lebih murah dibanding dengan harga di luar Balikpapan. Harga beras sekilonya Rp 1,85 sen per kilo sementara di luar 250 sen.
6. Di Dahran kaum buruh kulit berwarna dilarang mempunyai isteri dan berkeluarga alasan kekuarangan perumahan. Tiap kamar ditempati dua buruh. Tetapi orang kulit putih boleh bawa isteri dan keluarganya. Sementara kaum buruh BPM boleh hidup bersama keluarga. Arab Saudi melarang serikat pekerja, tetapi di Balikpapan kaum buruh punya serikat buruh bernama Serekat Kaum Buruh Minyak (SKBM).
7. Dibandingkan dengan upah buruh BPM, nafkah pegawai negeri di Balikpapan tidak sbeberapa. Sehingga bila peagwai negeri Balikpapan berbelanja di toko harus bernegosiasi dengan pemilik toko. Untungnya pemilik toko mengeri hingga pegawai bisa berbelanja dengan harga murah.
8. BPM membangun kilang minyak di Balikpapan selama 40 tahun, Aramco hanya 20 tahun. BPM menanamkan uang Rp770 juta dan menghasilkan 2300 ton minyak. Aramco dalam 20 tahun menanamkan uang ratusan juta dollar dan mengeluarkan 110 ribu ton minyak sehari. Dalam tempo 20 tahun daerah di padang pasir itu menjadi kota indah, kaya air dan punya pohon serta tanaman bunga sepanjang jalan. Sedangkan Balikpapan kekurangan air dan tidak punya taman bunga.
9. BPM mampu menyediakan bioskop, rumah sakit, rumah ibadah dan tempat olahraga, skeolah pertukangan buat mendidik anak-anak buruh. Tetapi usaha mendidik tenaga Indonesiakepada kerja ahli harus mendapat perhatian masamendatang. Aramco lebih progresif karena dalam 20 tahun warga Saudi dan orang-orang Badui yang buta huruf sudah pandai bergaul dan punya keahlian seperti menggunakan mesin dan perkakas.
10. BPM menyumbang Rp15 juta per tahun untuk kas negara untuk pejak keuntungan dan Rp30 juta dari pajak pendapatan.
Pada tulisan kedua “BPM: Produksi, Bunga dan Rentjana” Afa mengungkapkan bahwa penghasilan BPM di Indonesia pada 1939 sebesar 4.380.000 kg/ton dan 1950 3.647.000 kg/ton. Infrastruktur BPM di Balikpapan dua kali di bumihanguskan. Pertama oleh pihak Belanda sendiri sebelum diduduki Jepang dan yang kedua oleh pihak tentara Jepang.
BPM membangun pabrik lilin yang bisa menghasilkan 3500 ton. Sebanyak 17 persen dari semua produksi lilin Balikpapan dibawa ke Jawa untuk dipergunakan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari termasuk industri batik. Sebagian dari produksi lilin diekspor ke Belanda, Belgia, Australia, Singapura, serta Afrika Selatan. Sayangnya sebanyak 100 ton lilin setiap bulan dicuri. Setiap ton lilin masa itu dihargai Rp70. Pernah terjadi sebanyak 90 ton lilin dibawa ke luar daerah dalam 1951 dan perbuatan ini digagalkan alat negara.
Irvan Sjafari
Ilustrasi Foto : Colletice Tropen Musuem
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H