Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saya Tidak Setuju Ridwan Kamil Dicalonkan Menjadi Gubernur DKI Jakarta Maupun Gubernur Jawa Barat

28 Januari 2016   19:35 Diperbarui: 2 Februari 2016   17:31 1903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Walaupun saya bukan warga Bandung, tetapi selalu menghabiskan waktu libur di kota kembang itu dan saya memiliki banyak saudara dan kerabat di kota itu.  Sebelum  Ridwan Kamil menjadi wali kota Bandung, saya kecewa terhadap penataan kota terutama setelah 1980-an, tamannya berantakan dan berkurangnya Ruang Tata Hijau (RTH), kemacetan, tergusur bangunan-bangunan bersejarah, sungai yang kumuh. Sekalipun hingga 1970-an akhir Bandung masih terasa indah bagi saya.   Saya  pernah menyindir paman saya yang menjadi dosen ITB, warga Bandung. “Bagaimana nih Bandung  punya ITB, tetapi kok berantakan?”  Paman saya dengan enteng sambil tertawa menjawab: “Lain ITB, lain pemkot, Van!”

 

Dengan kata lain waktu itu (sekitar 1990-an)  saya berharap (dan berdoa dalam hati)  seorang alumnus ITB harus memimpin Bandung.  Alumnus ITB yang melewatkan sekolahnya di kota itu dan dengan ilmu dan keterikatan emosionalnya, dia bisa menata Bandung dengan cinta.  Doa saya dikabulkan: Ridwan Kamil jadi wali kota  Bandung  dan hingga saat ini saya puas terhadap kebijakannnya sesuai dengan trek dan saya menemukan kembali Bandung ketika masih saya kecil tahun 1970-an.

 

Pelan-pelan, tapi pasti Bandung menjadi kota modern dan nyaman.  Saya yakin pada akhir masa jabatannya nanti pada 2018 kota Bandung menjadi smart city dan saya yakin bisa punya value added dibanding Jakarta sekalipun.   Jadi saya termasuk di barisan orang yang tetap menginginkan Kang Emil tetap menjadi wali kota Bandung hingga akhir masa jabatannya.  Kalau perlu  Kang Emil lanjut sampai 2023: biar Bandung menjadi tecnopolis  dan sekaligus jadi kota kreatif. Saya yakin  di bawah Kang Emil Bandung lebih maju dari Jakarta karena warganya dekat dan mencintai wali kotanya, mendukungnya dan Kang Emil lewat akun media sosialnya berupaya melibatkan warga.  Kang Emil itu cocok untuk karakter kota Bandung  dan warganya.     

 

Mengapa Ridwan Kamil terus digedang-gedang untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta?  Sebegitu tidak sukanya  Gerindra dan PKS terhadap seorang  Basuki Tjahja Purnama alias Ahok? Sebetulnya bukan saja PKS dan Gerindra,  tetapi beberapa pihak lain.  Seorang senior saya di kantor media tempat saya bekerja  bilang  ketidaksukaan sejumlah pihak terhadap Ahok   juga  karena ada yang “rejekinya”  berkurang.  Saya lebih setuju pada alasan ini daripada alasan Ahok itu non muslim (ingat Jakarta pernah dipimpin Henk Ngantung).   Jadi  begitu putus asanya  karena merasa Ahok popular dan berpeluang memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2017?    

 

Padahal belum tentu juga Ahok menang (sekalipun lawannya bukan Ridwan Kamil), masih banyak yang bisa terjadi pada 2016-2017 nanti.   Sebetulnya saya juga ragu akan popularitas Ahok itu real atau tidak? Jangan-jangan hanya di media dan  media sosial?  Sebab ada suara grass root yang tidak terakses media-mungkin juga survei- dan ada yang diam-diam punya sikap resistensi terhadap Ahok.   Kemenangan Ahok dulu karena dia pasangan Jokowi.  Apakah grass root yang resisten terhadap Ahok ini juga cocok dengan Kang Emil, saya kira tidak.  Kang Emil tidak cocok menghadapi tradisi bek dan jawara dan kelompok-kelompok informal.  Bandung juga punya kelompok informal, tetapi secara budaya cocok dengan Kang Emil.   

 

Persoalannya  calon-calon yang disebut oleh kawan Thomson Cyrus  sebagai “pengembira” itu tidak punya konsep apa pun seperti apa Jakarta   dibangun.   Karena kebanyakan calon yang dimajukan itu berlatar belakang politisi.  Ada kesan  bahwa calon-calon dari politisi (apalagi politisi Senayan) kurang  dipercaya dan membuat tanda tanya besar ada apa dengan kaderisasi partai. Apa hanya bisa menghasilkan pemimpin yang jago bicara   Nah  Kang Emil sudah punya protipe, begitu juga Tri Rismaharini . Persoalannya apakah protipe Kang Emil cocok Jakarta? Saya kira tidak. Begitu juga dengan Tri Rismaharini.  

 

Dari sejarahnya Jakarta itu gabungan kampung besar ( The Big  Village) yang disatukan oleh  Ali Sadikin yang mentransformasi Jakarta  menjadi kota metropolitan.  Hingga 1950-an akhir sebetulnya kota metropolitan dalam arti gaya hidup dan ruang hidup justru Bandung.  Ali Sadikin punya trek dan konsep yang jelas dan juga keras pada kebijakannya.  Sikap inilah yang dibutuhkan oleh Jakarta.  Sampai saat ini menurut saya  yang mendekati Ali  Sadikin  adalah : Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.  Pemimpin yang keras bisa menghadapi kelompok-kelompok informal di Jakarta.  Selain itu kesetiaan warga Jakarta terhadap kotanya  tidak seperti  kesetiaan warga Bandung atau kota seperti Yogyakarta, karena banyak dari mereka pendatang yang kerap pulang kampung.  Mengatur tata kota Jakarta juga lebih sulit karena karakter di bagian utara beda dengan di bagian Selatan.  Demografinya juga beragam.  Belum lagi terlalu banyak kepentingan di Jakarta.   Kota ini jadi strategis dan politis hanya karena dia ibukota. Coba kalau ibukotanya pindah dan Jakarta hanya kota perdagangan.      

 

Saya pribadi tidak suka pada  calon-calon berlatar belakang politisi untuk  memimpin kota : berisik (banyak omong, banyak jargon, dan terlalu banyak hitung-hitungannya).  Kota itu harus dibangun seorang insinyur,  ahli tata kota, ekonom, profesional seperti dokter, seorang budayawan atau militer.  Sampai saat ini kota yang jelas treknya ialah  yang  dibangun  oleh insinyur, seperti  Solo, Surabaya dan Bandung. Paling tidak tata kotanya bagus.  Kalau di tangan ekonom, kehidupan ekonomi warganya baik, di tangan budayawan, kehidupan sosial maju, kalau di tangan militer paling tidak tata tertib ditegakan.  Lain halnya kalau memimpin propinsi seperti Jawa Barat atau menjadi presiden tentu faktor politik penting.   

 

Dari situ saya nggak yakin Kang Emil juga cocok menjadi Gubernur Jawa Barat, karena propinsi ini bukan hanya Bandung.  Jadi menggadang-gadang  Kang Emil  untuk posisi ini juga tidak  terlalu tepat.  Jadi sebenarnya apa maunya  para politisi itu mengusung Kang Emil?  Rasanya saya setuju dengan Thomson Cyrus  targetnya jadi calon presiden  untuk 2019.  Sebab di kelompok Gerindra dan PKS kalau tetap mengusung Prabowo  akan selalu mendapatkan resistensi: lain halnya dengan Kang Emil.  Tetapi kan  untuk menjadi kandidat Presiden  ada faktor momentum dan calon alternatif?  Dan itu tidak harus dari Gubernur DKI Jakarta atau Gubernur Jawa Barat, tetapi juga bisa dari  wali kota. 

 

Tetapi sebelum itu saya menunggu Bandung menjadi kota paling kreatif, warganya paling happy, UKM paling maju, warga yang punya pendidikan tinggi paling banyak dan paling hebring  setidaknya se-Indonesia,  barulah bicara Kang Emil jadi presiden.     Tentunya  tidak tergesa-gesa dan  bukan sekadar memuaskan keinginan para politisi parpol.

 

Catatan : Pada pilpres   2014  kemarin saya tidak datang ke kotak suara.  Jadi saya bukan pendukung Jokowi maupun  Prabowo.  Saya warga Depok dan bukan warga DKI Jakarta jadi bukan pemilih Jokowi/Ahok.

 

Irvan Sjafari

Sumber Foto Youtube     

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun