Walaupun saya bukan warga Bandung, tetapi selalu menghabiskan waktu libur di kota kembang itu dan saya memiliki banyak saudara dan kerabat di kota itu. Sebelum Ridwan Kamil menjadi wali kota Bandung, saya kecewa terhadap penataan kota terutama setelah 1980-an, tamannya berantakan dan berkurangnya Ruang Tata Hijau (RTH), kemacetan, tergusur bangunan-bangunan bersejarah, sungai yang kumuh. Sekalipun hingga 1970-an akhir Bandung masih terasa indah bagi saya. Saya pernah menyindir paman saya yang menjadi dosen ITB, warga Bandung. “Bagaimana nih Bandung punya ITB, tetapi kok berantakan?” Paman saya dengan enteng sambil tertawa menjawab: “Lain ITB, lain pemkot, Van!”
Dengan kata lain waktu itu (sekitar 1990-an) saya berharap (dan berdoa dalam hati) seorang alumnus ITB harus memimpin Bandung. Alumnus ITB yang melewatkan sekolahnya di kota itu dan dengan ilmu dan keterikatan emosionalnya, dia bisa menata Bandung dengan cinta. Doa saya dikabulkan: Ridwan Kamil jadi wali kota Bandung dan hingga saat ini saya puas terhadap kebijakannnya sesuai dengan trek dan saya menemukan kembali Bandung ketika masih saya kecil tahun 1970-an.
Pelan-pelan, tapi pasti Bandung menjadi kota modern dan nyaman. Saya yakin pada akhir masa jabatannya nanti pada 2018 kota Bandung menjadi smart city dan saya yakin bisa punya value added dibanding Jakarta sekalipun. Jadi saya termasuk di barisan orang yang tetap menginginkan Kang Emil tetap menjadi wali kota Bandung hingga akhir masa jabatannya. Kalau perlu Kang Emil lanjut sampai 2023: biar Bandung menjadi tecnopolis dan sekaligus jadi kota kreatif. Saya yakin di bawah Kang Emil Bandung lebih maju dari Jakarta karena warganya dekat dan mencintai wali kotanya, mendukungnya dan Kang Emil lewat akun media sosialnya berupaya melibatkan warga. Kang Emil itu cocok untuk karakter kota Bandung dan warganya.
Mengapa Ridwan Kamil terus digedang-gedang untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta? Sebegitu tidak sukanya Gerindra dan PKS terhadap seorang Basuki Tjahja Purnama alias Ahok? Sebetulnya bukan saja PKS dan Gerindra, tetapi beberapa pihak lain. Seorang senior saya di kantor media tempat saya bekerja bilang ketidaksukaan sejumlah pihak terhadap Ahok juga karena ada yang “rejekinya” berkurang. Saya lebih setuju pada alasan ini daripada alasan Ahok itu non muslim (ingat Jakarta pernah dipimpin Henk Ngantung). Jadi begitu putus asanya karena merasa Ahok popular dan berpeluang memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2017?
Padahal belum tentu juga Ahok menang (sekalipun lawannya bukan Ridwan Kamil), masih banyak yang bisa terjadi pada 2016-2017 nanti. Sebetulnya saya juga ragu akan popularitas Ahok itu real atau tidak? Jangan-jangan hanya di media dan media sosial? Sebab ada suara grass root yang tidak terakses media-mungkin juga survei- dan ada yang diam-diam punya sikap resistensi terhadap Ahok. Kemenangan Ahok dulu karena dia pasangan Jokowi. Apakah grass root yang resisten terhadap Ahok ini juga cocok dengan Kang Emil, saya kira tidak. Kang Emil tidak cocok menghadapi tradisi bek dan jawara dan kelompok-kelompok informal. Bandung juga punya kelompok informal, tetapi secara budaya cocok dengan Kang Emil.
Persoalannya calon-calon yang disebut oleh kawan Thomson Cyrus sebagai “pengembira” itu tidak punya konsep apa pun seperti apa Jakarta dibangun. Karena kebanyakan calon yang dimajukan itu berlatar belakang politisi. Ada kesan bahwa calon-calon dari politisi (apalagi politisi Senayan) kurang dipercaya dan membuat tanda tanya besar ada apa dengan kaderisasi partai. Apa hanya bisa menghasilkan pemimpin yang jago bicara Nah Kang Emil sudah punya protipe, begitu juga Tri Rismaharini . Persoalannya apakah protipe Kang Emil cocok Jakarta? Saya kira tidak. Begitu juga dengan Tri Rismaharini.
Dari sejarahnya Jakarta itu gabungan kampung besar ( The Big Village) yang disatukan oleh Ali Sadikin yang mentransformasi Jakarta menjadi kota metropolitan. Hingga 1950-an akhir sebetulnya kota metropolitan dalam arti gaya hidup dan ruang hidup justru Bandung. Ali Sadikin punya trek dan konsep yang jelas dan juga keras pada kebijakannya. Sikap inilah yang dibutuhkan oleh Jakarta. Sampai saat ini menurut saya yang mendekati Ali Sadikin adalah : Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Pemimpin yang keras bisa menghadapi kelompok-kelompok informal di Jakarta. Selain itu kesetiaan warga Jakarta terhadap kotanya tidak seperti kesetiaan warga Bandung atau kota seperti Yogyakarta, karena banyak dari mereka pendatang yang kerap pulang kampung. Mengatur tata kota Jakarta juga lebih sulit karena karakter di bagian utara beda dengan di bagian Selatan. Demografinya juga beragam. Belum lagi terlalu banyak kepentingan di Jakarta. Kota ini jadi strategis dan politis hanya karena dia ibukota. Coba kalau ibukotanya pindah dan Jakarta hanya kota perdagangan.
Saya pribadi tidak suka pada calon-calon berlatar belakang politisi untuk memimpin kota : berisik (banyak omong, banyak jargon, dan terlalu banyak hitung-hitungannya). Kota itu harus dibangun seorang insinyur, ahli tata kota, ekonom, profesional seperti dokter, seorang budayawan atau militer. Sampai saat ini kota yang jelas treknya ialah yang dibangun oleh insinyur, seperti Solo, Surabaya dan Bandung. Paling tidak tata kotanya bagus. Kalau di tangan ekonom, kehidupan ekonomi warganya baik, di tangan budayawan, kehidupan sosial maju, kalau di tangan militer paling tidak tata tertib ditegakan. Lain halnya kalau memimpin propinsi seperti Jawa Barat atau menjadi presiden tentu faktor politik penting.
Dari situ saya nggak yakin Kang Emil juga cocok menjadi Gubernur Jawa Barat, karena propinsi ini bukan hanya Bandung. Jadi menggadang-gadang Kang Emil untuk posisi ini juga tidak terlalu tepat. Jadi sebenarnya apa maunya para politisi itu mengusung Kang Emil? Rasanya saya setuju dengan Thomson Cyrus targetnya jadi calon presiden untuk 2019. Sebab di kelompok Gerindra dan PKS kalau tetap mengusung Prabowo akan selalu mendapatkan resistensi: lain halnya dengan Kang Emil. Tetapi kan untuk menjadi kandidat Presiden ada faktor momentum dan calon alternatif? Dan itu tidak harus dari Gubernur DKI Jakarta atau Gubernur Jawa Barat, tetapi juga bisa dari wali kota.
Tetapi sebelum itu saya menunggu Bandung menjadi kota paling kreatif, warganya paling happy, UKM paling maju, warga yang punya pendidikan tinggi paling banyak dan paling hebring setidaknya se-Indonesia, barulah bicara Kang Emil jadi presiden. Tentunya tidak tergesa-gesa dan bukan sekadar memuaskan keinginan para politisi parpol.
Catatan : Pada pilpres 2014 kemarin saya tidak datang ke kotak suara. Jadi saya bukan pendukung Jokowi maupun Prabowo. Saya warga Depok dan bukan warga DKI Jakarta jadi bukan pemilih Jokowi/Ahok.
Irvan Sjafari
Sumber Foto Youtube