Situasi ekonomi Indonesia pada masa itu dalam keadaan sulit tercermin dari kuliah umum Mohammad Hatta di depan mahasiswa Universitas Semarang pada Senin 22 September 1958 bahwa defisit anggaran negara mencapai Rp6 milyar pada 1958 dan pada 1959 mencapai Rp9 milyar dan bisa mencapai Rp12 milyar. Menurut Hatta pergolakan di daerah ikut menambah sulitnya ekonomi di Indonesia masa itu.
Pada akhir September 1958 KENSI (Kongres Ekonomi Nasional Indonesia) ke II diselenggarakan di Grand Hotel Lembang, Kabupataen Bandung dihadiri oleh Perdana Menteri Djuanda, Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno, serta Menteri Stabiltas Ekonomi Kolonel Suprayogi. Tujuan Kongres ini ialah mencari jalan untuk merubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Dalam kongres dibahas persedian bahan makanan, pakaian dan bahan-bahan industru yang menjadi kebutuhan rakyat di setiap kabupaten, kalau ada kekurangan diatasi dengan injeksi.
KENSI juga berharap bisa membuat bank rakyat dan bank negara dapat mengambilalih kedudukan bangsa asing. Kensi juga berharap Bank Indonesia menarikkembali kredit-kredit yang diberikan pada bank nasional milik Ali Baba (maksudnya lisensinya orang pribumi, tetapi praktek yang menjalankan orang etnis Tionghoa). Dalam Kongres Kensi juga akan dibahas soal demokrasi terpimpin. Namun PM Djuanda menyebtukan sebagai wancana ekonomi terpimpin sesungguhnya teregsa-gesa dibicarakan sama halnya dengan demokrasi terpimpin.
Pembicara lainnya, Gubernur Bank Indonesia pada 1958 Lukman Hakim mengakui bahwa perekonomian Indonesia suram. Lukman Hakim berharap KENSI membimbing sektor partikelir kea rah produksi sebesar-besarnya menggunakan kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri. Lukman menyebutkan kekuatan produksi dan masyarakat juga saling menghancurkan. Akhir 1951 uang yang beredar Rp5 milyar, tetapi pada Juni 1958 uang beredar sudah mencapai Rp21 milyar. Sementara biaya untuk pemulihan keamanan PRRI/Permesta diperkirakan mencapai Rp4 milyar.
Lukman Hakim pada waktu itu juga menjabat sebagai Direktur IMF sehari kemudian bertolak ke New Dheli. Pria kelahiran Tuban 6 Juni 1914 pernah menjabat Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman ad interim RI Darurat (19 Desember 1948 – 13 Juli 1949), Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949), Menteri Keuangan dalam Kabinet Susanto (20 Des 1949 hingga 21 Januari 1950, Kabinet Halim 21 Januari 1950-6 September 1950). Lukman Hakim (dekat dengan PNI) adalah tokoh yang menggantikan Sjafrudin Prawiranegara (tokoh yang dekat dengan Masyumi).
Memasuki Oktober 1958 alarm tanda bahaya kehidupan ekonomi Indonesia sudah berbunyi dan di sisi lain konflik politik makin memanas. Bagaimana politik di pusat dan dampaknya di Jawa Barat pada 1958 menjelang akhir 1958 akan saya singgung di tulisan berikutnya.
Irvan Sjafari
Sumber: Pikiran Rakjat 23 Juli 1958, 7 Agustus 1958, 5 September 1958, 6 September 1958, 13 September 1958, 16 September 1958, 20 September 1958, 24 September 1958, 29 September 1958, 30 September 1958, 1 Oktober 1958
Mulya, Wanda “Distribusi Minyak Tanah” dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 2: Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Penyunting Hadi Soesastro, Dkk, Jakarta: Kanisius 2005
http://www.kemenkeu.go.id/Daftarmenteri/menteri-keuangan-lukman-hakim diakses pada 14 Desember 2015