Tentu saja pemerintah tidak serta merta mengabulkan permintaan itu karena bakal menimbulkan dampak berantai. Masalahnya pada minggu kedua September 1958 minyak tanah sukar didapat di berbagai daerah, di antaranya   oleh warga kota Bandung. Alokasi minyak tanah dan bensin dari BPM jumlahnya dikurangi. Beberapa toko yang tadinya mendapat alokasi lima drum dikurangi menjadi dua drum. Sementara pembelinya berduyun-duyun. Akhirnya dibuat kebijakan setiap orang hanya boleh membeli berapa liter minyak tanah.  Harga minyak tanah  tembus menjadi Rp 1hingga Rp 1,30 per liter ketika tiba di pedagang kecil.Â
Di Jakarta pompa bensin milik Stanvac pada pertengahan September 1958 kerap tutup sejak pagi dengan alasan kehabisan bensin. Di Jakarta harga bensin mencapai Rp1,25 perliter, kemudian naik Rp1,50 dan naik lagi menjadi Rp1,75 perliter hanya dalam berapa hari.  Kesannya harga terjun bebas dan pemerintah tidak punya daya mengontrol harga BBM. Â
Kampung-kampung sekitar kota Bandung yang biasa menggunakan minyak tanah sebagai penerang akhirnya menggunakan kayu bakar. Warga sampai rela membayar Rp2 per botol minyak tanah.   Dampak juga terasa pada angkutan umum. Ongkos taksi meningkat. Ongkos oplet Bandung-Garut yang atdinya Rp10 meningkat menjadi Rp25. Tak sedikit bus-bus yang terparkir berjam-jam,lumpuh dan terbengkalai.  Trayek jauh Bandung-Cirebon dan Bandung-Jakarta kerap kehabisan bensin di jalan.  Orperni, Perbabin Jawa Barat mendesak pemerintah menolak usulan BPM dan Stanvac. Tetapi mereka tak berdaya menghadapi pasar.   Â
Tanpa kenaikan harga bensin saja sektor perhubungan di Jawa Barat dalam keadaan bahaya sejak awal September 1958.  Perusahaan pengangkutan yang hanya punya 3 atau 4 truk tidak bisa mengimbangi biaya. Perhitungan trayek Bandung-Jakarta lewat Sukabumi dengan kuota 3500 kg per bulan (8 rit) menghabiskan bensin 150 liter dengan harga Rp180, oli menghabiskan biaya Rp54, ban sekitar Rp270, uang makan dan menginap supir Rp130 dengan biaya keseluruhan Rp 1190,90. Sementara uang masuk Rp1000.  Â
Seperti halnya beras dan minyak tanah dengan cepat jadi obyek untuk mecari untung. Banyak supir yang menghentikan usaha mengangkut penumpang menjadi tukang antri bensin. Bensin dijual dengan harga tinggi. Bensin antri dua jerigen dan dijual Rp50 per jerigen hingga untung  Rp50.  Jadi mereka tak perlu repot mencari penumpang.  Pihak kepolisian mencegah kesempatan itu dengan mengharuskan mempunyai surat keterangan membeli bensin dari kepolisian.   Â
Minggu ketiga September 1958 alokasi minyak tanah di Bandung berkurang dari biasanya 40 drum per bulan menjadi 20 drum per bulan dan berkurang lagi menjadi 10 drum per bulan. Setiap warga hanya boleh membeli dua liter. Pada minggu ketiga harga minyak tanah sudah mencapai Rp1,50 per liter. Itu artinya sudah melebihi harga minyak tanah yang diusulkan Shell dan BPM di awal September 1958.
Peserikatan Perusahaan Angkutan Bermotor Indonesia (Perpabin) Jawa Barat pada akhir September 1958 mengeluarkan resolusi mendesak BPM dan Stanvac mengeluarkan alokasi bensin yang mencukupi. Perserikatan meminta pemerintah mengawasi pompa bensin dan diadakan razia bensin. Harga bensin per jerigen berkisar  Rp60 hingga Rp100.  Diberitakan muncul kendaraan liar yang bermain.  Bensin di pasar gelap mencapai Rp5 per liter. Menurut catatan Perpabin sejak September 1958 pengiriman bensin dari pusat ke daerah hingga ke pompa bensin dikurangi.
Kepala Kepolisian Priangan Kompol R.Imam Supojo memperingatkan pompa bensin di Kota Bandung agar kepada kendaraan yang membawa jerigen dan drum. Akhirnya hanya lima pompa bensin yang diperbolehkan menjual bensin dalam drum atau jerigen. Di antaranya Pompa milik Dumas boleh menjual 3,25 drum ke perkebunan pertanian, pompa milik Tan A Soen di Stasiun Barat boleh menjual 5,2 drum kepada onderneming, Pompa Bensin di Braga boleh menjual kebutuhan kepolisian negara dengan jatah 3 ton, Poma Bensin milik Soewondo di Pasir Kaliki boleh menjual bensin sebanayk 7,1 ton untuk perusahaan bis dan Yayasan Motor boleh menjual 5 ton bensin untuk mobrig. Â
Hingga 1958 sebetulnya saluran perdagangan minyak tanah terutama di kota besar bebas dari campur tangan pemerintah.   Hal ini membuat kelangkaan bensin dan minyak tanah ketika soal harga tidak memuaskan.  Akhirnya pada Oktober 1958 pemerintah membentuk Panitya Pemeriksa harga Minyak. Tugas panitya ini ialah menemukan jalan untuk mendistribusikan hasil-hasil minyak.  Panitya berpendapat bahwa distribusi hasil minyak tidak dapat hanya untuk tujuan komersial,  melainkan terutama dan bertujuan untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat.   Sekalipun minyak diolah oleh perusahaan asing, namun distribusi tidak dapat diserahkan kepada kesedian dan kebijaknaan perusahaan itu sendiri.
Pada 1950-an Minyak Bumi  sebetulnya adalah penghasil devisa terbesar kedua setelah karet. Pada 1957 produksi minyak mencapai dua kali lipat produksi 1940. Namun sebagian besar dari produksi dikonsumsi di dalam negeri Antara 1950-1956 permintaan bensin naik hingga 64,5% dan permintaan minyak tanah 200,5%. Perusahaan-perusahaan minyak asing seperti Stanvac, Shell, Caltex mempunyai posisi kuat di industri minyak masa itu
Memasuki Ekonomi Suram Â