[caption caption="Suasana pertokoan di Bandung 1950-an,"][/caption]
Soekirah, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Jalan Ciparai 34/122 A tidak bisa lagi menahan tekanan ekonomi. Dia mengungkapkan keluhannya pada surat pembaca Pikiran Rakjat pada Sabtu 6 September 1958. Bukan saja kenaikan harga beras yang sudah mencapai Rp10/kg-nya untuk beras giling kualitas I, serta Rp 9,50 untuk kualitas II dan Rp9 untuk kualitas III, tetapi minyak tanah menghilang dari pasar kota Bandung
“ Kalau kami tak kasian kepada jang berwajib, tlah lama kami berdemonstrasi membawa masing-masing dandang kosong kami, ples-minjak klapa kosong, pakaian kanak-kanak kotor karena sabun mahal. Kembali seperti djaman Djepang mencuci dengan air merang…”
Sebagai rakyat kecil Soekirah mempertanyakan tentang kesedian Indonesia untuk menjadi tuan rumah Asian Games empat tahun mendatang, hingga rencana pemerintah menghadiahkan ratusan juta rupiah kepada para perintis kemerdekaan. Soekirah yakin bahwa para pejuang merasa lebih dihargai kalau rakyat yang ditinggalkannya tidak menderita mahal beras, sabun dan minyak kelapa.
Hanya selang seminggu Abdullah Danumi, warga Bandung lainnya mengungkapkan bahwa gajinya sekitar Rp600 per bulan harus berpacu dengan kebutuhan hidup dengan seorang isteri dan tiga orang anak. Dia menyebutkan secara rinci pengeluarannya, yaitu beras 30 x 2 x Rp 6 (per liter) berkisar Rp 360. Untuk sewa rumah dia merogoh kocek Ro75, rekening lsitrik Rp10,50, minyak tanah Rp85, sayur dan ikan asin Rp300, sabunRp45 dengan total Rp825,50.
Mana fonds untuk pakaian,biaya sakit, uang pangkal anak sekolah? Pinjam uang koperasi menambah beban hidup?
Memasuki September 1958 tak ada tanda-tanda harga beras bakal turun, bahkan terus meningkat. Beras masih dikuasai oleh pemegang uang. Desas-desus yang beredar beras disimpan di tempat sangat rahasia dan tidak akan dijual bila harganya murah. Beras kualitas tertinggi yang akhir Agustus 1958 Rp9 dan terendah Rp 8 naik dalam seminggu menjadi Rp10 dan Rp9 yang terendah per kg-nya . Pada awal Agustus beras masih berkisar Rp6 hingga Rp7,25. Para penyalur beras berkilah meningkatnya harga beras karena kesukaran para penyalur beras sendiri sebagai pelaksana “single buyer” dan “single seller”.
Kesedian Indonesia menjadi Tuan Rumah Asian Games ke IV mendapatkan sorotan tajam dari Warga Bandung. Sebuah surat pembaca di harian Pikiran Rakjat 23 Juli 1958 atas nama Somad, seorang guru SR mempertanyakan apakah tidak lebih baik yang Rp 500 juta (dana awal) itu digunakan untuk membangun 5000 Sekolah Rakyat. Pada masa itu satu gedung SR memakan biaya Rp100.000 dan masih banyak penduduk Indonesia buta huruf.
Sementara Rasidi Suhra, seorang warga Bandung menilai janji KOI menyediakan dana Rp350 juta lebih baik digunakan untuk mendirikan rumah pegawai negeri- yang masa itu masih kekurangan. Rasidi menuding Asian Games itu tidak bermanfaat bagi kemakmuran rakyat.
Krisis BBM
Masih pontang-panting menghadapi krisis beras, krisis lain muncul dihadapi pemerintah pusat maupun kota Bandung. Awal September 1958 dua perusahaan bensin asing Shell dan BPM (Baatafache Petroleum Mijhn) mengusulkan kenaikan harga 6 jenis bahan bakar. Di antaranya bensin diusulkan naik dari Ro 1,03 per liter menjadi Rp1,70 atau naik 65%,minyak tanah Rp 0,60 naik menjadi Rp1,20 per liter. Perusahaan-perusahaan minyak ini selama 1958 sudah berkali-kali mengajukan permohonan untuk dapat menaikan harga bensin dan minyak tanah dengan dalih mereka mengalami kerugian yang tidak sedikit atas penjualan di dalam negeri.
Tentu saja pemerintah tidak serta merta mengabulkan permintaan itu karena bakal menimbulkan dampak berantai. Masalahnya pada minggu kedua September 1958 minyak tanah sukar didapat di berbagai daerah, di antaranya oleh warga kota Bandung. Alokasi minyak tanah dan bensin dari BPM jumlahnya dikurangi. Beberapa toko yang tadinya mendapat alokasi lima drum dikurangi menjadi dua drum. Sementara pembelinya berduyun-duyun. Akhirnya dibuat kebijakan setiap orang hanya boleh membeli berapa liter minyak tanah. Harga minyak tanah tembus menjadi Rp 1hingga Rp 1,30 per liter ketika tiba di pedagang kecil.
Di Jakarta pompa bensin milik Stanvac pada pertengahan September 1958 kerap tutup sejak pagi dengan alasan kehabisan bensin. Di Jakarta harga bensin mencapai Rp1,25 perliter, kemudian naik Rp1,50 dan naik lagi menjadi Rp1,75 perliter hanya dalam berapa hari. Kesannya harga terjun bebas dan pemerintah tidak punya daya mengontrol harga BBM.
Kampung-kampung sekitar kota Bandung yang biasa menggunakan minyak tanah sebagai penerang akhirnya menggunakan kayu bakar. Warga sampai rela membayar Rp2 per botol minyak tanah. Dampak juga terasa pada angkutan umum. Ongkos taksi meningkat. Ongkos oplet Bandung-Garut yang atdinya Rp10 meningkat menjadi Rp25. Tak sedikit bus-bus yang terparkir berjam-jam,lumpuh dan terbengkalai. Trayek jauh Bandung-Cirebon dan Bandung-Jakarta kerap kehabisan bensin di jalan. Orperni, Perbabin Jawa Barat mendesak pemerintah menolak usulan BPM dan Stanvac. Tetapi mereka tak berdaya menghadapi pasar.
Tanpa kenaikan harga bensin saja sektor perhubungan di Jawa Barat dalam keadaan bahaya sejak awal September 1958. Perusahaan pengangkutan yang hanya punya 3 atau 4 truk tidak bisa mengimbangi biaya. Perhitungan trayek Bandung-Jakarta lewat Sukabumi dengan kuota 3500 kg per bulan (8 rit) menghabiskan bensin 150 liter dengan harga Rp180, oli menghabiskan biaya Rp54, ban sekitar Rp270, uang makan dan menginap supir Rp130 dengan biaya keseluruhan Rp 1190,90. Sementara uang masuk Rp1000.
Seperti halnya beras dan minyak tanah dengan cepat jadi obyek untuk mecari untung. Banyak supir yang menghentikan usaha mengangkut penumpang menjadi tukang antri bensin. Bensin dijual dengan harga tinggi. Bensin antri dua jerigen dan dijual Rp50 per jerigen hingga untung Rp50. Jadi mereka tak perlu repot mencari penumpang. Pihak kepolisian mencegah kesempatan itu dengan mengharuskan mempunyai surat keterangan membeli bensin dari kepolisian.
Minggu ketiga September 1958 alokasi minyak tanah di Bandung berkurang dari biasanya 40 drum per bulan menjadi 20 drum per bulan dan berkurang lagi menjadi 10 drum per bulan. Setiap warga hanya boleh membeli dua liter. Pada minggu ketiga harga minyak tanah sudah mencapai Rp1,50 per liter. Itu artinya sudah melebihi harga minyak tanah yang diusulkan Shell dan BPM di awal September 1958.
Peserikatan Perusahaan Angkutan Bermotor Indonesia (Perpabin) Jawa Barat pada akhir September 1958 mengeluarkan resolusi mendesak BPM dan Stanvac mengeluarkan alokasi bensin yang mencukupi. Perserikatan meminta pemerintah mengawasi pompa bensin dan diadakan razia bensin. Harga bensin per jerigen berkisar Rp60 hingga Rp100. Diberitakan muncul kendaraan liar yang bermain. Bensin di pasar gelap mencapai Rp5 per liter. Menurut catatan Perpabin sejak September 1958 pengiriman bensin dari pusat ke daerah hingga ke pompa bensin dikurangi.
Kepala Kepolisian Priangan Kompol R.Imam Supojo memperingatkan pompa bensin di Kota Bandung agar kepada kendaraan yang membawa jerigen dan drum. Akhirnya hanya lima pompa bensin yang diperbolehkan menjual bensin dalam drum atau jerigen. Di antaranya Pompa milik Dumas boleh menjual 3,25 drum ke perkebunan pertanian, pompa milik Tan A Soen di Stasiun Barat boleh menjual 5,2 drum kepada onderneming, Pompa Bensin di Braga boleh menjual kebutuhan kepolisian negara dengan jatah 3 ton, Poma Bensin milik Soewondo di Pasir Kaliki boleh menjual bensin sebanayk 7,1 ton untuk perusahaan bis dan Yayasan Motor boleh menjual 5 ton bensin untuk mobrig.
Hingga 1958 sebetulnya saluran perdagangan minyak tanah terutama di kota besar bebas dari campur tangan pemerintah. Hal ini membuat kelangkaan bensin dan minyak tanah ketika soal harga tidak memuaskan. Akhirnya pada Oktober 1958 pemerintah membentuk Panitya Pemeriksa harga Minyak. Tugas panitya ini ialah menemukan jalan untuk mendistribusikan hasil-hasil minyak. Panitya berpendapat bahwa distribusi hasil minyak tidak dapat hanya untuk tujuan komersial, melainkan terutama dan bertujuan untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat. Sekalipun minyak diolah oleh perusahaan asing, namun distribusi tidak dapat diserahkan kepada kesedian dan kebijaknaan perusahaan itu sendiri.
Pada 1950-an Minyak Bumi sebetulnya adalah penghasil devisa terbesar kedua setelah karet. Pada 1957 produksi minyak mencapai dua kali lipat produksi 1940. Namun sebagian besar dari produksi dikonsumsi di dalam negeri Antara 1950-1956 permintaan bensin naik hingga 64,5% dan permintaan minyak tanah 200,5%. Perusahaan-perusahaan minyak asing seperti Stanvac, Shell, Caltex mempunyai posisi kuat di industri minyak masa itu
Memasuki Ekonomi Suram
Situasi ekonomi Indonesia pada masa itu dalam keadaan sulit tercermin dari kuliah umum Mohammad Hatta di depan mahasiswa Universitas Semarang pada Senin 22 September 1958 bahwa defisit anggaran negara mencapai Rp6 milyar pada 1958 dan pada 1959 mencapai Rp9 milyar dan bisa mencapai Rp12 milyar. Menurut Hatta pergolakan di daerah ikut menambah sulitnya ekonomi di Indonesia masa itu.
Pada akhir September 1958 KENSI (Kongres Ekonomi Nasional Indonesia) ke II diselenggarakan di Grand Hotel Lembang, Kabupataen Bandung dihadiri oleh Perdana Menteri Djuanda, Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno, serta Menteri Stabiltas Ekonomi Kolonel Suprayogi. Tujuan Kongres ini ialah mencari jalan untuk merubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Dalam kongres dibahas persedian bahan makanan, pakaian dan bahan-bahan industru yang menjadi kebutuhan rakyat di setiap kabupaten, kalau ada kekurangan diatasi dengan injeksi.
KENSI juga berharap bisa membuat bank rakyat dan bank negara dapat mengambilalih kedudukan bangsa asing. Kensi juga berharap Bank Indonesia menarikkembali kredit-kredit yang diberikan pada bank nasional milik Ali Baba (maksudnya lisensinya orang pribumi, tetapi praktek yang menjalankan orang etnis Tionghoa). Dalam Kongres Kensi juga akan dibahas soal demokrasi terpimpin. Namun PM Djuanda menyebtukan sebagai wancana ekonomi terpimpin sesungguhnya teregsa-gesa dibicarakan sama halnya dengan demokrasi terpimpin.
Pembicara lainnya, Gubernur Bank Indonesia pada 1958 Lukman Hakim mengakui bahwa perekonomian Indonesia suram. Lukman Hakim berharap KENSI membimbing sektor partikelir kea rah produksi sebesar-besarnya menggunakan kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri. Lukman menyebutkan kekuatan produksi dan masyarakat juga saling menghancurkan. Akhir 1951 uang yang beredar Rp5 milyar, tetapi pada Juni 1958 uang beredar sudah mencapai Rp21 milyar. Sementara biaya untuk pemulihan keamanan PRRI/Permesta diperkirakan mencapai Rp4 milyar.
Lukman Hakim pada waktu itu juga menjabat sebagai Direktur IMF sehari kemudian bertolak ke New Dheli. Pria kelahiran Tuban 6 Juni 1914 pernah menjabat Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman ad interim RI Darurat (19 Desember 1948 – 13 Juli 1949), Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949), Menteri Keuangan dalam Kabinet Susanto (20 Des 1949 hingga 21 Januari 1950, Kabinet Halim 21 Januari 1950-6 September 1950). Lukman Hakim (dekat dengan PNI) adalah tokoh yang menggantikan Sjafrudin Prawiranegara (tokoh yang dekat dengan Masyumi).
Memasuki Oktober 1958 alarm tanda bahaya kehidupan ekonomi Indonesia sudah berbunyi dan di sisi lain konflik politik makin memanas. Bagaimana politik di pusat dan dampaknya di Jawa Barat pada 1958 menjelang akhir 1958 akan saya singgung di tulisan berikutnya.
Irvan Sjafari
Sumber: Pikiran Rakjat 23 Juli 1958, 7 Agustus 1958, 5 September 1958, 6 September 1958, 13 September 1958, 16 September 1958, 20 September 1958, 24 September 1958, 29 September 1958, 30 September 1958, 1 Oktober 1958
Mulya, Wanda “Distribusi Minyak Tanah” dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 2: Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Penyunting Hadi Soesastro, Dkk, Jakarta: Kanisius 2005
http://www.kemenkeu.go.id/Daftarmenteri/menteri-keuangan-lukman-hakim diakses pada 14 Desember 2015
Ricklef, M.C Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2008
Sumber Foto:
Ilustrasi Suasana Pertokoan di Bandung 1950-an (kredit foto http://s.kaskus.id/images/2014/05/20/1156579_20140520121726.jpg)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H