Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1958 (11) Harga Beras dan Minyak Tanah Melambung Tinggi, Dampaknya bagi Warga Kota

14 Desember 2015   18:05 Diperbarui: 14 Desember 2015   18:30 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Suasana pertokoan di Bandung 1950-an,"][/caption]

Soekirah, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Jalan Ciparai 34/122 A  tidak bisa lagi menahan tekanan ekonomi.   Dia mengungkapkan keluhannya pada surat pembaca  Pikiran Rakjat pada Sabtu 6 September 1958.   Bukan saja kenaikan harga beras yang sudah mencapai Rp10/kg-nya untuk beras giling kualitas I, serta Rp 9,50 untuk kualitas II dan Rp9 untuk kualitas III,  tetapi  minyak tanah menghilang dari pasar kota Bandung           

Kalau kami tak kasian kepada jang berwajib, tlah lama kami berdemonstrasi  membawa masing-masing dandang kosong kami, ples-minjak klapa kosong, pakaian kanak-kanak kotor karena sabun mahal.  Kembali seperti djaman  Djepang mencuci dengan air merang…

Sebagai  rakyat kecil   Soekirah mempertanyakan  tentang kesedian Indonesia untuk  menjadi tuan rumah Asian Games empat tahun mendatang, hingga rencana pemerintah menghadiahkan ratusan juta rupiah kepada para perintis kemerdekaan.   Soekirah yakin bahwa para pejuang merasa lebih dihargai  kalau rakyat yang ditinggalkannya tidak menderita  mahal beras, sabun dan minyak kelapa.

Hanya selang seminggu Abdullah Danumi, warga   Bandung lainnya  mengungkapkan bahwa gajinya sekitar Rp600 per bulan harus berpacu dengan kebutuhan hidup dengan seorang isteri dan tiga orang anak.  Dia menyebutkan secara rinci pengeluarannya, yaitu beras 30 x 2 x Rp 6 (per liter) berkisar Rp 360.  Untuk sewa rumah dia merogoh kocek Ro75, rekening lsitrik Rp10,50, minyak tanah Rp85, sayur dan ikan asin Rp300, sabunRp45 dengan total Rp825,50.  

Mana fonds  untuk pakaian,biaya sakit, uang pangkal anak sekolah? Pinjam uang koperasi menambah beban hidup?

Memasuki September 1958 tak  ada tanda-tanda harga beras  bakal turun, bahkan  terus meningkat.  Beras masih dikuasai oleh pemegang uang.  Desas-desus yang beredar beras  disimpan di tempat sangat rahasia dan tidak akan dijual bila harganya murah.  Beras kualitas tertinggi yang akhir Agustus 1958 Rp9 dan terendah Rp 8  naik dalam seminggu menjadi Rp10 dan Rp9 yang terendah per kg-nya . Pada awal Agustus beras masih berkisar Rp6 hingga Rp7,25.  Para penyalur beras berkilah  meningkatnya harga beras karena kesukaran para penyalur beras sendiri sebagai pelaksana “single buyer” dan “single seller”.

Kesedian Indonesia menjadi Tuan Rumah Asian Games ke  IV mendapatkan sorotan tajam dari Warga Bandung.  Sebuah surat pembaca di harian Pikiran Rakjat 23 Juli 1958 atas nama  Somad, seorang guru SR mempertanyakan  apakah tidak lebih baik yang Rp 500 juta (dana awal)  itu digunakan untuk membangun 5000 Sekolah Rakyat.  Pada masa itu satu gedung SR memakan biaya Rp100.000 dan masih banyak penduduk Indonesia buta huruf. 

Sementara Rasidi Suhra, seorang warga  Bandung menilai janji KOI menyediakan dana Rp350 juta lebih baik digunakan untuk mendirikan rumah pegawai negeri- yang masa itu masih kekurangan.  Rasidi menuding Asian Games itu tidak bermanfaat bagi kemakmuran rakyat.

Krisis BBM

Masih pontang-panting menghadapi krisis beras, krisis lain muncul  dihadapi pemerintah pusat maupun kota Bandung.  Awal September  1958 dua perusahaan bensin asing  Shell dan BPM (Baatafache Petroleum Mijhn)  mengusulkan kenaikan harga 6 jenis bahan bakar.  Di antaranya bensin diusulkan naik dari Ro 1,03 per liter  menjadi Rp1,70 atau naik 65%,minyak tanah Rp 0,60 naik menjadi Rp1,20 per liter. Perusahaan-perusahaan minyak ini selama 1958  sudah berkali-kali  mengajukan permohonan untuk dapat menaikan harga bensin dan minyak tanah dengan dalih mereka mengalami kerugian yang tidak sedikit  atas penjualan di dalam  negeri.    

Tentu saja pemerintah tidak serta merta mengabulkan permintaan itu karena bakal menimbulkan dampak berantai.  Masalahnya  pada minggu kedua September 1958 minyak tanah sukar didapat di berbagai daerah, di antaranya   oleh warga kota Bandung.  Alokasi minyak tanah  dan bensin  dari BPM  jumlahnya dikurangi.  Beberapa toko  yang tadinya mendapat alokasi  lima drum dikurangi  menjadi dua drum.  Sementara pembelinya berduyun-duyun.  Akhirnya dibuat kebijakan  setiap  orang hanya boleh membeli  berapa liter minyak  tanah.   Harga minyak  tanah   tembus  menjadi Rp 1hingga Rp 1,30  per liter ketika tiba di pedagang kecil. 

Di Jakarta  pompa bensin milik Stanvac  pada  pertengahan September 1958  kerap tutup sejak pagi dengan alasan kehabisan bensin.  Di Jakarta harga bensin mencapai Rp1,25 perliter, kemudian naik Rp1,50 dan naik lagi menjadi Rp1,75 perliter hanya dalam berapa hari.   Kesannya harga terjun bebas dan pemerintah tidak punya daya mengontrol  harga BBM.  

Kampung-kampung sekitar kota Bandung yang biasa menggunakan minyak tanah sebagai penerang akhirnya menggunakan kayu bakar.  Warga sampai rela membayar Rp2 per botol minyak tanah.   Dampak  juga terasa pada angkutan umum.  Ongkos taksi  meningkat.  Ongkos oplet  Bandung-Garut  yang atdinya Rp10 meningkat menjadi Rp25.  Tak sedikit bus-bus  yang terparkir  berjam-jam,lumpuh dan terbengkalai.  Trayek jauh Bandung-Cirebon dan Bandung-Jakarta kerap kehabisan bensin di jalan.  Orperni,  Perbabin Jawa Barat mendesak pemerintah menolak usulan BPM dan Stanvac.  Tetapi mereka tak berdaya menghadapi pasar.    

Tanpa kenaikan harga bensin saja sektor perhubungan di Jawa Barat  dalam keadaan bahaya  sejak awal September 1958.   Perusahaan pengangkutan yang hanya punya 3 atau 4 truk tidak bisa mengimbangi biaya.  Perhitungan trayek  Bandung-Jakarta lewat  Sukabumi  dengan kuota 3500 kg per bulan (8 rit)  menghabiskan bensin 150 liter dengan harga Rp180, oli menghabiskan biaya  Rp54,  ban sekitar Rp270, uang makan  dan menginap supir Rp130 dengan biaya keseluruhan Rp 1190,90.  Sementara uang masuk  Rp1000.    

Seperti halnya  beras dan minyak tanah dengan cepat jadi obyek untuk mecari untung. Banyak supir  yang menghentikan usaha  mengangkut penumpang  menjadi tukang antri bensin. Bensin dijual dengan harga tinggi.  Bensin antri dua jerigen dan dijual Rp50 per jerigen hingga untung   Rp50.  Jadi mereka tak perlu repot mencari penumpang.   Pihak kepolisian mencegah kesempatan itu dengan mengharuskan mempunyai surat keterangan membeli bensin dari kepolisian.    

Minggu ketiga September 1958  alokasi minyak tanah di Bandung berkurang  dari biasanya 40 drum per bulan menjadi 20 drum per bulan dan berkurang lagi menjadi 10 drum per bulan.  Setiap warga hanya boleh membeli dua liter.  Pada minggu ketiga harga minyak tanah sudah mencapai Rp1,50 per liter. Itu artinya sudah melebihi harga minyak tanah yang diusulkan Shell dan BPM di awal September 1958.

Peserikatan Perusahaan Angkutan  Bermotor Indonesia (Perpabin) Jawa Barat  pada akhir September 1958 mengeluarkan resolusi  mendesak BPM dan Stanvac  mengeluarkan alokasi  bensin yang mencukupi.  Perserikatan meminta pemerintah mengawasi pompa bensin  dan diadakan razia bensin.  Harga bensin per jerigen berkisar   Rp60 hingga Rp100.   Diberitakan muncul  kendaraan liar yang bermain.  Bensin di pasar gelap mencapai Rp5 per liter. Menurut catatan Perpabin sejak September 1958 pengiriman bensin dari pusat ke daerah hingga ke pompa bensin dikurangi.

Kepala Kepolisian Priangan Kompol R.Imam Supojo memperingatkan pompa bensin  di Kota Bandung agar kepada kendaraan yang membawa jerigen dan drum.  Akhirnya hanya lima pompa bensin yang diperbolehkan  menjual bensin dalam drum atau jerigen.  Di antaranya Pompa  milik Dumas  boleh menjual 3,25 drum ke perkebunan pertanian,  pompa milik Tan A Soen  di Stasiun Barat  boleh menjual 5,2 drum kepada onderneming, Pompa Bensin di Braga  boleh menjual  kebutuhan kepolisian negara dengan jatah 3 ton, Poma Bensin milik Soewondo di Pasir Kaliki boleh menjual bensin sebanayk 7,1 ton untuk perusahaan bis dan Yayasan Motor boleh menjual 5 ton bensin untuk mobrig.  

Hingga 1958 sebetulnya  saluran perdagangan minyak tanah terutama di kota besar bebas dari campur tangan pemerintah.   Hal ini membuat kelangkaan  bensin dan minyak  tanah  ketika  soal harga tidak memuaskan.   Akhirnya  pada Oktober 1958 pemerintah  membentuk  Panitya Pemeriksa harga Minyak. Tugas panitya ini ialah menemukan  jalan untuk mendistribusikan hasil-hasil minyak.   Panitya berpendapat bahwa distribusi  hasil minyak tidak dapat  hanya untuk tujuan komersial,   melainkan terutama dan bertujuan  untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat.   Sekalipun  minyak diolah oleh  perusahaan asing, namun distribusi  tidak dapat diserahkan  kepada kesedian dan kebijaknaan perusahaan itu sendiri.

Pada 1950-an Minyak Bumi  sebetulnya adalah penghasil devisa terbesar kedua setelah karet.  Pada 1957 produksi minyak  mencapai dua kali lipat produksi 1940.  Namun sebagian besar dari produksi dikonsumsi di dalam  negeri  Antara 1950-1956  permintaan bensin naik hingga 64,5%  dan permintaan minyak tanah 200,5%.  Perusahaan-perusahaan minyak asing seperti Stanvac, Shell, Caltex mempunyai  posisi kuat di industri minyak masa itu

Memasuki Ekonomi Suram  

Situasi ekonomi Indonesia  pada masa itu dalam keadaan sulit tercermin dari kuliah umum  Mohammad Hatta di depan mahasiswa Universitas Semarang  pada Senin 22   September 1958  bahwa defisit anggaran negara mencapai Rp6 milyar pada 1958 dan pada 1959 mencapai Rp9 milyar dan bisa mencapai Rp12 milyar. Menurut Hatta pergolakan di daerah  ikut menambah sulitnya ekonomi di Indonesia masa itu.

Pada akhir September 1958 KENSI (Kongres Ekonomi Nasional Indonesia) ke II  diselenggarakan di Grand Hotel  Lembang, Kabupataen Bandung  dihadiri oleh Perdana Menteri Djuanda, Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno,  serta Menteri Stabiltas Ekonomi Kolonel Suprayogi.  Tujuan Kongres ini ialah mencari jalan untuk merubah struktur ekonomi kolonial menjadi  struktur ekonomi nasional.  Dalam kongres dibahas  persedian bahan makanan, pakaian dan bahan-bahan industru yang menjadi kebutuhan rakyat di setiap kabupaten, kalau ada kekurangan diatasi dengan injeksi. 

KENSI juga berharap bisa membuat bank rakyat dan bank negara  dapat mengambilalih kedudukan bangsa asing.  Kensi juga berharap Bank Indonesia menarikkembali kredit-kredit yang diberikan  pada bank nasional milik Ali Baba (maksudnya lisensinya orang pribumi,  tetapi praktek yang menjalankan orang etnis Tionghoa).   Dalam Kongres Kensi juga akan dibahas  soal demokrasi terpimpin.  Namun   PM Djuanda  menyebtukan sebagai wancana ekonomi terpimpin sesungguhnya teregsa-gesa dibicarakan sama halnya dengan demokrasi terpimpin.

Pembicara lainnya, Gubernur Bank  Indonesia  pada 1958 Lukman Hakim mengakui bahwa  perekonomian Indonesia suram.  Lukman Hakim berharap  KENSI  membimbing sektor partikelir kea rah produksi sebesar-besarnya menggunakan kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri.  Lukman menyebutkan kekuatan produksi dan masyarakat juga saling menghancurkan.  Akhir 1951 uang yang beredar Rp5 milyar, tetapi pada Juni 1958 uang beredar sudah mencapai Rp21 milyar. Sementara biaya untuk pemulihan keamanan PRRI/Permesta  diperkirakan mencapai  Rp4 milyar.

Lukman Hakim  pada waktu itu juga menjabat sebagai Direktur IMF  sehari kemudian bertolak ke New Dheli.  Pria kelahiran Tuban  6 Juni 1914  pernah menjabat Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman ad interim RI Darurat (19 Desember 1948 –  13 Juli 1949), Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949), Menteri Keuangan dalam Kabinet Susanto (20 Des 1949 hingga 21 Januari 1950, Kabinet Halim 21 Januari 1950-6 September 1950).  Lukman Hakim (dekat dengan PNI)  adalah tokoh yang menggantikan Sjafrudin Prawiranegara  (tokoh yang dekat dengan Masyumi).

Memasuki  Oktober 1958 alarm tanda bahaya kehidupan ekonomi Indonesia sudah berbunyi  dan di sisi lain  konflik politik  makin memanas.  Bagaimana politik di pusat dan dampaknya di Jawa Barat  pada 1958  menjelang akhir 1958  akan saya singgung di tulisan berikutnya.   

Irvan Sjafari

Sumber: Pikiran Rakjat 23 Juli 1958,   7 Agustus 1958,   5  September 1958, 6 September  1958, 13 September 1958, 16 September 1958,  20 September 1958, 24  September 1958, 29 September 1958, 30 September 1958, 1  Oktober 1958

Mulya, Wanda “Distribusi Minyak Tanah”  dalam  Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir  2:  Demokrasi  Terpimpin  (1959-1966). Penyunting Hadi Soesastro, Dkk, Jakarta: Kanisius 2005

http://www.kemenkeu.go.id/Daftarmenteri/menteri-keuangan-lukman-hakim  diakses pada 14 Desember 2015

 

Ricklef, M.C  Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2008

 

Sumber Foto:

Ilustrasi  Suasana Pertokoan di Bandung 1950-an  (kredit foto  http://s.kaskus.id/images/2014/05/20/1156579_20140520121726.jpg)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun