[caption caption="Kegiatan Yayasan Beribu Bandung 1958 "][/caption]
Senin 7 Juli 1958, Kanti Utari, 18 tahun menekuni aktivitasnya seperti biasa. Siswi SMEA Muhamadyah beralamat di Jalan Kancil Bandung mengayuh sepedanya seperti biasa pulang ke rumahnya di Jalan Sukajadi no 49 A/61. Dara berkulti sawo matang ini tertengun ketika puluhan tetangganya menyambutnya dan mengelilinginya sambal membawa harian Pikiran Rakjat. “Neng! Ini gambar kamu!” Ia terbelalak menyaksikan bahwa wajahnya ditandai dalam sebuah peristiwa.
Wajahnya berseri memperlihatkan lesung pipitnya yang memukau. Kanti Utari “kejatuhan Bintang Pikiran Rakjat dengan hadiah Rp100 (nilai besar waktu itu bagi anak sekolah, sama dengan harga 10 kg beras kualitas nomor satu di Kota Bandung). Ingatannya kembali ketika ia termasuk warga bandung yang ikut menyambut kedatangan pahlawan Asian Games ke III atlet lembar lembing Karnah, Jum’at siang 4 Juli 1958 sebelumnya.
Kanti teringat ketika ia bersalamanan dengan Karnah. Dia kemudian kembali menggenjot sepedanya dari rumah kediaman pamannya ke Jalan Asia Afrika 133 ke kantor Pikiran Rakjat untuk menagih uang hadiah. Setiap awak redaksi yang ditemuinya disapanya dengan senyum manisnya. Ia mendapatkan seratus rupiahnya. Untuk apa? Kelahiran Tegal 31 Desember 1940 ini hendak pulang kampung dan cuti menemui keluarganya. Tentunya ia membawa ole-ole.
Kehebohan lain dialami seorang Sersan Mayor Udara Lauw Tjin Hoa yang baru saja mendaratkan pesawat yang dicobanya di landasan Husein Sastranagara. Dia mendapatkan putranya yang masih berusia Sekolah Rakjat Djataju bernama Johnny law bersama istrinya membawa koran Pikiran Rakjat. Dia pun menang Rp100 karena ikut penyambutan pahlawan Asian Games. Sang Ayah hanya melongo ketika mengantarkan anaknya mengambil hadiahnya di kantor Pikiran Rakjat.
Pengagum penjaga gawang Saelan ini begitu gembira dan berkali-kali mengucapkan: “Terimakasih Om! Terima kasih Om!”
“Kejatuhan Bintang” serupa dengan lingkar rejeki yang diselenggarakan Pos Kota, harian ibukota Jakarta berapa puluh tahun kemudian. Terbososan yang dilakukan Pikiran Rakjat ini menggambarkan bagaimana upaya sebuah media mendekatkan diri pada pembaca, tetapi juga dari profil pemenangnya menunjukkan Bandung menuju kota yang cosmopolitan, kota pelajar yang juga menarik bagi warga di luar Bandung untuk bersekolah.
Pada 1920-an dan 1930-an para pelajar memperebutkan bangku d MULO, AMS atau HBS yang melahirkan beberapa pemimpin bangsa, kebanyakan pelajar dari keluarga kalangan priyayi, menak atau bangsawan dari berbagai daerah, di luar anak-anak Eropa. Maka pada 1950-an bukan saja sekolah negeri yang diserbu tetapi juga sekolah swasta, karena lingkungan kota Bandung kondusif untuk belajar. Kalangan sudah mulai beragam tidak lagi hanya bangsawan.
Beberapa Yayasan atau perkumpulan yang bergerak di bidang pendidikan bahkan mempunyai lebih dari satu sekolah. Muhamadyah Cabang Bandung misalnya mempunyai Sekolah Rakyat, SMEA dan SMA bagian B dan C. Para siswa sekolah yang beralamat di Jalan Kancil dan Pasirkliki ini masuk pagi hari. Sementara untuk sore harinya gedung untuk SMP I dan PGA Lengkap 6 tahun (Jalan Kancil), SMP II (Pasirkliki).
Lembaga Pendidikan Muslimin Bandung berkantor pusat di Ciateul 143 dan Palasari 9 Bandung mempunyai lembaga pendidikan SMP, PGA hingga SMA Bagian B dan C dengan total sembilan sekolah tersebar di berbagai lokasi, selain di Ciateul dan Palasari, bangunan sekolah terdapat di Cikaso, Jalan Pajagalan, Jalan Cililin , Jalan Cimindi, Jalan Belitiung juga dengan jadwal belajar pagi dan siang.
Sekolah Partisipasi Masyarakat
Ada juga sekolah yang didirikan dengan gotong royong, di antaranya Sekolah Rakyat dan SMP Yayasan Kebahagian Murid mendirikan gedung di atas tanah yang terlantar pada 1956. Gedung sekolah-sekolah ini diupayakan oleh jerih payah rakyat, serta modal pertama dari Pkiran Rakjat, Mr Supar dan Haji Nitisoemantri, Toko Tujuh menyumbang Rp200 hingga total biaya Rp221.600. Hasilnya empat ruangan kelas berukruan 7 x7 meter, 6 buah WC dan ruang guru. Hadir dalam peresmian Oja Somantri. Lainnya ialah yang didirikan di Desa Cibodas, Lembang dengan biaya sebesar Rp42.750 pada Agustus 1958. Hadir dalam peresmian Kepala daerah Swatantra Kabupaten Bandung, Kamawijaya.
Partisipasi masyarakat yang paling menarik ialah sebuah lembaga pendidikan berpusat di Bandung dan aktif melebarkan sayapnya yang dinamakan Yayasan Beribu. Lembaga yang diketuai oleh Nyonya Effendi ini hingga 1958 mempunyai 21 Taman Kanak-kanak di Kota Bandung, sebanyak 5 di Ciamis, sebuah di Lembang dan sebuah di Cianjur. Dalam pernyataan persnya pada September 1958 Yayasan Beribu berencana mendirikan cabang-cabang di luar Pulau Jawa, seperti Banjarmasin, Kuala Kapuas, serta Muara Tawas di Jambi.
Gerakan Yayasan Beribu itu hingga 1958 tidak pernah menerima bantuan pemerintah. Bahkan pemerintah hanya mengakui kiprah yayasan ini ketika mendirikan sebuah sekolah rakyat di kawasan Buah Batu. Untuk kiprahnya Nyonya Effendi meninjau pendidikan di Amerika serikat dan negara lain. Yang didapatnya ialah tenaga pengajar di luar negeri untuk anak TK pun datang dari PHD. Sementara di Bandung mencari pendidikan pergelar sarjana muda mau mengajar TK sulit. Fakta lain hingga 1958 sebanyak 43 ribu guru sekolah lulusan SGB dan SGA di Indonesia belum menerima pengangkatan dari Kementerian PPK.
Kemunculan Yayasan Beribu adalah fenomena menarik di kota Bandung. Yayasan ini berdiri pada 1951. Menurut catatan sejarahnya 12 organisasi wanita yang bersepakat mendirikan Yayasan Beribu, yaitu Perkiwa Pusat, Budi Istri Pusat, Budi Istri cabang Bandung, Muslimat, Rukun Wanita Cilentah, Perwari cabang Bandung, Persatuan Wanita Cicendo, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Persatuan Putri Indonesia, Bank Cooperatie Wanita Indonesia, Women’s International Club. Tiga tokoh utama priangan yang memimpin lembaga ini. yaitu, Ny. Emma Poeradireja, Ny. Mary E. Saleh, dan Ny. Emma Soemanegara.
Sumber lain menyebutkan bahwa penggagas berdirinya Yayasan Beribu adalah seorang Belanda yang bernama Rina Marsaman. Inspirasinya ialah mengisi waktu luang para ibu yang ditinggal perang oleh suaminya, untuk mengajar anak-anak di sekitarnya. Mary Saleh, Ema P, dan Ema S. menjadi 3 wanita yang belajar langsung di Eropa untuk pengetahuannya dalam mendirikan Yayasan Beribu ini. Emma Poeradiredja dan Emma Soemanegara ini adalah tokoh pergerakan perempuan “Isteri” di Tanah Pasundan pada 1920-an.
Sejarah kemudian mencatat Yayasan Beribu telah berhasil mencetak guru-guru TK yang selanjutnya tersebar di berbagai TK di Indonesia.
Kritik terhadap Dunia Pendidikan
Keberadaan sekolah-sekolah tidak saja negeri, tetapi juga swasta mengundang kritik Ketua Umum Yayasan Pendidikan Rakyat, Mochamad Musa Kaswira menyebutkan bahwa kebanyakan sekolah menengah yang ada di Kota Bandung merupakan sekolah umum daripada sekolah kejuruan, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan. Sistem dan struktur pendidikan menimbulkan geestelijk effect atau sikap mental yang merupakan kelanjutan zaman penjajahan dulu. Pelajaran dengan ijazah membuat para lulusan sekolah ingin menjadi ambtenaar . Musa Kaswira juga menyebutkan pendidikan moral kurang dan hanya dijadikan pelajaran tambahan.
Kritik lainnya dilontarkan Prof. Sadarjoen Siswomotojo, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, tentang sistem ujian yang memaksa siswa memasuki kotak-kotak yang tak ditentukan akibatnya. Para lulusan mengejar, tetapi tidak bisa kerja. Selain itu seorang siswa yang bercita-cita ingin menjadi seorang pelukis akan terbendung atau terputus hasratnya karena dalam suatu ujian sekolah menengah jatuh mendapatkan angka dua untuk pelajaran lain.
Para pelajar juga mengeluarkan kritik. Hidajat, seorang pelajar SMA, warga Sadang Saip mengaku merasakan ketidakberesan ujian penghabisan SMA B Tahun 1957-1958. Pertanyaan-pertanyaan yang tertulis dalam ujian dibuat seolah-olah agar pelajar jatuh nilainya atau jawaban kurang memuaskan. Adanya peraturan bahwa hasil ujian pelengkap, padahal tidak diperlukan berlaku selama dua tahun dengan harapan tidak sedikit pelajar harus mengulang duduk di kelas II SMA atau keluar. Dengan tidak adanya keseragaman buku pelajaran yang diwajibkan di SMP atau SMA takut jumlah yang lulus setiap tahun meningkat. Hidajat mengungkapkan kegelisahannya dengan aniknya uang ujian dari Rp12,50 menjadi Rp50 dengan harapan yang turut ujian sedikit sekali.
Kebutuhan akan sekolah kejuruan membuat pemerintah mengambil alih sekolah negeri. Pada 1957 sebuah sekolah parikelir Sekolah Guru Kepandaian Putri berdiri di Jalan Balong Gede. Kementerian PPK kemudian melakukan bisluit dan mengubah menjadi SGKP Negeri pada Juli 1958. Bukan hanya mendirikan SGKP, Kementerian PPK mendirikan SKP Negeri II di Cimanuk, dengan Kepala sekolah Sudhati Pramono.
Berapa sekolah kejuruan swasta ialah SGTK RA Kartini melengkapi SKP Bagian C, SGB dan SMP Bagian A/B. Sekolah itu beralamat di Jalan RA Kartini no/8. Terdapat juga Sekolah Teknik Mobil Kian Santang di Jalan Riau 227-279, Sekolah Teknik Menengah di Jalan Dr. radjiman no 11 Jurusan Sipil dan Mesin, serta sekolah yang dikelola Yayasan Yacob’s Colegre mendirikan sekolah kejuruan untukmontir mobil, sepeda motor dan las.
Perkembangan Universitas Padjadjaran
Universitas Padjajaran pada Februari 1958 mendirikan Yayasan Pembina Universitas Padjadjaran dengan akte notaris Noezar pada 20 Februari 1958 diketuai oleh Prof. Mr. R. Iwa Kusumasumantri. Pendirian yayasan ini bertujuan memberikan bantuan materol maupun moril kepada unievrsitas ini khususnya dan perguruan tinggi lain di Jawa Barat umumnya. Dalam enam bulan pendirian yayasan ini terkumpul dana Rp60.685 dari 31 orang penderma dan perusahaan.
Pada pertengahan 1958 Unpad didesak mendirikan fakultas baru seperti Bahasa dan Budaya, Sosial dan Politik, Pertanian, Ilmu Pasti dan Ilmu Alam. Akhirnya pada pertengahan September 1958 Menteri PPK Prof. Dr. Prijono menyetujui Unpad mendirikan dua fakultas lagi, yaitu Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu alam, serta Fakultas Pertanian. Juga direncanakan waktu itu mendirikan Fakultas Public Bussiness dan Public Administration. Situs resmi Unpad menyebutkan bahwa Fakultas Sosial Politik berdiri 13 Oktober 1958, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA, 1 November 1958), Fakultas Sastra (1 November 1958, kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya), Fakultas Pertanian (Faperta, 1 September 1959).
Perkembangan pesat universitas di Bandung mendesak kebutuhan perumahan (kos) untuk mahasiswa. Seorang warga Bandung di Jalan Dr. Wahidin, bernama Adi Soebagio dalam surat pembaca di Pikiran Rakjat menyerukan agar warga kota Bandung (yang mampu) menyediakan kamar untuk bisa menampung seorang atau dua mahasiswa yang datang dari luar kota Bandung.
Irvan Sjafari
Sumber:
Pikiran Rakjat, 2 Juli 1958, 11 Juli 1958, 14 Juli 1958, 16 Juli 1958, 17 Juli 1958, 19 Juli 1958, 22 Agustus 1958, 5 September 1958, 12 September 1958, 17 September 1958
http://roudlatularifin.blogspot.co.id/2013/10/lintas-sejarah-paud-di-indonesia-ii.html diakses pada 3 Desember 2015.
http://yayasannurulazmi.blogspot.co.id/ diakses pada 3 Desember 2015.
http://www.unpad.ac.id/universitas/sejarah/ diakses pada 3 Desember 2015
Foto:
Pengurus Yayasan Beribu 1958 (Kredit Foto: http://roudlatularifin.blogspot.co.id/2013/10/lintas-sejarah-paud-di-indonesia-ii.html)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H