Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1958 (10) Kisah Anak Sekolah Menang Undian, Partisipasi Warga Mendirikan Sekolah dan Kegelisahan di Dunia Pendidikan

2 Desember 2015   18:28 Diperbarui: 2 Desember 2015   18:32 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekolah Partisipasi Masyarakat

Ada juga sekolah yang didirikan dengan gotong royong, di antaranya Sekolah Rakyat dan SMP  Yayasan Kebahagian Murid  mendirikan  gedung di atas tanah yang terlantar pada 1956.  Gedung sekolah-sekolah ini  diupayakan oleh jerih payah  rakyat, serta modal pertama dari Pkiran Rakjat,  Mr Supar dan Haji Nitisoemantri, Toko Tujuh menyumbang Rp200 hingga total biaya Rp221.600.  Hasilnya empat ruangan kelas berukruan 7 x7 meter, 6 buah WC  dan ruang guru.  Hadir dalam peresmian  Oja Somantri. Lainnya ialah  yang didirikan di Desa Cibodas, Lembang dengan biaya sebesar Rp42.750  pada Agustus 1958.   Hadir dalam peresmian Kepala daerah Swatantra Kabupaten   Bandung, Kamawijaya.

Partisipasi  masyarakat  yang paling menarik ialah sebuah lembaga pendidikan berpusat di  Bandung dan  aktif melebarkan sayapnya   yang dinamakan  Yayasan Beribu.  Lembaga yang diketuai oleh Nyonya Effendi ini hingga 1958  mempunyai 21 Taman Kanak-kanak di Kota Bandung,  sebanyak 5 di Ciamis, sebuah di Lembang dan sebuah di Cianjur.  Dalam pernyataan persnya pada September 1958  Yayasan Beribu berencana mendirikan cabang-cabang di luar Pulau Jawa, seperti Banjarmasin, Kuala Kapuas, serta Muara Tawas di Jambi.

Gerakan  Yayasan Beribu itu hingga 1958 tidak  pernah menerima bantuan pemerintah.  Bahkan pemerintah hanya mengakui kiprah yayasan ini  ketika mendirikan sebuah sekolah rakyat di kawasan Buah Batu.  Untuk  kiprahnya Nyonya Effendi meninjau pendidikan di Amerika serikat  dan negara lain. Yang didapatnya ialah tenaga pengajar di luar negeri untuk anak TK pun datang dari PHD.  Sementara di Bandung mencari pendidikan pergelar sarjana muda mau mengajar TK sulit.  Fakta lain hingga 1958 sebanyak 43 ribu guru sekolah lulusan SGB dan SGA di Indonesia belum  menerima pengangkatan dari Kementerian PPK.

Kemunculan   Yayasan Beribu adalah fenomena menarik di kota Bandung.  Yayasan ini berdiri pada 1951. Menurut catatan sejarahnya  12 organisasi wanita yang bersepakat mendirikan Yayasan Beribu, yaitu Perkiwa Pusat, Budi Istri Pusat, Budi Istri cabang Bandung, Muslimat, Rukun Wanita Cilentah, Perwari cabang Bandung, Persatuan Wanita Cicendo, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Persatuan Putri Indonesia, Bank Cooperatie Wanita Indonesia, Women’s International Club.   Tiga tokoh utama priangan yang memimpin lembaga ini. yaitu, Ny. Emma Poeradireja, Ny. Mary E. Saleh, dan Ny. Emma Soemanegara.

Sumber lain menyebutkan bahwa penggagas berdirinya Yayasan Beribu adalah seorang Belanda yang bernama Rina Marsaman.  Inspirasinya ialah   mengisi waktu luang para ibu yang ditinggal perang oleh suaminya, untuk mengajar anak-anak di sekitarnya.  Mary Saleh, Ema P, dan Ema S. menjadi 3 wanita yang belajar langsung di Eropa untuk pengetahuannya dalam mendirikan Yayasan Beribu ini. Emma Poeradiredja dan Emma Soemanegara ini  adalah tokoh pergerakan perempuan “Isteri” di Tanah Pasundan pada 1920-an.   

Sejarah kemudian mencatat Yayasan Beribu telah berhasil mencetak guru-guru TK yang selanjutnya tersebar di berbagai TK di Indonesia.                             

Kritik terhadap  Dunia Pendidikan

Keberadaan sekolah-sekolah tidak saja negeri, tetapi juga swasta mengundang kritik Ketua Umum Yayasan Pendidikan Rakyat, Mochamad Musa Kaswira menyebutkan bahwa kebanyakan sekolah menengah yang ada di Kota Bandung merupakan sekolah umum daripada sekolah kejuruan, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan.  Sistem dan struktur pendidikan  menimbulkan geestelijk effect atau sikap mental yang merupakan kelanjutan zaman penjajahan dulu.  Pelajaran dengan ijazah membuat para lulusan sekolah ingin menjadi ambtenaar .  Musa Kaswira juga menyebutkan pendidikan moral kurang dan hanya dijadikan pelajaran tambahan.   

Kritik lainnya dilontarkan Prof. Sadarjoen Siswomotojo, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, tentang sistem ujian yang memaksa siswa memasuki kotak-kotak yang tak ditentukan akibatnya.  Para lulusan mengejar, tetapi tidak bisa kerja.  Selain itu seorang siswa yang bercita-cita ingin menjadi seorang pelukis akan terbendung atau terputus hasratnya karena dalam suatu ujian sekolah menengah jatuh mendapatkan angka dua untuk pelajaran lain. 

Para pelajar juga mengeluarkan kritik.  Hidajat, seorang pelajar SMA, warga Sadang Saip mengaku merasakan ketidakberesan ujian penghabisan SMA B Tahun 1957-1958.  Pertanyaan-pertanyaan yang tertulis dalam  ujian dibuat seolah-olah agar pelajar jatuh  nilainya atau jawaban kurang memuaskan.  Adanya peraturan bahwa hasil ujian pelengkap, padahal tidak diperlukan  berlaku  selama dua tahun dengan harapan  tidak sedikit pelajar  harus mengulang duduk di kelas II SMA atau keluar.  Dengan tidak adanya keseragaman buku pelajaran yang diwajibkan di SMP atau SMA  takut jumlah yang lulus setiap tahun meningkat.   Hidajat mengungkapkan kegelisahannya dengan aniknya uang ujian dari Rp12,50 menjadi Rp50 dengan harapan yang turut ujian sedikit sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun