[caption caption="Sumber Gambar: Bis Mania | Admin"][/caption]Akhirnya ada yang menulis curhatnya tentang naik angkutan umum. Jadi tergelitik saya juga ingin share juga pengalaman naik angkutan umum.
Kalau naik kendaraan umum,baik angkutan umum kota (angkot) mau pun bus, saya upayakan duduk di depan, di samping supir. Maksudnya agar bisa ajak mengobrol supir, mengorek tentang kehidupan mereka dengan menganggap bahwa kehidupan itu di jalanan itu tidak semuanya buruk, kalau mau dinikmati. Itu saya lakukan baik di Jakarta, mau pun kalau bertugas atau berlibur di kota-kota lain, bahkan dalam perjalanan di luar kota.
Seorang senior saya sesama jurnalis mengajarkan bahwa naik angkutan umum itu memberikan banyak informasi, saya bisa tahu tempat hiburan, saya juga bisa tahu soal kuliner yang murah, kuliner yang halal, jam berapa angkutan masih ada, kapan copet beraksi, bagaimana modusnya, bagaimana supir melawan copet itu dari hasil mengobrol dengan supir. Sebagian besar supir yang saya ajak mengobrol bisa ketawa-ketiwi membicarakan nasib mereka dan kehidupan di jalanan. Ternyata tidak semua psikologi supir angkutan umum itu buruk.
Pengalaman paling menarik ketika saya bekerja di media komunitas di Kelapa Gading, Jakarta Utara antara 2002-2006 dan 2008-2011 (dua media berbeda tetapi tentang Kelapa Gading). Saya suka naik Bus Mayasari Bhakti Patas AC 135 Jurusan Ciputat-Tanjung Priuk. Biasanya saya naik dari Cilandak. Karakter bus ini unik karena ada hanya 10-12 unit, penumpangnya orangnya itu-itu saja, yaitu orang-orang yang bekerja di Rawamangun (tempat bus ini keluar dari tol) hingga Tanjung Priuk.
Karena jumlahnya terbatas, bus ini langka , jarak waktu antara satu bus dengan bus lain berkisar 30 menit hingga satu jam. Itu pun kalau tidak macet. Kalau pagi antara jam 06.00 hingga 10.00 penuh dari arah Ciputat dan sore hari sebaliknya antara pukul 16.00 hingga 19.00. Biasanya saya tanya pada timer ketika sampai di Cilandak,jam berapa bus terakhir masuk tol. Kalau masih baru, biasanya saya sarapan dulu,makan indomie goreng, mie ayam, nasi soto ayam dan menyeruput Indocafe. Saya taksir penumpangnya antara 1000 hingga 1500 orang per sekali jalan dan kembalinya jumlahnya seperti itu juga. Seingat saya bus ini paling penuh sekitar 110 orang.
Kami Saling Kenal Mengenal
Apa yang terjadi? Para penumpang dengan penumpang lain saling kenal. Antara supir, kenek dan penumpang saling kenal, bahkan punya nomor ponsel masing-masing. Akibatnya penumpang bisa telepon supir atau kenek di mana posisinya kalau menunggu untuk janjian. Uang kembalian kalau tidak ada bisa dibayar besok atau sebaliknya penumpang bisa bayar besok kalau tidak ada uang. Tarif bus 135 lumayan mahal masa itu, namun penumpangnya tetap mau naik karena sudah jadi komunitas: hommy dan aman.
Barang yang ketinggalan? Seingat saya tidak pernah hilang karena supir dan kenek memperhatikan siapa yang punya barang. Mereka simpan. Copet? Oh, jangan coba-coba! Karena jam ramai biasanya ada beberapa marinir ikut naik dari Cilandak dan turun di Komplek AL Kodamar. Lagi pula profil pencopet bakal dikenali dengan cepat dan mereka cepat jadi mahluk langka dalam bus itu. Mungkin sekali-sekali berhasil, tetapi sulit untuk kedua, apalagi ketiga kalinya. Keunikan lain penumpang dan supir beberapa kali mengadakan kegiatan piknik bersama dan koordinasinya rapi melibatkan kepanityan dari supir dan penumpang.
Pengamen-pengamennya pun dikenal baik oleh penumpang –karena mereka naik dari Cilandak tempat masuk tol dan sebaliknya dari Rawamangun atau Mal Artha Gading. Bahkan penumpang bisa requestlagu dan menyanyi bersama. Uang yang diberikan penumpang kepada pengamen kerap lebih dibanding kalau diberikan di bus lain. Seingat saya ada pengamen laki-laki yang suka membawakan lagu Melayu, ada yang gemar membawakan lagu Benyamin Sueb, serta yang sepasang rocker, di antaranya cewek belasan tahun ketika itu dan saya pernah request, lagu Karma-nya Cokelat, ternyata ia mampu. Dia juga mampu membawakan lagu Agnes Monica dan Utopia. Saya menjulukinya sebagai “Agnes Monica” –nya Bus 135. Yang menyanyikan Benyamin seorang bapak setengah baya, gaya bernyanyinya mirip.
Bus dengan Sistem Komisi
Satu-satunya masalah ialah kemacetan di Cawang, pada jam sibuk. Saya pernah pulang dari Kelapa Gading pukul tujuh malam di tengah hujan lebat, bus penuh –penumpang ada yang berdiri- macet total dan tiba di Fatmawati sekitar tengah malam: kelaparan dalam bus. Jangan tanya soal kebelet buang air kecil. Stres iya. Tetapi karena lingkungan sekitarnya karib, ya di bawah ketawa saja. Psikologi awak bus 135 –setidaknya di era saya naik- berbeda dengan supir dan awak bus yang pernah saya naiki.
Nyaris tidak ada benturan di jalanan, karena supir bus ini jauh dari ugal-ugalan. Rupanya pihak Mayasari pada Bus AC rute tertentu menerapkan sistem komisi. Misalnya target Rp 200 ribuan terpenuhi, maka komisinya 15%. Penumpang dicek hanya yang naik dari Cilandak dengan tarif Rp 7.000 per penumpang (seingat saya waktu itu sekitar 2009) misalnya 70 penumpang. Itu yang dihitung. Ketika turun di Rawamangun, penumpang yang naik dari sana ingin ke Tanjung Priuk hanya bayar Rp 2000 atau Rp 3000 tergantung jauh dekat dan itu semua masuk kantung supir dan kenek. Begitu juga arah balik dari Priuk yang dihitung di pintu tol Rawamangun dan turun di Cilandak, nah penumpang yang naik dari Cilandak ke Ciputat ongkosnya tarif bus umum semuanya untuk supir dan kenek. Sistem ini mengingatkan pada Taksi Bluebird.
Satu-satunya aksi kekerasan yang pernah saya lihat di Bus 135 dilakukan dua orang pengamen –yang bukan “pengamen langganan” kami. Mereka naik memaksa dari Rawasari memukul kenek karena menahan mereka dan gaya mengamen dengan cara mengancam: “Saya baru keluar dari penjara!”. Pengamen-pengamen ini lolos karena tidak ada marinir yang naik siang itu. Saya geli sendiri di dalam hati ketika pengamen yang sama naik di waktu lain dan melihat ada beberapa marinir di dalam bus, mereka turun lagi.
Polisi lalu lintas lumayan di mata saya untuk rute Bus 135 ini, standar lah. Marinir kerap membantu ketertiban lalu lintas di kawasan Cilandak dan hasilnya memuaskan kalau mereka hadir. Entah mengapa kalau marinir yang jaga para biker mendadak menjadi, tidak arogan, peramah dan sopan. Bagaimana dengan Rawamangun? Polisi lalu lintas cukup berperan terutama di kawasan Cempaka Putih hingga Kelapa Gading (perempatan Coca Cola memang ada pos di situ karena rawan waktu isu kapak merah).
Setelah 2011 keberadaan Trans Jakarta yang semakin lengkap tampaknya membuat Bus Patas AC 135 merosot dan memang lebih praktis karena bisa berganti rute di tempat transit. Saya tidak terlalu mengamati era sesudah 2011 karena pindah kerja dan ketika harus meliput ke Kelapa Gading menggunakan Trans Jakarta. karena ongkosnya jatuhnya lebih murah. Namun saya masih melihat bus ini masih eksis dengan tarif hampir dua kali lipat era saya.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H