Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Kenangan Bus Patas AC Mayasari 135, Supir dan Penumpangnya Bisa Janjian

24 November 2015   21:43 Diperbarui: 12 April 2016   12:05 4941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: Bis Mania | Admin"][/caption]Akhirnya ada yang menulis curhatnya tentang naik angkutan umum. Jadi tergelitik  saya juga ingin share juga pengalaman naik angkutan umum.

Kalau naik kendaraan umum,baik angkutan umum kota (angkot) mau pun bus, saya upayakan duduk di depan, di samping supir.  Maksudnya  agar bisa  ajak mengobrol supir, mengorek tentang kehidupan mereka dengan menganggap bahwa kehidupan itu di jalanan itu tidak semuanya buruk, kalau mau dinikmati.  Itu saya lakukan baik di Jakarta, mau pun kalau bertugas atau berlibur di kota-kota lain, bahkan dalam perjalanan di luar kota. 

Seorang senior saya  sesama jurnalis mengajarkan bahwa naik angkutan umum itu  memberikan banyak informasi, saya bisa tahu  tempat hiburan,  saya juga bisa tahu soal kuliner yang murah, kuliner yang halal, jam berapa angkutan masih ada,  kapan copet beraksi, bagaimana modusnya,  bagaimana supir melawan copet  itu dari hasil mengobrol dengan supir.  Sebagian besar supir yang saya ajak mengobrol  bisa ketawa-ketiwi membicarakan nasib mereka dan kehidupan di jalanan.  Ternyata tidak semua psikologi supir angkutan umum itu buruk.

Pengalaman paling menarik  ketika saya bekerja di media komunitas di Kelapa Gading,  Jakarta Utara antara 2002-2006 dan 2008-2011 (dua media berbeda tetapi tentang Kelapa Gading).  Saya suka naik  Bus Mayasari Bhakti  Patas  AC 135 Jurusan Ciputat-Tanjung Priuk.  Biasanya saya naik dari Cilandak.  Karakter bus ini unik karena ada hanya 10-12 unit,  penumpangnya orangnya itu-itu saja, yaitu orang-orang yang bekerja di Rawamangun (tempat bus ini keluar  dari tol) hingga  Tanjung Priuk.   

Karena jumlahnya terbatas, bus ini langka , jarak waktu antara satu bus dengan bus lain berkisar  30  menit hingga  satu jam. Itu pun kalau tidak macet. Kalau pagi antara jam  06.00 hingga 10.00 penuh dari arah Ciputat dan sore hari sebaliknya antara pukul 16.00 hingga 19.00. Biasanya saya tanya pada timer ketika sampai di Cilandak,jam berapa bus terakhir  masuk tol.  Kalau masih baru, biasanya saya sarapan dulu,makan indomie goreng, mie ayam, nasi soto ayam dan menyeruput Indocafe. Saya taksir penumpangnya antara 1000 hingga 1500 orang per sekali jalan dan kembalinya jumlahnya seperti itu juga.  Seingat saya  bus ini paling penuh sekitar  110 orang.

Kami Saling Kenal Mengenal      

Apa yang terjadi? Para penumpang dengan penumpang lain saling kenal. Antara supir, kenek dan penumpang saling kenal, bahkan  punya nomor ponsel masing-masing.  Akibatnya penumpang bisa telepon supir atau kenek di mana posisinya kalau menunggu  untuk janjian. Uang kembalian kalau tidak ada bisa dibayar besok atau sebaliknya penumpang bisa bayar besok kalau tidak ada uang.  Tarif bus 135 lumayan mahal  masa itu, namun penumpangnya tetap mau naik karena sudah jadi komunitas: hommy dan aman.   

Barang yang ketinggalan? Seingat saya tidak pernah hilang karena supir  dan kenek memperhatikan  siapa yang punya barang.   Mereka simpan.   Copet? Oh, jangan coba-coba! Karena jam ramai  biasanya ada   beberapa marinir ikut naik dari Cilandak dan turun di Komplek AL Kodamar.   Lagi pula  profil pencopet bakal dikenali dengan cepat dan  mereka cepat jadi mahluk langka dalam bus itu. Mungkin sekali-sekali berhasil, tetapi sulit untuk kedua,  apalagi ketiga kalinya. Keunikan lain penumpang dan supir beberapa kali mengadakan kegiatan piknik bersama dan koordinasinya rapi melibatkan kepanityan dari supir dan penumpang.

Pengamen-pengamennya pun dikenal  baik oleh penumpang –karena mereka naik dari Cilandak tempat masuk  tol  dan sebaliknya dari Rawamangun atau Mal Artha Gading. Bahkan  penumpang bisa requestlagu dan menyanyi bersama. Uang yang diberikan penumpang kepada pengamen kerap lebih dibanding  kalau diberikan di bus lain.  Seingat saya ada pengamen laki-laki yang suka membawakan lagu  Melayu, ada yang gemar membawakan lagu Benyamin Sueb, serta yang sepasang rocker, di antaranya  cewek belasan tahun ketika itu dan saya pernah request, lagu Karma-nya Cokelat,  ternyata ia  mampu.  Dia juga mampu membawakan lagu Agnes Monica dan Utopia. Saya menjulukinya sebagai  “Agnes Monica” –nya Bus 135. Yang menyanyikan Benyamin seorang bapak setengah baya, gaya bernyanyinya mirip.    

Bus dengan Sistem Komisi

Satu-satunya masalah  ialah kemacetan di Cawang, pada jam sibuk. Saya pernah pulang dari Kelapa Gading pukul tujuh malam  di tengah hujan lebat,  bus penuh –penumpang ada yang berdiri- macet total dan tiba di Fatmawati  sekitar tengah malam: kelaparan dalam bus.  Jangan tanya  soal  kebelet buang air kecil. Stres iya.  Tetapi karena lingkungan sekitarnya karib, ya di bawah ketawa saja.  Psikologi awak bus 135 –setidaknya di era saya naik-  berbeda dengan supir dan awak bus  yang pernah saya naiki. 

Nyaris  tidak ada benturan di jalanan, karena supir bus ini jauh dari ugal-ugalan. Rupanya pihak Mayasari pada  Bus AC rute tertentu menerapkan sistem  komisi. Misalnya  target Rp 200 ribuan terpenuhi, maka komisinya 15%. Penumpang dicek hanya  yang naik dari Cilandak dengan tarif  Rp 7.000 per penumpang (seingat saya waktu itu sekitar 2009) misalnya  70 penumpang. Itu yang dihitung. Ketika turun di Rawamangun, penumpang yang naik dari sana ingin ke Tanjung Priuk  hanya bayar Rp 2000 atau Rp 3000 tergantung jauh dekat  dan itu semua masuk kantung supir dan kenek.  Begitu juga arah balik dari Priuk yang dihitung di pintu tol  Rawamangun dan turun di Cilandak, nah penumpang yang naik dari Cilandak ke Ciputat ongkosnya  tarif bus umum  semuanya untuk supir dan kenek.  Sistem  ini mengingatkan pada Taksi Bluebird.        

Satu-satunya aksi kekerasan yang pernah saya lihat di Bus 135  dilakukan  dua orang  pengamen –yang bukan “pengamen langganan” kami.  Mereka naik memaksa  dari Rawasari memukul kenek karena menahan mereka  dan gaya mengamen dengan cara mengancam:  “Saya baru keluar dari penjara!”. Pengamen-pengamen ini lolos karena  tidak ada marinir yang naik siang itu.  Saya geli sendiri di dalam hati  ketika pengamen yang sama naik  di waktu lain dan melihat ada  beberapa marinir di dalam  bus, mereka turun lagi.

Polisi lalu lintas   lumayan  di mata saya untuk rute  Bus 135  ini, standar lah.  Marinir kerap membantu ketertiban lalu lintas di kawasan Cilandak dan hasilnya  memuaskan kalau mereka hadir. Entah mengapa kalau marinir  yang jaga para biker mendadak menjadi, tidak arogan,  peramah dan sopan.  Bagaimana dengan Rawamangun?  Polisi lalu lintas cukup berperan terutama  di kawasan Cempaka Putih hingga Kelapa Gading  (perempatan Coca Cola memang ada pos di situ karena rawan waktu isu kapak merah).    

Setelah  2011  keberadaan Trans Jakarta yang semakin lengkap tampaknya membuat Bus Patas AC  135  merosot dan memang lebih praktis karena bisa berganti rute  di tempat transit.   Saya tidak terlalu mengamati era sesudah  2011 karena pindah kerja dan ketika harus meliput ke Kelapa Gading menggunakan  Trans Jakarta.  karena ongkosnya jatuhnya lebih murah.   Namun saya masih melihat bus ini masih eksis dengan tarif hampir  dua kali lipat era saya.  

 

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun