Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bandung 1958 (5) Jurnalis Perempuan Emma Joesoep, Theresa Zen dan Ratu Kadewanan Parahiangan

20 Oktober 2015   13:54 Diperbarui: 20 Oktober 2015   13:54 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Theresa Zen dalam sebuah penampilan pada 1950-an"][/caption]

 

Perempuan  menjadi jurnalis di Indonesia bukan hal yang baru pada 1950-an.  Jauh sebelum itu kiprah perempuan sebagai jurnalis sudah terjadisebelum kemerdekaan.  Rohana Koedoes dengan SoentingMelajoe- nya pada 1910-an, Siti Danilah Salim penulis di harian Neraca dan Jong Sumatra,  Rasuna Said juga berkiprah sebagai jurnalis, kemudian SK Trimukti.  Saya pernah menulis bahwa sebetulnya pelopor emansipasi perempuan yang nyata adalah para jurnalis perempuan daripada para anak bangsawan yang lebih banyak pada edukasi yang sebetulnya lebih memperkokoh perempuan di sektor domestik, dengan bahasa lainnya peran istri yang diperluas .1

 

Di Jawa Barat tidak  terlalu banyak jurnalis perempuan pada 1950-an, tetapij ustru di tangan mereka kesetaraan jender nyata.  Pada awal 1950-an satu nama yang menonjoladalah Nilakusuma yang aktif menulis di PikiranRakjat. Nilakusuma jelas menuding bahwa pelacuran bukan hanya soal moralitas perempuan tetapi juga laki-laki. Latar belakang pelacuran lebih karena kemerosotan ekonomi sesudah perang.   Perempuan hanya minta duduk sama rendah dan berdiri sama  tinggi, ingin dihargai sebagai manusia baik sebagai kawan, maupun isteri.2   Sebetulnya ada nama Nanie Sudarma yang merupakan jurnalis yang juga banyak menulis di Pikiran Rakjat awal 1950-an, namun  soal  emansipasi perempuan yang diungkapkan Nanie Sudarma awalnya lebih samar  dan tidak setegas dibanding Nilakusuma.  Nanie Sudarma lebih produktif menulis  pada paruh terakhir 1950-an.3.

 

Setelah “kiprah Nilakusuma” menghilang,  Bandung masih memiliki beberapa wartawan lokal perempuan di antaranya yang berkiprah di Pikiran Rakjat.  Pada akhir Mei 1958 harian itu merayakan ulangtahunnya yang ke 8 dan mengumumkan bahwa mereka mempunyai tiga orang  perempuan di bidang redaksi, di antaranya adalah Emma F Joesoep seorang wartawati. Sekali pun sulit  enemukan apa saja  yang diliputnya,  namun dalam sebuah edisi  Emma mengungkapkan hingga masa itu masyarakat pria masih canggung bila berhadapan dengan jurnalis perempuan.  Demikian diungkapkan  Emma.

 

Sebagian dari para pria yang diwawancarai atau memberikan keterangan pers ada yang menyukainya karena dia perempuan.Tetapi ada juga orang yang tidak ambil pusing apakah wartawan itu perempuan atau laki-laki.  Namun ada juga pria yang menganggap sebagai temannya .Sepintasnya hubungan ini lancar,  tetapi ada yang mengajak mengobrol tentang hal-hal yang tida kberhubungan dengan pekerjaan sebagai wartawan.

 

Ada djuga jang menganggap wartawati adalah adiknja bahkan anaknja.  Belum apa-apa mereka sudah memberikan santapan rohani djangan terlalu berani, djangan pulang terlalu malam, hati-hati kalau bergaul, awas di djalan ingat ajah dan bunda.  Dan ketika saja mendapatkan tugas untuk mengikuti razia kepolisian jang berhubungan dengan pelatjuran, tjepatlah sinarasumber tadi menggunakan ‘badju sang ajah’ dan melarang sama sekali wartawati mengikuti razia jang tidak baik diketahui gadis-gadisketjil, ”  (Pikiran Rakjat, 30 Mei 1958).

 

Tak jarang wartawati mendapatkan narasumber yang sama garangnya kepada wartawan pria “Maaf saya  sekarang  tidak  ada berita apa-apa. “  Narasumber seperti ini tidak  peduli  laki-laki  atau  perempuan yang menjadi jurnalisnya.   Emma Joesoep merupakan  pelopor generasi jurnalis perempuan berikutnya di mana jurnalis sudah profesional dan tidak rangkap menjadi aktifis politik pergerakan.   Jurnalis perempuan berani menemu malam tanpa gentar seperti halnya laki-laki.    

 

Munculnya Theresa Amanupunjo atau Theresia Zen

 

Pada Juli 1958   kemunculan Theresa Amanupunjo  muncul sebagai juara kategori Wanita untuk  Hiburan dalam Lomba Bintang Radio (RRI)  Jawa Barat  dengan lagu pilihan “Biola Djiwaku” tidak terlalu mengejutkan karena sudah pernah lomba sebelumnya.  Theresa mampu memikat juri dalam pertandingan di Yayasan Kebudayaan Jalan Naripan ini hingga meraih nilai 212 dan menyisihkan  nama Sukaety Subur, juara IPPI yang berada di tempat ketiga  (Pikiran Rakjat 31 Juli 1958). 

 

Perempuan kelahiran Larantuka 6 Januari 1935 merintis karirnya  di Hotel Savoy Homman bersama Rino Gasparini and His Combo awal 1950-an. Sang adik Astrid Amanupunjo juga keluar sebagai juara dua. Ayahnya Eferandus Amanupunnjo adalah Sersan Mayor dari KNIL (tentara Nederland-Indische). Selama invasi Jepang ayahnya tertangkap dan dipenjara di Bandung. Theresa dan ibunya, Dortje Soselisa mengikuti dan pindah ke Bandung juga.  Theresa  cukup beruntung untuk mendapatkan pendidikan dengan baik.  

 

Theresa mendapatkan pendidikan yang baik di Eropa Legere Sekolah (ELS) kemudian melanjutkan pendidikan di SMP  dan sempat  bekerja sebagai di kantor administrasi workshop Beanda di Jl. Gudang Utara.   Theresa  menikah dengan Raden Mohamad Zen pada 1953, saudara dari Saddak pemilik Savoy Homman.  Theresa juga menjadi salah satu penyanyi di Konferensi Asia Afrika pada April 1955.   Genre Theresa sebagai penyanyi berbagai warna mulai jazz hingga Hawaii-an4.   Publik kemudian mengenalnya sebagai Theresa zen ibu dari penyanyi Lita Zen.

 

Ratu Kadewanan Parahiangan : Hibrida  Pop Culture  di Kota Bandung

Pada 1950-an Bandung merupakan kota yang menjadi favorit untuk lomba ratu-ratuan, di antaranya Ratu Foto Kontes dan Ratu Karang Setra.  Walau pun tidak terlalu sebangun  seperti lomba ratu-ratuan di dunia Barat, “counter culture” terhadap kontes ratu-ratuan seperti ini juga  muncul di Bandung.  Dalam Juli 1958 diadakan lomba Ratu Kadewan Parahiyangan (parahyangan).  Lomba ini menampilan kecantikan perempuan dengan unsur budaya lokal seperti Samping Batik, Kelom Geulis, Kebaya Bandung hingga selendang tasikmalaya. Para peserta kontes  di Bisokop Rivoli, Bandung  juga diminta menyanyi tembang Cianjuran atau memperagakan bakat seni Sunda lainnya.  Lomba ini diprakasai oleh produser dan sineas film “Delapan Penjuru Angin”  karya  Usmar  Ismail (1957).

 

Sang pemenang adalah Dinne Kuaresin, masih berusia 18 tahun  justru muncul dari latar belakang yang menarik.  Ayahnya Sabur, soerang pegawai Bank Provinsi Jawa Barat.  Anak bungsu dari enam saudara laki-laki dan empat saudara perempuan ini mampu berbahasa Inggris yang dipelajarinya di Phouw’s College dan gemar mendengar siaran radio ABC (Australia).  Dinne pengemar acara musik “While You Work” atau “Listen Choice” dari siaran radio itu dan lagu kesayangannya “April Love” dan penyanyi favoritnya Pat Boone, yang justru penyanyi dari Amerika Serikat.  Dinne mendapatkan hadiah piringan hitam lagu dari Delapan Penjuru Angin  (Wanita, nomor 14, 25 Juli 1958). Penelusuran saya menemukan lagu “April Love”  dirilis pada 1957 dan menjadi popular.  

 

Lomba Ratu Kadewan Parahiyangan ini mengingatkan pada ajang Mojang dan Jajaka pada puluhan kemudian.  Sekali pun inspirasinya berbeda, tetapi  Bandung sudah lama meletakan dasar-dasar kebudayaan populernya sejak puluhan tahun. Lomba ini menunjukkan bahwa terjadi hibrida antara budaya popular Sunda dan Barat yang menjadi kekuatan budaya popular  kota Bandung masa berikutnya.

 

Lomba ini tidak hanya diadakan di Kota Bandung tetapi juga Solo.  Di kota ini lomba bernama Ratu Kembang Kacang. Kontes  menyanyi  dengan nuansa tradisional ini diikuti oleh penyanyi professional dan juga remaja-remaja berbakat menyanyi.  Di antara peserta terdapat seorang anak perempuan berumur 13 tahun yang dipanggil  Wal.  Anak usia 13 tahun ini menjadi ratu dan mendapatkan hadiah rekaman di Lokananta. Kelak publik mengenalnya sebagai Waldjinah5 .

 

Dansa masih menjadi kegemaran muda-mudi  di Kota Bandung hingga 1958.  Sekolah Dansa masih menawarkan keterampilan yang jadi tren dunia seperti Sekolah Dansa Sonje di Jalan Putri nomor 18 Bandung,  menawarkan Latin America.  Ada lagi sebuah sekolah dansa baru yang muncul, yaitu  School of Dancing Edward Joe berlokasi di Jalan Pudak nomor 14 dan Jalan Harianbangga nomor 11 menawarkan pelajaran  Latin American Dance dan Ball Room Old Time  (Pikiran Rakjat, 8 Juli 1958).

 

Pihak  kontra sudah melakukan “counter culture”  dengan memperkenalkan Tari Serampang 12 kepada muda-mudi.  Tetapi yang terjadi malah tren dansa  menjalar kekota lain.  Di Tasikmalaya misalnya  Tari Serampang 12  memang dilakukan muda-mudi di bagian depan  gedung atau rumah   tempat berlangsung kegiatan, tetapi di belakang mereka melakukan kegiatan dansa.    Umumnya para pelajar melakukan kegiatan dansa pada hari ulang tahun.  Seorang guru wanita di Sekolah Lanjutan Pertama  bahkan ikut kegiatan dansa (Pikiran Rakjat, 28 Juli 1958).

 

Kesadaran untuk melestarikan kesenian tradisional dilakukan Veteran Film Corporation dari Jakarta dengan mendokumentasikan beberapa petikan lagu-lagu yang dimainkan oleh musik angklung modern pimpinan Daeng Sutikna selama 40 menit.  Lagu-lagu ini dimainkan SGA Negeri II Bandung, di antaranya “Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki,  “Mars Angkung” oleh Daeng Sutikna, serta lagu “Come Back to Surriento” dari Dean Martin yang popular 1950-an.   Lembaga ini juga mendokumentasikan lagu-lagu dari Mang Koko, seperti “Parahiangan”, “Bandung Betja”, dengan pesinden Ika Rostika.   Pada masa itu suara Upit Sarimanah juga direkam dalam piringan hitam dari Gamela  Sunda Pusaka, berisi antara lain lagu “Tjangkupileung, Leungiteun, Purwadaksina, Pemuda Desa” dan sebagainya  (Pikiran Rakjat, 17 Juli 1958).

                            

Daeng Sutikna dengan angklungnya adalah fenomena  bahwa kesenian Sunda bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan bisa  sesuai dengan arus budaya Barat.   Hal yang unik  di Kota Bandung dan sejarah membuktikan masih terjadi lagi hingga  kini.       

                     

Irvan  Sjafari

 

 

Catatan Kaki

 

  1. http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/bukankah-para-jurnalis-yang-mempelopori-emansipasi-perempuan-di-indonesia_550feea8a33311c839ba7d60
  2. http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/reinkarnasi-sebuah-kota-bandung-1950-6_550d8da4a33311231e2e3c2e
  3. http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/nasionalis-dan-mandiri-citra-perempuan-di-mata-dua-penulis-perempuan-nanie-sudarma-dan-nilakusuma-dalam-pikiran-rakjat-awal-1951_552fa4ec6ea834e9098b457c
  4. http://jazzuality.com/jazz-artists/the-life-and-works-of-theresa-zen diakses pada 19 Oktober 2015.
  5. Haque, Shahnaz She Can’t : Catatan Inspiratif Wanita Sang Pendobrak, Jakarta: Gramedia 2009, hal.166

 

Sumber Foto :

Theresa Zen (flickr)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun