Mohon tunggu...
Yesaya Sihombing
Yesaya Sihombing Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Seumur Hidup

Membaca, mengamati, dan menulis beragam hal, mulai dari yang receh sampai yang seriyess

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ternyata Saya Reaktif!!

8 Juni 2020   18:29 Diperbarui: 8 Juni 2020   18:20 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malam itu tiba-tiba telpon WA saya berdering. Ternyata panggilan masuk dari teman saya yang beberapa hari lalu divonis reaktif setelah menjalani rapid test. Reaktif artinya antibodi sudah ada di dalam tubuh, sehingga seseorang dianggap sudah pernah kemasukan virus corona. 

Setelah menjalani rapid test dan hasilnya reaktif, teman saya harus menjalani swab test. Tes tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui seseorang terbukti positif atau negatif corona. 

Walaupun setelah diswab ia terbukti negatif covid-19, namun ada anggota keluarganya yang positif. Kebetulan malam itu dia ingin mengumpulkan berkas administrasi untuk suatu urusan dan saya menjadi salah satu pool untuk mengumpulkan berkas tersebut.

Agak was-was juga sih untuk bertemu secara langsung dengan orang itu. Tapi ya gimana lagi.. Mau ga mau harus saya temui dengan berhadapan muka.

Kalau menurut protokol kesehatan, untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan, ketika menerima tamu di rumah kita harus pakai masker. Namun berhubung rasa sungkan saya lebih mendominasi, maka saya putuskan untuk tidak pakai masker.

Saya merasa tidak enak hati kalau-kalau perasaan teman saya tersinggung. "Wah gara-gara kemarin reaktif jadi pakai masker nih temen saya" Saya takut teman saya berpikir seperti itu dan kemudian menganggap saya menjaga jarak dari dia, berstigma negatif tentang dia, dan mendiskriminasinya. 

Begitu tho yang didengungkan oleh para aktivis kesehatan selama masa pandemi ini : jangan mendiskriminasi pasien covid-19, hilangkan stigma negatif penderita corona di masyarakat. Saya tidak mau dicap seperti itu.

Jadi saya mulai menyiapkan strategi kalau-kalau teman saya sampai harus masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu, apakah saya akan memberikan suguhan teh manis dan roti kering, atau merekayasa cerita agar teman saya cepat pulang.

Kalau diberi suguhan, nanti droplets-nya dia bisa nempel dong di gelas, nanti kalau gelasnya saya cuci, wah tangan saya bisa kena dong, kalau tangan saya kena dan saya tidak membersihkannya dengan benar lalu pegang sana sini, keluarga saya bisa kena dong. Yah, pikiran saya sampai sejauh itu..

Kalau merekayasa cerita, saya punya dua pilihan. Saya akan beralasan saya sedang mengerjakan deadline tugas, atau alasan klasik lain, keluarga saya sudah tidur, jadi maaf tidak bisa menemani lama-lama.

Namun demikian, syukurlah teman saya juga sadar diri dan hanya ingin bertemu di depan gerbang saja. Fyuh.. lega rasanya.

Rasa sungkan memang bisa membuat orang berpikir dan bertindak yang aneh-aneh. Ada cerita terkenal tentang perbedaan orang Batak dan orang Jawa ketika kakinya diinjak orang lain. 

Orang Batak akan bereaksi keras dan berkata, "di mana mata kau?". Sementara orang Jawa akan berkata sambil menunduk, "maaf mas, kaki anda berada di atas kaki saya" Sudah dizolimi masih minta maaf pula.

Rasa sungkan saya pada temen saya, justru membuat saya jadi reaktif. Panik, was-was, berpikir negatif. Padahal yang saya takutkan toh tidak terjadi. Iya, setelah bertemu dengan teman saya, syukurnya saya tidak menunjukkan gejala-gejala terjangkit covid-19. 

Coba kalau sehabis pertemuan itu saya langsung pusing, batuk, pilek, sesak nafas, pasti saya tambah parno. Bukan cuma saya, keluarga juga pasti menganggap saya bersalah karena mau-maunya bertemu dengan teman saya itu.

**

Dari pengalaman tersebut saya berpendapat bahwa sungkan dan reaktif itu berkelindan. Lihat saja Pemerintah yang sepertinya sungkan dengan tekanan dari para pemeluk agama di negeri ini, hingga akhirnya mengeluarkan Surat Edaran tentang Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah. Mungkin juga surat ini dikeluarkan untuk menghindari friksi dengan pemeluk agama yang sudah kebelet beribadah.

Lha wong sebelum ada Surat Edaran masih ada saja yang ngeyel untuk tetap beribadah di rumah ibadah. Ini terjadi di agama apapun lho ya. Contohnya ya masyarakat yang masih melaksanakan ibadah saat PSBB, baik itu Jumatan maupun juga kebaktian di gereja. Bukankah beberapa klaster besar positif corona berawal dari kegiatan keagamaan juga?

Mampukah Pemerintah benar-benar menjamin tiap pengurus rumah ibadah mempersiapkan perangkat yang diperlukan untuk menyelanggarakan ibadah? Di sisi lain, bisakah kita menjamin kesadaran masyarakat untuk menjalankan kegiatan ibadah sesuai dengan protokol yang sudah ditetapkan di Surat Edaran tersebut?

Contohnya, pertama, yang beribadah hanya 50% dari kapasitas tempat ibadah. Dari mana kita bisa menjamin bahwa yang hadir berjumlah 50% dari kapasitas tempat ibadah? Untuk tempat ibadah yang kecil mungkin hal tersebut dimungkinkan. Namun bagaimana dengan tempat ibadah yang besar?

Kedua, anak-anak dan lansia disarankan tidak mengikuti kegiatan ibadah. Padahal kalau melihat kenyataan, para lansia justru sangat ingin beribadah di tempat ibadah. 

Kata teman saya, mungkin karena mereka sadar ajal sudah mendekat. Mungkin..Apa bisa kita mencegah anak-anak dan lansia untuk beribadah tanpa menyinggung para lansia tersebut? hehehe..

Ketiga jarak antarumat minimal 1 meter. Nah ini juga ambigu, karena ukuran tiap rumah ibadah berbeda-beda tho. Lalu setelah melaksanakan ibadahnya siapa dapat menjamin tiap jemaat dapat saling menjaga jarak 1 meter satu sama lain? Tidak terbayangkan bagaimana suasana rumah-rumah ibadah di kampung bila diterapkan seperti itu.

**

Lalu sebaiknya bagaimana? Kalau boleh urun rembug Pemerintah sebaiknya tidak perlu sungkan kalau mau menerapkan aturan. Bila memang secara infrastruktur rumah-rumah ibadah itu belum siap, mbok ya dibantu untuk penyediaan kelengkapan penyelenggaraan ibadah sesuai protokol covid-19. Lalu kalau kesadaran masyarakat belum tinggi, mbok ya kalau mau memberi sanksi jangan tanggung-tanggung. 

Selama aturannya hanya imbauan, biasa akan cenderung diabaikan. Lihat saja semasa PSBB, bagaimana rakyat di zona merah kelakuannya sudah seperti zona hijau saja.

Berat? Ya sudah tho kalau begitu tunggu dulu sesaat lagi sampai zona hijaunya semakin bertambah di negeri ini, jangan sungkan-sungkan untuk menunda penyelenggaraan kegiatan keagamaan di rumah ibadah. Toh ini semua untuk kepentingan dan keselamatan bersama.

Ah, ternyata saya reaktif juga terhadap Surat Edaran ini!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun