Mohon tunggu...
Yesaya Sihombing
Yesaya Sihombing Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Seumur Hidup

Membaca, mengamati, dan menulis beragam hal, mulai dari yang receh sampai yang seriyess

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ternyata Saya Reaktif!!

8 Juni 2020   18:29 Diperbarui: 8 Juni 2020   18:20 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rasa sungkan memang bisa membuat orang berpikir dan bertindak yang aneh-aneh. Ada cerita terkenal tentang perbedaan orang Batak dan orang Jawa ketika kakinya diinjak orang lain. 

Orang Batak akan bereaksi keras dan berkata, "di mana mata kau?". Sementara orang Jawa akan berkata sambil menunduk, "maaf mas, kaki anda berada di atas kaki saya" Sudah dizolimi masih minta maaf pula.

Rasa sungkan saya pada temen saya, justru membuat saya jadi reaktif. Panik, was-was, berpikir negatif. Padahal yang saya takutkan toh tidak terjadi. Iya, setelah bertemu dengan teman saya, syukurnya saya tidak menunjukkan gejala-gejala terjangkit covid-19. 

Coba kalau sehabis pertemuan itu saya langsung pusing, batuk, pilek, sesak nafas, pasti saya tambah parno. Bukan cuma saya, keluarga juga pasti menganggap saya bersalah karena mau-maunya bertemu dengan teman saya itu.

**

Dari pengalaman tersebut saya berpendapat bahwa sungkan dan reaktif itu berkelindan. Lihat saja Pemerintah yang sepertinya sungkan dengan tekanan dari para pemeluk agama di negeri ini, hingga akhirnya mengeluarkan Surat Edaran tentang Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah. Mungkin juga surat ini dikeluarkan untuk menghindari friksi dengan pemeluk agama yang sudah kebelet beribadah.

Lha wong sebelum ada Surat Edaran masih ada saja yang ngeyel untuk tetap beribadah di rumah ibadah. Ini terjadi di agama apapun lho ya. Contohnya ya masyarakat yang masih melaksanakan ibadah saat PSBB, baik itu Jumatan maupun juga kebaktian di gereja. Bukankah beberapa klaster besar positif corona berawal dari kegiatan keagamaan juga?

Mampukah Pemerintah benar-benar menjamin tiap pengurus rumah ibadah mempersiapkan perangkat yang diperlukan untuk menyelanggarakan ibadah? Di sisi lain, bisakah kita menjamin kesadaran masyarakat untuk menjalankan kegiatan ibadah sesuai dengan protokol yang sudah ditetapkan di Surat Edaran tersebut?

Contohnya, pertama, yang beribadah hanya 50% dari kapasitas tempat ibadah. Dari mana kita bisa menjamin bahwa yang hadir berjumlah 50% dari kapasitas tempat ibadah? Untuk tempat ibadah yang kecil mungkin hal tersebut dimungkinkan. Namun bagaimana dengan tempat ibadah yang besar?

Kedua, anak-anak dan lansia disarankan tidak mengikuti kegiatan ibadah. Padahal kalau melihat kenyataan, para lansia justru sangat ingin beribadah di tempat ibadah. 

Kata teman saya, mungkin karena mereka sadar ajal sudah mendekat. Mungkin..Apa bisa kita mencegah anak-anak dan lansia untuk beribadah tanpa menyinggung para lansia tersebut? hehehe..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun