Namun, saya dan istri menetapkan tiga indikator utama saat memilihkan sekolah untuk putri kecil kami pada jenjang pendidikan pertamanya.
Lingkungan yang nyaman, kurikulum yang sesuai, dan guru yang profesional menjadi harapan kami agar putri kecil kami tumbuh dalam nafas religius di lingkungan sekolah yang aman dan diasuh oleh pendidik yang berpengalaman.
Ada satu indikator tambahan yang juga kami pertimbangkan, yakni jarak antara rumah dan sekolah. Meski sifatnya opsional, jarak yang lebih dekat tentu lebih memudahkan akses, terutama karena saya dan istri harus berlomba dengan waktu setiap pagi agar tepat waktu memulai pembelajaran di kelas.
Setelah sekolah terpilih, petualangan kami sebagai orang tua ternyata tidak berhenti di situ. Kami sering mengajak putri kami berbincang sederhana tentang apa yang dipelajari di sekolah dan bagaimana keadaannya di sana.
Hal ini ternyata penting, sebab di dunia anak-anak, mereka juga menghadapi masalah sesuai usia mereka. Dalam hal kurikulum, sepanjang perjalanan kami cukup puas, ibu guru tetap luar biasa. Namun, ada satu pengalaman terkait lingkungan yang sempat menjadi tantangan bagi anak kami.
Saya pernah dilabrak oleh salah satu orang tua karena putri kami menggigit salah satu temannya. Setelah ditelusuri, ternyata itu adalah bentuk solidaritas (yang salah) putri kami yang membela temannya saat disakiti oleh teman yang digigit tersebut.
Antara kaget dan tersenyum simpul, lucu rasanya saat mengingat memori itu. Untungnya, semua berakhir dengan damai.Â
Pihak sekolah sangat mendukung proses mediasi, dan hal ini membuat kami yakin bahwa lingkungan sekolah tersebut memang mendukung perkembangan anak kami secara keseluruhan.
Saran bagi papa mama baru yang hendak menyekolahkan anaknya di jenjang pertama adalah banyak-banyaklah berbincang dengan para orang tua yang sudah berpengalaman.
Cara ini jauh lebih efisien dan efektif. Dengan mendengar berbagai pendapat, kita bisa mengambil keputusan terbaik yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi masing-masing.
Namun semuanya "jer basuki mawa bea," demikian falsafah Jawa mengungkapkan, yang artinya ada harga pada setiap pelayanan terbaik.Â