Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pilih PAUD Kok Coba-Coba

20 Desember 2024   22:39 Diperbarui: 20 Desember 2024   22:39 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswi PAUD bermain dengan bahagia (Kompas dari Dok. Bakti Pendidikan Djarum Foundation) 

Memilih PAUD untuk anak bukan perkara sepele. Seringkali, orang tua "coba-coba" tanpa mempertimbangkan dampaknya. Padahal, lingkungan pertama anak di luar keluarga adalah pondasi penting yang akan memengaruhi perkembangan mereka dan motivasi untuk jenjang pendidikan berikutnya.

Meski hanya memilihkan sekolah untuk putri kecil kami, dilemanya tetap luar biasa, loh. Ada begitu banyak pertimbangan yang muncul saat putri kecil kami akan memasuki jenjang pendidikan pertamanya ini.

Di Metro, terdapat banyak pilihan sekolah untuk putri kecil kami. Hal ini tentu menjadi seperti “menu lengkap” bagi kami dan juga para orang tua lain dalam menentukan sekolah mana yang paling cocok saat anak-anak mereka memasuki jenjang pendidikan pertama.

Di kantor, sering kali muncul diskusi tentang kegalauan papa-mama muda yang anaknya akan segera menginjak jenjang pendidikan pertama, yaitu PAUD.

Ternyata, ini bukan sekadar perkara sepele seperti mendaftar, membayar, lalu sekolah. Ada banyak hal yang harus benar-benar dipertimbangkan ketika memilihkan sekolah untuk anak.

Kegalauan ini juga kami rasakan, saya dan istri. Bagaimana tidak? Sekolah ini akan menjadi lingkungan pertama di luar keluarga yang akan ditempati oleh putri kecil kami.

Biasanya, saya dan istri selalu ada di sisinya ketika ia membutuhkan bantuan. Namun, saat ia masuk ke jenjang pendidikan pertama, ia akan berada di lingkungan yang asing, jauh dari keluarga, dan bertemu dengan orang-orang yang tidak dikenalnya.

Perasaan kami campur aduk, antara tidak tega, kasihan, sedih, hingga khawatir. Setiap kali membayangkan wajah putri kecil kami, rasanya kegalauan itu malah semakin menjadi-jadi.

Lingkungan yang Nyaman

Beberapa tahun lalu, saat putri kami bersiap memasuki jenjang pertama sekolahnya, kami meluangkan waktu khusus untuk memilihkan sekolah terbaik baginya.

Saya dan istri bahkan sengaja meliburkan diri pada hari itu demi benar-benar merasakan atmosfer calon sekolah putri kecil kami.

Kami mengunjungi beberapa sekolah di kota kami. Setiap sekolah yang kami datangi, kami pastikan untuk turun dari kendaraan, berbincang dengan staf, dan berkeliling area sekolah.

Bak orang kurang kerjaan, kadang tanpa sadar saya ikut mengendus-endus lingkungan sekitar, sekadar memastikan apakah lingkungannya rapi dan wangi. Hehe.

Dengan menghadirkan diri langsung ke calon sekolah pilihan putri kami, kami merasa lebih bisa menilai apakah sekolah itu sreg atau tidak.

Kami juga memastikan lingkungan sekolah aman dari berbagai potensi gangguan, seperti hiruk-pikuk orang tak dikenal, kehadiran hewan buas, benda berbahaya, atau lalu-lalang kendaraan yang membahayakan.

Jangan sampai lingkungan sekolah justru membawa ancaman bagi putri kami. Kalau itu sampai terjadi, tentu kami sebagai orang tua akan semakin repot dan waswas.

Kurikulum yang Mendukung Perkembangan

Tanpa basa-basi, kami langsung menanyakan kepada pihak sekolah tentang target apa saja yang harus dicapai selama anak bersekolah di sana.

Hal ini layaknya “menu” bagi para orang tua. Biasanya, inilah yang menjadi pembeda antara satu orang tua dengan yang lain, target capaian.

Ada sekolah yang berbasis keagamaan, ada pula yang umum. Pilihannya sesuai selera. Namun, saat itu kami lebih condong memilih sekolah dengan nuansa keagamaan yang lebih kental.

Bagi kami, usia dini adalah masa yang seharusnya menjadi pondasi utama dalam beragama. Agama menawarkan kerangka berpikir tentang adab dan memberikan petunjuk dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Terlebih untuk anak usia dini, kisah-kisah dalam pendekatan agama adalah cerita nyata dari masa lampau yang dapat dijadikan teladan.

Ada kisah Luqman yang penuh cinta kepada anaknya, kisah Nabi Yunus yang ditelan ikan, dan berbagai cerita lainnya. Semua itu benar-benar ada, menarik untuk anak-anak, sekaligus sarat dengan pesan moral yang tinggi.

Pada akhirnya, saya dan istri sepakat, selain lingkungan yang aman, kurikulum menjadi faktor kedua yang paling menentukan pilihan kami. Titik. Bahkan, ini bisa dibilang faktor yang utama.

Guru Penuh Kasih Sayang dan Pengalaman

Tak tanggung-tanggung, guru anak kami adalah seorang psikolog yang sangat menjiwai perannya sebagai pendidik anak usia dini. Pertimbangan ketiga ini juga menjadi salah satu faktor utama dalam menentukan sekolah putri kami.

Bagi orang tua, sangat penting untuk terus memperbarui pengetahuan tentang perkembangan dunia anak-anak, termasuk mengenai sekolah mereka.

Sekolah dengan guru yang kami maksud ini sudah masuk dalam radar pengamatan istri dan gengnya. Mungkin bukan ghibah, ya, tapi lebih tepat disebut pengamatan. Guru ini sering menjadi topik obrolan istri bersama para sahabatnya saat berkumpul.

Obrolannya seputar kehebatan sang guru dalam "menaklukkan" anak-anak yang tantrum, kesabarannya menghadapi keluhan orang tua tentang anak yang dinakali teman, hingga profesionalismenya dalam menangani pendidikan anak usia dini.

Berbagai cerita positif ini akhirnya membuat kami mantap memilih sekolah di mana guru tersebut mengajar. Dan ternyata, pilihan kami tidak salah. Seperti yang sering dibicarakan, ibu guru ini memang benar-benar the best.

Yuk Rencanakan!

Di Kota Metro, Anda bebas memilih karena banyak pilihan sekolah berdasarkan jenjang, termasuk PAUD. Seperti yang saya tuliskan di awal, bak menu, lengkap, ada yang terpadu dengan keagamaan, ada pula yang umum.

Namun, saya dan istri menetapkan tiga indikator utama saat memilihkan sekolah untuk putri kecil kami pada jenjang pendidikan pertamanya.

Lingkungan yang nyaman, kurikulum yang sesuai, dan guru yang profesional menjadi harapan kami agar putri kecil kami tumbuh dalam nafas religius di lingkungan sekolah yang aman dan diasuh oleh pendidik yang berpengalaman.

Ada satu indikator tambahan yang juga kami pertimbangkan, yakni jarak antara rumah dan sekolah. Meski sifatnya opsional, jarak yang lebih dekat tentu lebih memudahkan akses, terutama karena saya dan istri harus berlomba dengan waktu setiap pagi agar tepat waktu memulai pembelajaran di kelas.

Setelah sekolah terpilih, petualangan kami sebagai orang tua ternyata tidak berhenti di situ. Kami sering mengajak putri kami berbincang sederhana tentang apa yang dipelajari di sekolah dan bagaimana keadaannya di sana.

Hal ini ternyata penting, sebab di dunia anak-anak, mereka juga menghadapi masalah sesuai usia mereka. Dalam hal kurikulum, sepanjang perjalanan kami cukup puas, ibu guru tetap luar biasa. Namun, ada satu pengalaman terkait lingkungan yang sempat menjadi tantangan bagi anak kami.

Saya pernah dilabrak oleh salah satu orang tua karena putri kami menggigit salah satu temannya. Setelah ditelusuri, ternyata itu adalah bentuk solidaritas (yang salah) putri kami yang membela temannya saat disakiti oleh teman yang digigit tersebut.

Antara kaget dan tersenyum simpul, lucu rasanya saat mengingat memori itu. Untungnya, semua berakhir dengan damai. 

Pihak sekolah sangat mendukung proses mediasi, dan hal ini membuat kami yakin bahwa lingkungan sekolah tersebut memang mendukung perkembangan anak kami secara keseluruhan.

Saran bagi papa mama baru yang hendak menyekolahkan anaknya di jenjang pertama adalah banyak-banyaklah berbincang dengan para orang tua yang sudah berpengalaman.

Cara ini jauh lebih efisien dan efektif. Dengan mendengar berbagai pendapat, kita bisa mengambil keputusan terbaik yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi masing-masing.

Namun semuanya "jer basuki mawa bea," demikian falsafah Jawa mengungkapkan, yang artinya ada harga pada setiap pelayanan terbaik. 

Tentu, dengan berbagai kriteria premium yang kami tetapkan, ada harga yang lebih tinggi yang harus kami investasikan untuk pendidikan putri kecil kami.

Hitung-hitung ini adalah investasi, bukan sekadar pengeluaran. Untuk sebuah investasi, tentu tidak ada istilah sayang uang. 

Yang penting adalah persiapan matang, termasuk diskusi tentang keuangan keluarga, karena kini kami memiliki satu anggaran baru, yaitu pendidikan putri kecil kami.

Segala sesuatu memang perlu direncanakan. Jangan asal memilih sekolah karena anak bukanlah untuk coba-coba. Kesuksesan mereka adalah kesuksesan kita juga.

Pilih PAUD dengan bijak, karena masa depan anak bergantung pada fondasi yang tepat. Jangan coba-coba! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun