Aku langsung berlari keluar kelas menuju sekolah Gagah, pikiranku mulai kacau.
“Dasar anak pengecut, kayak perempuan, pakai rok aja!” gumamku dalam hati.
“Laki-laki itu harus berani, jangan cemen, woy!” pikirku semakin keras.
Aku menyalahkan Gagah tanpa tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa dia sampai dibuli berulang kali dan diam saja tanpa melawan? Bukankah itu waktunya dia belajar untuk berani?
Saat tiba di sekolah dan masuk ke ruang BK, aku melihat istriku tengah duduk di samping Gagah yang masih terisak menangis. Tanpa berpikir panjang, aku mendekati Gagah dan memberikan dorongan kasar di dahinya.
"Kamu ya, sudah berulang kali Ayah katakan, lawan! Kalau tidak, Ayah yang akan pukul kamu. Ngerti?" suaraku terangkat, penuh emosi.
Gagah mundur sedikit, air matanya semakin deras. "Ayah..." isaknya pelan, seolah kata-kataku semakin mematahkan semangatnya.
Istriku mencoba mengingatkan, “Ayah, dengar dulu! Kita di sekolah, kasihan Gagah!”
Namun, aku tetap tidak bisa menahan kemarahan dan rasa kecewa yang menumpuk.
Tiba-tiba, suara lembut Ibu Rini wali kelas IV, kelasnya Gagah, memecah keheningan.
“Mohon maaf, Pak, hari ini Gagah berkelahi di depan kelas. Ketiga temannya dibuatnya menangis. Persoalannya, karena mereka mengejek nama bapak. Gagah nggak terima, lalu mendatangi mereka bertiga dan membuat mereka menangis.”