“Aku saja yang tanggung dulu, nanti bayar pakai uang sumbangan.”
Namun, kenyataannya, uang sumbangan tidak cukup untuk menutupi biaya pesta yang sudah digelar. Akibatnya, mereka terpaksa menjual rumah untuk melunasi utang yang membengkak.
Sayangnya, kisah ini tidak berhenti di situ. Setelah rumah terjual, mereka harus pindah ke tempat lain, dan yang lebih miris, keluarga mereka menjadi berantakan akibat tekanan ekonomi.
Jika sudah begini, mau menyalahkan siapa? Bukankah semua bermula dari keputusan kita sendiri yang memaksakan sesuatu di luar kemampuan?
Maka, mari belajar dari pengalaman ini. Jangan biarkan pendapat orang lain memengaruhi keputusan yang sebenarnya hanya kita yang memahami risikonya.
Pernikahan seharusnya menjadi awal kehidupan baru yang bahagia, bukan pintu masuk menuju keterpurukan.
Wasana Kata
Berdasarkan pengalaman yang saya tulis di sini, dan ini pengalaman nyata, bukan kiasan atau cerita rekayasa. Saya menyarankan agar tidak berutang hanya demi menggelar pesta pernikahan.
Pengalaman banyak membuktikan bahwa pesta yang diawali dengan utang sering kali berakhir dengan pahit. Ingat, pesta pernikahan hanya berlangsung sehari. Apakah kita rela menanggung derita seumur hidup hanya karena satu hari itu saja?
Lebih baik kita bersikap bijak. Sedia payung sebelum hujan, cegah penderitaan sebelum terjadi. Utang, terutama yang dipakai untuk hal konsumtif seperti pesta, sering kali menjadi sumber masalah yang membawa derita berkepanjangan.
Bagi yang ingin menikah, ingatlah bahwa kita tidak akan kenyang hanya dengan cinta. Jangan terbuai oleh perasaan hingga rela berutang dengan dalih, “Nanti utangnya kita tanggung bersama.”