Apakah kehidupan rumah tangga akan terus dibayangi tuntutan materi? Ini bukan semata soal cinta atau tidak cinta, tetapi soal kesiapan menjalani kehidupan setelah pernikahan yang seharusnya lebih diutamakan.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah jika kita sampai harus berutang untuk memenuhi permintaan calon pasangan atau keluarganya.Â
Apakah ini benar-benar sepadan? Terlepas dari adat istiadat atau tradisi yang memang sah dan legal, tetap saja, kalau tidak mampu, mengapa harus memaksakan?
Pernikahan adalah awal membangun masa depan bersama, bukan panggung pamer atau ajang pemaksaan materi. Maka, mari berpikir realistis.Â
Utamakan kesiapan emosional, mental, dan finansial, bukan sekadar memenuhi ekspektasi orang lain yang kadang tidak masuk akal.
Mewah Sesaat
Jangan sampai kita mengalami nasib seperti beberapa tetangga saya yang harus merelakan rumah dan tanah dilelang setelah menggelar pesta pernikahan megah.Â
Semua itu dilakukan hanya demi melunasi utang yang digunakan untuk membiayai pesta yang ironisnya hanya berlangsung satu hari.
Yang lebih memilukan, bahkan genteng rumah mereka sampai dijual secara terpisah. Saya masih ingat malam itu mereka mengadakan pesta yang sangat meriah, lengkap dengan pertunjukan Janger (pertunjukan drama tradisional diperankan di panggung).Â
Namun, keesokan paginya, genteng rumah mereka diturunkan untuk dijual. Bagi siapa pun yang mengira ini hanya cerita karangan, saya tegaskan, salah besar. Kisah ini nyata.
Kemungkinan besar, orang-orang yang menurunkan genteng adalah mereka yang kecewa karena tagihannya tidak terbayar setelah pesta selesai. Lihatlah, betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk sebuah kemewahan sesaat.