Bayangkan, mereka berada di sekolah dari pukul 07.00 hingga 16.00, lima hari dalam seminggu. Tidak heran jika banyak orang tua mengeluhkan kondisi anak-anak yang pulang dalam keadaan lelah dan kehilangan waktu untuk melakukan aktivitas lain, seperti mengaji atau bermain.Â
Dengan rutinitas yang padat, anak-anak seakan terperangkap dalam siklus yang monoton, di mana keseimbangan antara pendidikan akademis dan pertumbuhan pribadi menjadi tidak terjaga.
Sebagai seseorang yang pernah mengalami masa sekolah dengan durasi yang lebih singkat, saya menyadari betapa pentingnya keseimbangan antara waktu belajar di sekolah dan kesempatan untuk beristirahat atau melakukan kegiatan di luar akademis.Â
Dulu, sepulang sekolah sekitar pukul 15.00, saya masih memiliki waktu untuk beristirahat, melaksanakan shalat Ashar, dan pergi ke TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) bersama teman-teman.
Namun kini, anak-anak pulang dalam kondisi letih, seringkali langsung tidur, dan baru bangun saat maghrib. Dampaknya, mereka kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan teman sebaya, dan lebih parahnya, mengasah nilai-nilai religiusitas di luar sekolah.Â
Proses pembelajaran tidak seharusnya hanya terjadi dalam ruang kelas, interaksi sosial dan kegiatan di luar sekolah juga penting untuk perkembangan karakter anak.
Ironisnya, meskipun anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah, kualitas kompetensi yang mereka capai tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.Â
Bahkan, semakin banyak keluhan terkait masalah kesehatan mental, burnout, serta kurangnya pemahaman mendasar dalam pelajaran seperti perkalian dan matematika dasar di tingkat SMP dan SMA. Sistem full day yang seharusnya meningkatkan kualitas belajar justru memperlihatkan hasil yang bertolak belakang.
Jika saya boleh mengusulkan, mengapa tidak mengembalikan sistem pendidikan seperti dulu, dengan jam sekolah yang lebih pendek namun tetap efektif?Â
Ini akan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk tumbuh dan berkembang secara holistik, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah.
Sistem full day saat ini membatasi anak-anak untuk belajar bersosialisasi, berempati, dan mengembangkan diri dalam berbagai aspek, termasuk dalam hal religiusitas dan pengembangan karakter.