Di balik semangat reformasi pendidikan, Kurikulum Merdeka justru menghadirkan tantangan yang membingungkan bagi guru, siswa, dan orang tua.Â
Sebagai ujung tombak masa depan bangsa, sekolah-sekolah di Indonesia kini terjebak dalam berbagai persoalan yang belum tuntas.Â
Kurikulum yang dijanjikan sebagai "merdeka" ini, sayangnya, tidak sepenuhnya membebaskan. Alih-alih memberikan kemudahan, banyak masalah fundamental yang muncul akibat penerapan sistem ini.
Sebagai guru saya merasakan langsung bagaimana kebijakan Kurikulum Merdeka seringkali bersinar indah di atas kertas, namun terjebak dalam realitas pelaksanaan di lapangan.Â
Di ruang kelas, kami menghadapi masalah yang semakin kompleks. Siswa terlihat bingung dengan sistem pembelajaran yang baru, orang tua tidak paham arah pendidikan yang diambil anak mereka, sementara guru-guru sering kali terperangkap dalam keraguan tentang cara menerapkan kurikulum ini.
Di tingkat pusat, kebijakan dirumuskan dengan ambisi besar, namun sayangnya, banyak dari kebijakan itu tidak menyentuh akar masalah.Â
Di sekolah, kami berjuang dengan keterbatasan sumber daya dan kebijakan yang tidak selalu memadai. Realitas ini menunjukkan bahwa implementasi Kurikulum Merdeka belum siap menjawab kebutuhan yang ada di lapangan.Â
Jika kita ingin menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik dan benar-benar "merdeka" untuk masa depan siswa-siswa kita, ada banyak isu yang perlu segera diselesaikan.
Mari kita lihat beberapa tantangan yang dihadapi, seperti kebingungan dalam pembagian paket mata pelajaran, penilaian yang tidak relevan, dan materi yang terasa dangkal.Â
Semua ini menambah beban bukan hanya bagi siswa, tetapi juga bagi guru dan orang tua yang berusaha untuk mendukung pendidikan anak-anak mereka.Â
Jika tidak segera ditangani, kita berisiko kehilangan generasi yang tidak siap menghadapi tantangan dunia yang terus berubah.Â
Kita harus bersama-sama memperjuangkan pendidikan yang berkualitas dan relevan, agar masa depan bangsa dapat diisi oleh generasi yang siap berkontribusi dan bersaing.
Bingung dengan Sistem Paket
Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan Kurikulum Merdeka adalah pembagian paket mata pelajaran yang semakin rumit dan membingungkan.Â
Dahulu, dengan pembagian IPA dan IPS, siswa dan orang tua memiliki panduan yang jelas. Misalnya, jika seorang anak bercita-cita menjadi dokter, jalur IPA adalah pilihan yang tepat. Namun, dengan sistem paket dalam Kurikulum Merdeka, orientasi itu seolah hilang.
Di sekolah saya, kelas XI kini dibagi dalam paket-paket tertentu. Orang tua juga sering kali kebingungan ketika mencoba mengarahkan anak mereka.Â
Dulu, mereka tinggal mengarahkan anaknya masuk IPA atau IPS, sesuai minat dan kemampuan. Kini, paket yang ditawarkan sering kali tidak mencerminkan kebutuhan atau minat siswa, dan justru memaksa mereka masuk ke jalur yang tidak mereka inginkan.
Hal ini tak hanya membuat proses bimbingan akademik dari orang tua menjadi lebih rumit, tetapi juga menambah beban psikologis bagi siswa.Â
Mereka merasa terjebak dalam sistem yang seharusnya memberi kebebasan, namun malah mengaburkan arahan pendidikan yang seharusnya jelas.Â
Tak jarang, pemilihan paket ini didasarkan pada nilai siswa di beberapa mata pelajaran, tanpa mempertimbangkan minat atau potensi mereka.Â
Akibatnya, siswa yang mungkin berbakat di satu bidang tetapi mendapatkan nilai rendah di mata pelajaran terkait bisa tersingkir dari jalur yang seharusnya mereka tempuh.
Kesenjangan antara konsep "merdeka" yang diusung kurikulum ini dengan kenyataan di lapangan sangat nyata. Apa yang dimaksudkan sebagai kebebasan memilih justru sering kali berubah menjadi kebingungan kolektif, baik di kalangan siswa, orang tua, maupun guru.
Penilaian P5 yang Kurang Relevan
Dalam Kurikulum Merdeka, salah satu komponen baru yang diperkenalkan adalah Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).Â
Pada dasarnya, P5 bertujuan mulia, yakni menilai karakter dan keterampilan siswa dalam aspek spiritualitas, kesehatan fisik, dan mental.Â
Sayangnya, di lapangan, penilaian ini sering kali tidak relevan dan justru menambah beban bagi para guru. Banyak wali kelas kebingungan saat harus mengisi nilai P5 di rapor.Â
Indikator penilaian yang tidak jelas, seperti "mulai berkembang" atau "sangat berkembang", membuat proses penilaian terasa tidak konkrit.Â
Tidak ada tolok ukur yang pasti untuk menentukan apakah seorang siswa "sangat berkembang" atau hanya "mulai berkembang".Â
Akibatnya, banyak guru yang akhirnya menggunakan template nilai yang beredar di grup-grup WhatsApp karena tidak ada pedoman yang mudah dipahami.Â
Ini jelas menimbulkan pertanyaan, apakah penilaian ini benar-benar akurat mencerminkan perkembangan siswa?
Lebih jauh lagi, penilaian P5 seolah menjadi pekerjaan tambahan yang tidak memberikan dampak nyata terhadap pembelajaran siswa.Â
Alih-alih membantu menguatkan karakter, sistem penilaian ini malah menjadi formalitas semata, yang hanya berfungsi sebagai pengisi rapor tanpa memberikan wawasan nyata tentang kemampuan siswa.Â
Dalam praktiknya, penilaian yang ambigu ini menambah beban kerja guru tanpa memberi kontribusi signifikan pada peningkatan kualitas pembelajaran.
Bagi siswa, nilai P5 ini juga sering kali tidak dipahami. Mereka mungkin merasa bingung mengapa aspek-aspek yang dinilai tidak berkaitan langsung dengan prestasi akademis mereka, dan bagaimana nilai ini bisa memengaruhi masa depan mereka.Â
Selain itu, tidak ada feedback yang jelas bagi siswa mengenai cara mereka bisa meningkatkan aspek-aspek yang dinilai dalam P5.Â
Semua ini menciptakan kesenjangan antara tujuan P5 yang ideal dengan implementasi di lapangan yang kurang relevan dan tidak efektif.
Kurikulum yang "Setengah-Setengah"
Kurikulum Merdeka hadir dengan tujuan mulia, memberikan kebebasan belajar bagi siswa, menciptakan generasi yang mandiri dan kreatif.Â
Namun, dalam praktiknya, kebebasan ini terasa seperti mimpi yang terlalu muluk. Siswa kita belum sepenuhnya siap untuk menjadi pembelajar mandiri.Â
Di tengah rendahnya tingkat literasi nasional, berharap siswa bisa mencerna dan menganalisis materi tanpa bimbingan intensif dari guru adalah hal yang nyaris mustahil.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak siswa masih bergantung pada pengajaran langsung dari guru. Ketika diberikan kebebasan untuk belajar sendiri, mereka sering kebingungan karena fondasi pengetahuan dasar yang seharusnya menjadi pijakan belum kokoh.Â
Ditambah lagi, materi dalam Kurikulum Merdeka sering kali terasa dangkal. Buku-buku ajar yang disediakan kurang mendalam, sehingga siswa dituntut untuk menganalisis sesuatu tanpa bekal pengetahuan yang cukup. Akibatnya, bukan pemahaman yang mereka dapat, melainkan kebingungan.
Jika dibandingkan dengan Kurikulum 2013, yang meskipun dikritik, setidaknya memberikan pembahasan yang lebih komprehensif, Kurikulum Merdeka justru terasa setengah-setengah.Â
Kurikulum 2013 memberikan lebih banyak materi yang terstruktur, dengan pendalaman yang membantu siswa memahami topik secara lebih mendetail.Â
Sementara itu, Kurikulum Merdeka, dengan fokus pada kebebasan dan kemandirian, seolah melupakan pentingnya pondasi pengetahuan yang kokoh.
Harapan ke Depan
Sebagai guru, saya menaruh harapan besar akan perubahan dari Kurikulum Merdeka ini. Namun, banyak hal yang belum sesuai dengan karakter-karakter anak bangsa kita.
Proses yang harus dilalui oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini seharusnya lebih bijaksana jika menjadikan fase awal ini sebagai fase mendengarkan berbagai keluhan dari seantero negeri terhadap Kurikulum Merdeka.
Patut dicurigai bersama viralnya anak SMA yang tidak paham jam analog, dan anak SMP yang tidak bisa perkalian, jangan-jangan ini semua karena Kurikulum Merdeka?
Kita perlu menengok lebih dalam dan mempertanyakan relevansi dan implementasi kurikulum ini. Jangan sampai, dengan semangat untuk memperbaiki pendidikan, kita justru terjebak dalam kebingungan yang mengakibatkan dampak negatif bagi generasi penerus.
Harus diakui, Kurikulum Merdeka ini telah menciptakan kebingungan, dan jika kita tidak segera melakukan evaluasi, kita berisiko kehilangan arah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H