Situasi ini memunculkan berbagai risiko maladministrasi, serta praktik korupsi dalam bentuk penyunatan dana, karena terlalu panjangnya rantai birokrasi dalam distribusi bantuan.
Tanggung jawab tambahan ini juga kerap menjadi sumber tekanan bagi para kepala sekolah, yang bukan ahli konstruksi atau administrasi keuangan.Â
Bayangkan, seorang kepala sekolah dengan latar belakang pendidikan harus mengelola anggaran miliaran rupiah untuk proyek pembangunan yang seharusnya ditangani oleh tenaga profesional.Â
Akibatnya, fokus utama untuk mendidik siswa menjadi terabaikan, dan ini tentu berdampak langsung pada kualitas pendidikan.
Ke depan, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih efisien dalam mengelola proyek infrastruktur pendidikan.Â
Salah satu opsi adalah menggandeng Kementerian Pekerjaan Umum untuk menangani seluruh proyek pembangunan sekolah.Â
Kolaborasi antar kementerian ini akan memastikan bahwa pembangunan infrastruktur berjalan dengan baik dan sesuai standar, tanpa membebani sekolah dengan tanggung jawab yang di luar kompetensinya. Dengan demikian, guru dan kepala sekolah dapat kembali fokus pada tugas utama mereka, mendidik dan memastikan kegiatan belajar mengajar berjalan dengan efektif.
Pemeringkatan Kelas
Salah satu kebijakan pendidikan yang memicu perdebatan adalah penghapusan pemeringkatan kelas. Kebijakan ini menimbulkan banyak pertanyaan mendasar, mengapa peringkat dianggap buruk dalam pendidikan?Â
Dalam berbagai aspek kehidupan, hierarki dan pemeringkatan merupakan bagian yang wajar dan bahkan diperlukan. Dalam agama, ada konsep pemeringkatan iman dan takwa; dalam ekonomi, orang dikelompokkan berdasarkan tingkat kekayaan, dan hal ini diterima sebagai kenyataan yang tidak terhindarkan.
Namun, di ranah pendidikan, justru pemeringkatan dianggap seolah mencederai keadilan dan perkembangan siswa. Penghapusan peringkat kelas seharusnya dikaji ulang.Â