Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Agustusan Seru Tanpa "Saru"

16 Agustus 2024   13:53 Diperbarui: 17 Agustus 2024   13:41 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | KOMPAS/PRIYOMBODO

Aksi-aksi lomba menjelang Agustusan yang penuh dengan kesan "saru" masih digelar dengan alasan klasik, ini inisiatif untuk menciptakan keseruan.

Esensi dari perayaan HUT RI adalah bagaimana kita mengenang jerih payah para pahlawan pendahulu kita dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. 

Tepat 79 tahun lalu, Indonesia dideklarasikan sebagai negara merdeka dengan pembacaan naskah proklamasi oleh Presiden Soekarno. 

Sejarah yang sangat panjang, penuh dengan air mata dan darah, senantiasa menghiasi proses kemerdekaan bangsa ini. 

Beribu nyawa melayang, tanah, air, dan udara menjadi saksi betapa beratnya perjuangan para pendahulu kita. 

Mempertahankan kemerdekaan pun tidak mudah. Agresi Militer Belanda I dan II adalah bukti bahwa perjuangan belum usai. 

Masih ada pihak-pihak yang tetap ingin membuat bangsa kita takluk. Selain itu, sejarah mencatat bahwa paham komunisme hampir meluluhlantakkan bangsa ini dengan gerakan makar yang ingin menggulingkan kekuasaan yang sah dan mengganti ideologi negara.

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan perjuangan nasionalisme, bangsa kita tetap berdiri tegak hingga hari ini, bahkan menjadi pemimpin di kancah global. 

Namun, dalam perayaan kemerdekaan yang seharusnya mencerminkan perjuangan mulia tersebut, ada beberapa hal yang mengusik hati. 

Saat perayaan 17-an digelar di seantero Nusantara, dari Sabang sampai Merauke, kita sering melihat lomba-lomba yang tidak hanya tampak seru tetapi juga mengandung unsur "saru." 

Sayangnya, keseruan ini sering kali membuat kita terlihat seperti bangsa yang jauh dari peradaban yang baik. Aksi-aksi lomba menjelang Agustusan yang penuh dengan kesan "saru" masih digelar dengan alasan klasik, ini inisiatif untuk menciptakan keseruan. 

Padahal, setelah geger aplikasi pemerintah dengan akronim Si Pepek dan Si Montok yang berkonotasi "saru", seharusnya momen ini digunakan sebagai introspeksi. 

Ada apa dengan bangsa ini sehingga aplikasi pemerintah dan perayaan kemerdekaan justru diramaikan dengan hal-hal yang "saru"? 

Jangan-jangan ini mencerminkan realitas bahwa bangsa kita sudah terbiasa dengan konten-konten yang berbau pornografi.

Kecurigaan saya semakin menguat ketika melihat bagaimana pergeseran pola pikir di masyarakat terkait hal ini. Salah satu contohnya adalah beberapa peristiwa di ruang publik yang tampaknya tidak memberikan penekanan pada esensi moral atau etika. 

Ada momen ketika pernyataan resmi yang disampaikan dalam situasi penting tidak menyentuh inti masalah yang melibatkan pelanggaran etika, dan hal tersebut justru disikapi dengan santai. 

Ini menunjukkan betapa pentingnya penghayatan mendalam atas persoalan yang serius, bukan menganggap remeh hal-hal yang jelas-jelas merusak tatanan etika dan moral. 

Fenomena lain yang semakin memperjelas pergeseran ini adalah pernyataan tokoh dalam podcast yang menyebutkan bahwa menonton pornografi adalah hal yang "normal." 

Fenomena ini seolah menunjukkan bahwa ada pergeseran persepsi tentang apa yang dianggap pantas atau tidak pantas di masyarakat kita.

Tidak berhenti di sana, data-data konkret tentang kasus pornografi dan kekerasan seksual menunjukkan bahwa masalah ini semakin mengakar. 

Kompas mencatat 5.566.015 kasus pornografi anak di Indonesia selama 4 tahun terakhir, berdasarkan data National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC). 

Indonesia menduduki peringkat empat internasional dan peringkat dua di ASEAN dalam hal ini. Selain itu, data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan melalui Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 menunjukkan pelaku kekerasan seksual di bawah usia lima tahun sebanyak 10 kasus, usia 6–12 tahun sebanyak 86 kasus, dan usia 13–18 tahun sebanyak 307 kasus. 

Ini mengindikasikan bahwa semakin bertambah usia, semakin banyak yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Pada 2023, databoks.katadata.co.id melaporkan bahwa ada 19.593 kasus kekerasan tercatat di Indonesia selama periode 1 Januari–27 September 2023. 

Dari jumlah tersebut, kekerasan seksual mendominasi dengan 8.585 kasus. Data ini menunjukkan bahwa bangsa kita menghadapi darurat masalah ini.

Fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa bangsa kita sedang berada dalam masa kritis dalam hal moralitas dan etika. 

Bukan hanya soal perayaan Agustusan, tetapi juga bagaimana masyarakat semakin terbiasa dengan konten yang mengandung unsur "saru" dalam kehidupan sehari-hari. 

Media sosial dan akses mudah terhadap konten-konten tidak pantas semakin memperparah situasi ini. Bahkan, anak-anak kita kini menjadi target utama dari konten pornografi dan kekerasan seksual, yang tentu saja dapat merusak masa depan mereka. Jika kita tidak segera bertindak, dampaknya bisa sangat luas bagi generasi mendatang.

Semua ini mungkin terlihat sebagai kebetulan, tetapi jika ditelaah lebih jauh, kita bisa melihat pola yang mencolok. Fenomena akronim "saru", kasus kekerasan seksual, dan lomba Agustusan yang berasosiasi "saru" tampaknya adalah bagian dari algoritma sosial yang muncul akibat preferensi masyarakat terhadap konten pornografi yang tinggi. 

Tanpa disadari, bangsa ini telah terpapar konten-konten berbau pornografi dalam skala yang besar. Hal ini harus menjadi perhatian bersama. 

Apakah mungkin kita, sebagai bangsa, telah bergeser dalam cara memandang "kesaruan" sehingga kini hal itu dianggap normal? Jika benar demikian, ini adalah tanda bahaya bagi bangsa kita.

Pada momen gegap gempita 17 Agustus 2024, perayaan hari ulang tahun ke-79 bangsa kita, mari kita jadikan ini sebagai bahan perenungan. 

Lomba-lomba Agustusan yang seru tetapi "saru" sangat menodai arti dari kemerdekaan bangsa ini yang telah diraih oleh pendahulu kita dengan pengorbanan darah dan air mata. 

Lomba-lomba semacam itu juga merendahkan bangsa kita sebagai bangsa yang beradab. Bukankah masalah "saru" terkait dengan kemaluan? 

Namun, sayangnya kita tidak lagi malu-malu mengekspose lomba-lomba yang berkaitan dengan hal tersebut, bahkan dalam perayaan yang seharusnya menjadi momen paling sakral sebagai warga negara, yaitu hari kemerdekaan. 

Apakah pantas hal itu terus dilestarikan? 

Ini adalah pertanyaan yang harus kita jawab bersama-sama, dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab moral yang besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun