Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Agustusan Seru Tanpa "Saru"

16 Agustus 2024   13:53 Diperbarui: 17 Agustus 2024   13:41 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | KOMPAS/PRIYOMBODO

Sayangnya, keseruan ini sering kali membuat kita terlihat seperti bangsa yang jauh dari peradaban yang baik. Aksi-aksi lomba menjelang Agustusan yang penuh dengan kesan "saru" masih digelar dengan alasan klasik, ini inisiatif untuk menciptakan keseruan. 

Padahal, setelah geger aplikasi pemerintah dengan akronim Si Pepek dan Si Montok yang berkonotasi "saru", seharusnya momen ini digunakan sebagai introspeksi. 

Ada apa dengan bangsa ini sehingga aplikasi pemerintah dan perayaan kemerdekaan justru diramaikan dengan hal-hal yang "saru"? 

Jangan-jangan ini mencerminkan realitas bahwa bangsa kita sudah terbiasa dengan konten-konten yang berbau pornografi.

Kecurigaan saya semakin menguat ketika melihat bagaimana pergeseran pola pikir di masyarakat terkait hal ini. Salah satu contohnya adalah beberapa peristiwa di ruang publik yang tampaknya tidak memberikan penekanan pada esensi moral atau etika. 

Ada momen ketika pernyataan resmi yang disampaikan dalam situasi penting tidak menyentuh inti masalah yang melibatkan pelanggaran etika, dan hal tersebut justru disikapi dengan santai. 

Ini menunjukkan betapa pentingnya penghayatan mendalam atas persoalan yang serius, bukan menganggap remeh hal-hal yang jelas-jelas merusak tatanan etika dan moral. 

Fenomena lain yang semakin memperjelas pergeseran ini adalah pernyataan tokoh dalam podcast yang menyebutkan bahwa menonton pornografi adalah hal yang "normal." 

Fenomena ini seolah menunjukkan bahwa ada pergeseran persepsi tentang apa yang dianggap pantas atau tidak pantas di masyarakat kita.

Tidak berhenti di sana, data-data konkret tentang kasus pornografi dan kekerasan seksual menunjukkan bahwa masalah ini semakin mengakar. 

Kompas mencatat 5.566.015 kasus pornografi anak di Indonesia selama 4 tahun terakhir, berdasarkan data National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC). 

Indonesia menduduki peringkat empat internasional dan peringkat dua di ASEAN dalam hal ini. Selain itu, data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan melalui Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 menunjukkan pelaku kekerasan seksual di bawah usia lima tahun sebanyak 10 kasus, usia 6–12 tahun sebanyak 86 kasus, dan usia 13–18 tahun sebanyak 307 kasus. 

Ini mengindikasikan bahwa semakin bertambah usia, semakin banyak yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Pada 2023, databoks.katadata.co.id melaporkan bahwa ada 19.593 kasus kekerasan tercatat di Indonesia selama periode 1 Januari–27 September 2023. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun