Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Agustusan Seru Tanpa "Saru"

16 Agustus 2024   13:53 Diperbarui: 17 Agustus 2024   13:41 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | KOMPAS/PRIYOMBODO

Dari jumlah tersebut, kekerasan seksual mendominasi dengan 8.585 kasus. Data ini menunjukkan bahwa bangsa kita menghadapi darurat masalah ini.

Fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa bangsa kita sedang berada dalam masa kritis dalam hal moralitas dan etika. 

Bukan hanya soal perayaan Agustusan, tetapi juga bagaimana masyarakat semakin terbiasa dengan konten yang mengandung unsur "saru" dalam kehidupan sehari-hari. 

Media sosial dan akses mudah terhadap konten-konten tidak pantas semakin memperparah situasi ini. Bahkan, anak-anak kita kini menjadi target utama dari konten pornografi dan kekerasan seksual, yang tentu saja dapat merusak masa depan mereka. Jika kita tidak segera bertindak, dampaknya bisa sangat luas bagi generasi mendatang.

Semua ini mungkin terlihat sebagai kebetulan, tetapi jika ditelaah lebih jauh, kita bisa melihat pola yang mencolok. Fenomena akronim "saru", kasus kekerasan seksual, dan lomba Agustusan yang berasosiasi "saru" tampaknya adalah bagian dari algoritma sosial yang muncul akibat preferensi masyarakat terhadap konten pornografi yang tinggi. 

Tanpa disadari, bangsa ini telah terpapar konten-konten berbau pornografi dalam skala yang besar. Hal ini harus menjadi perhatian bersama. 

Apakah mungkin kita, sebagai bangsa, telah bergeser dalam cara memandang "kesaruan" sehingga kini hal itu dianggap normal? Jika benar demikian, ini adalah tanda bahaya bagi bangsa kita.

Pada momen gegap gempita 17 Agustus 2024, perayaan hari ulang tahun ke-79 bangsa kita, mari kita jadikan ini sebagai bahan perenungan. 

Lomba-lomba Agustusan yang seru tetapi "saru" sangat menodai arti dari kemerdekaan bangsa ini yang telah diraih oleh pendahulu kita dengan pengorbanan darah dan air mata. 

Lomba-lomba semacam itu juga merendahkan bangsa kita sebagai bangsa yang beradab. Bukankah masalah "saru" terkait dengan kemaluan? 

Namun, sayangnya kita tidak lagi malu-malu mengekspose lomba-lomba yang berkaitan dengan hal tersebut, bahkan dalam perayaan yang seharusnya menjadi momen paling sakral sebagai warga negara, yaitu hari kemerdekaan. 

Apakah pantas hal itu terus dilestarikan? 

Ini adalah pertanyaan yang harus kita jawab bersama-sama, dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab moral yang besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun