Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

PPDB dalam Dilema Integritas

9 Juli 2024   15:33 Diperbarui: 10 Juli 2024   07:39 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | SUPRIYANTO/KOMPAS

Menyadur istilah yang ditulis oleh Alissa Wahid di Kompas.id yang tayang 2 Juni 2024, "bener ora pener," kata-kata itu terngiang-ngiang ketika beberapa hari yang lalu saya ditugaskan menjadi surveyor yang bertugas memverifikasi faktual berkas ajuan saat pendaftaran PPDB SMA tempat saya mengajar. 

Tugas saya dan tim adalah mencocokkan antara dokumen yang diunggah dengan fakta di lapangan. Tim kami terdiri dari empat orang, salah satunya berasal dari TNI sebagai pengamanan dan saksi atas hal-hal yang terjadi di lapangan.

Banyak fakta tersaji di depan mata saat kami terjun satu per satu ke rumah siswa pendaftar PPDB, dan beberapa fakta terkuak, mengakibatkan beberapa nama pendaftar akhirnya hilang karena dokumen persyaratan tidak sesuai dengan fakta yang ada. 

Tugas ini berlangsung tiga hari, berangkat saat matahari mulai sepenggalah, dan pulang saat matahari mulai menguning di ufuk barat. Keputusan tereliminasi atau tidaknya nama pendaftar bukan dari tim survei. 

Di sekolah kami, segala keputusan tersebut berdasarkan hasil musyawarah dan diskusi yang digelar pada kelompok inti atau kelompok besar. Artinya, tim survei hanya melaporkan dan memberikan rekomendasi.

Sepanjang perjalanan, telinga dan pikiran saya selalu penuh dengan frasa "bener ora pener." Rasanya, setiap kali datang ke rumah pendaftar yang akan disurvei, seakan segala pancaindera menjadi waspada dan selalu membisikkan kewaspadaan dalam frasa tersebut. 

Nyatanya memang demikian, ada beberapa dokumen yang diunggah sebagai syarat PPDB "bener" sesuai dengan persyaratan, tetapi tidak "pener" sesuai dengan yang diharapkan. 

"Bener," pendaftar mengunggah dokumen sesuai jalur pendaftaran yang dipilih. Sebagai contoh, untuk pendaftar jalur zonasi, mereka mengunggah kartu keluarga yang sesuai dengan persyaratan PPDB. 

Namun, persyaratan yang diunggah itu tidak "pener," tidak sesuai dengan kebenaran regulasi yang ada. Mereka benar mengunggah kartu keluarga yang sah, masih berlaku, dan sesuai dengan alamat rumah, tetapi domisili pendaftar sudah tidak lagi berada pada alamat kartu keluarga yang diunggah sebagai syarat pendaftaran PPDB.

Persyaratan yang diunggah menjadi "bener ora pener," sebab merujuk pada Pasal 17 ayat 1 Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 sebagai dasar dari pelaksanaan PPDB Tahun 2024. 

PPDB melalui jalur zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a diperuntukkan bagi calon peserta didik baru yang berdomisili di dalam wilayah zonasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah. 

Jadi, jalur zonasi ini bukan hanya untuk yang memiliki kartu keluarga saja, tetapi juga harus disertai dengan domisili pendaftar pada alamat kartu keluarga tersebut. 

Kalau hanya sekadar memiliki kartu keluarga saja tetapi tidak berdomisili pada alamat sesuai yang tertera di kartu keluarga, inilah yang "bener ora pener." Sesuai syarat, namun tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Modus ini juga pernah saya baca di Kompas.id tentang beberapa pendaftar PPDB di Pulau Jawa yang harus rela mengontrak rumah dekat sekolah yang diinginkan dan memindahkan kartu keluarga pada alamat rumah yang mereka sewa. 

Menurut kabar burung yang beredar, modus ini juga digunakan oleh pendaftar PPDB beberapa tahun silam untuk mendaftar di salah satu sekolah di daerah kami, dan nyatanya terbukti efektif, lolos dan lulus PPDB sesuai persyaratan. 

Lebih parah lagi saat dulu ketika persyaratan jalur zonasi cukup dengan surat keterangan domisili sebagai pengganti kartu keluarga, banyak persyaratan yang "bener ora pener."

Pada jalur perpindahan tugas orang tua juga demikian, "bener ora pener." Memang benar-benar pindah tugas, sayangnya perpindahan tugas itu tidak semakna dengan apa yang dimaksud oleh jalur perpindahan tugas. 

Secara tersirat, jalur ini khusus bagi anak yang orang tuanya berpindah tugas ke daerah tempat peserta didik tinggal saat ini. Jangan protes, ya, karena memang PPDB ini adalah PPDB berbasis zonasi. Jadi, semua jalur tetap menggunakan domisili sebagai titik utama seleksi setelah syarat-syarat lainnya.

Praktik-praktik ini sebenarnya sering terjadi. Jauh sebelum PPDB 2024 ini, banyak orang tua mengakali persyaratan dengan berbagai cara, mulai dari menitipkan anak di kartu keluarga kerabatnya, menggunakan kartu keluarga di rumah kontrakan, atau dulu dengan entengnya meminta surat keterangan domisili. 

Mereka merasa benar karena mampu memenuhi persyaratan sesuai jalur pendaftaran, sayangnya walaupun syarat telah tepat, hal ini tidak sesuai dengan tujuan PPDB zonasi itu sendiri.

Yang menjadi miris adalah bagaimana para orang tua tersebut merasa yakin dan merasa benar saat mereka mampu memenuhi berbagai persyaratan tersebut meskipun tidak sesuai dengan makna PPDB zonasi itu sendiri. 

PPDB bukanlah sarana yang adil bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan; ini malah memberikan efek yang tidak baik. Banyak orang tua menggadaikan integritasnya hanya karena keinginan agar anaknya masuk sekolah yang diinginkan. 

Bukankah ini menjadi peringatan kepada kita semua, bagaimana kejujuran menjadi sesuatu yang dikalahkan ketika hasrat sudah memuncak untuk memiliki sesuatu?

Saya tidak akan berbicara tentang perbaikan regulasi. Saya hanya miris saja melihat betapa banyak dari kita menutup mata dan terbiasa dengan sesuatu yang "bener ora pener." 

Jadi ingat peristiwa dua tahun lalu saat ponsel saya hilang ketika mengikuti acara jalan sehat ulang tahun kota tempat saya tinggal. Ponsel sempat bisa saya hubungi. 

Anak saya yang sulung dalam sebuah chat kepada penemu ponsel meminta agar ponsel bisa dikembalikan. Namun yang membuat saya miris, kesal, dan putus asa adalah ketika si penemu ponsel dengan entengnya menjawab, "Saya tidak mencuri kok." 

Memang benar tidak mencuri, tetapi ponsel itu bukan dimiliki dengan cara yang sah, ditemukan dan diaku jadi miliknya, benar-benar "bener ora pener," persis dengan beberapa kisah yang selalu terjadi saat PPDB digelar. Miris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun