Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menggugat Kemanusiaan pada Praktik Obasute Masa Kini

6 Juni 2024   12:06 Diperbarui: 7 Juni 2024   02:57 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benarkah Panti Jompo bukanlah budaya kita? | ILUSTRASI oleh Shutterstock via Kompas.com

Keberadaan panti jompo tidak seharusnya menjadi pilihan utama atau akhir bagi setiap lansia di Indonesia.

Saya sepakat dengan pernyataan Ibu Tri Rismaharini bahwa panti jompo tidaklah sesuai dengan budaya kita. 

Dari berbagai kisah yang berasal dari panti jompo, banyak sekali cerita pilu yang menyayat hati. Banyak lansia yang ditinggalkan oleh anak-anak mereka, ditelantarkan, atau bahkan tidak diakui oleh anak-anak mereka.

Istilah "sandwich generation" seolah-olah semakin melabeli bahwa orang tua atau lansia menjadi beban bagi anak-anaknya. 

Banyak yang dengan sengaja menitipkan orang tua mereka di panti jompo atau bahkan meninggalkan mereka untuk hidup sendiri tanpa kehadiran anak-anak mereka di rumah.

Praktik-praktik ini mengingatkan saya pada legenda Jepang tentang "ubasute", di mana orang tua ditinggalkan di gunung untuk mati. 

Meskipun mungkin terdengar seperti legenda belaka, nyatanya praktik ini hadir dalam bentuk yang berbeda di zaman sekarang, namun dengan niat yang sama: meninggalkan orang tua.

Bukan Budaya Kita

Sebagai negara yang penuh dengan warna ketuhanan dan keagamaan, meninggalkan orang tua di panti jompo bukanlah solusi manusiawi yang dibenarkan oleh agama manapun di Indonesia. 

Dalam Islam, berkata "ah" saja kepada orang tua adalah sebuah pelanggaran. Apalagi sampai meninggalkan orang tua di panti jompo; bukankah itu sama saja dengan mengabaikan mereka?

Berbakti kepada kedua orang tua bahkan diletakkan setelah konsep ke-Esa-an dalam konsep beragama. Ini menunjukkan betapa agama sebagai prekursor budaya benar-benar mengangkat harkat martabat orang tua. 

Mengabaikan orang tua masuk dalam kategori "tidak berbakti" atau bahkan lebih kasar disebut sebagai "durhaka".

Legenda Malin Kundang adalah bukti bagaimana budaya kita sangat mengagungkan keberadaan orang tua. 

Konsep berbakti dan merawat orang tua adalah kewajiban dan kebaikan yang sudah sepantasnya dilakukan oleh setiap anak. 

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, sudah seharusnya kita memperlakukan orang tua kita dengan penuh kasih sayang dan penghormatan.

Berhak Bahagia

Orang tua juga manusia, memiliki berbagai hak dasar untuk tetap diperlakukan sebagai manusia seutuhnya. 

Jangan memandang mereka sebagai residu dari kehidupan yang perlu disingkirkan karena mereka tak lagi produktif. 

Seringkali, orang tua atau lansia tanpa sadar mengalami diskriminasi dalam berbagai hal, menganggap mereka sebagai seseorang yang "pernah merasakan," sehingga seringkali mereka "dikalahkan" dalam berbagai keadaan.

Padahal, orang tua tetap memiliki hak untuk bahagia. Kebahagiaan itu adalah dengan tetap berkumpul bersama anak-anak mereka yang kini telah tumbuh dewasa dan memiliki kehidupan baru. 

Menempatkan mereka di panti jompo berarti telah merenggut hak mereka untuk bahagia, hak mereka untuk berkumpul bersama orang-orang yang dulu mereka perjuangkan agar tetap hidup layak.

Tidak Manusiawi

Bukankah meninggalkan orang tua di panti jompo sama saja dengan ubasute yang termodifikasi oleh zaman? 

Praktik ini sangat familiar sebagai hikayat dari negeri sakura ratusan tahun yang lalu. 

Ubasute, yang dimaknai sama dengan oyasute, berarti meninggalkan orang tua untuk mati. Saya pikir praktik ini termasuk dalam praktik genosida, mengenyahkan "ras" orang tua.

Mungkin saat ini mereka tidak lagi ditinggalkan di gunung atau tempat terpencil seperti dalam ubasute. 

Mereka juga mungkin tidak ditinggalkan seorang diri tanpa pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup. 

Namun, para orang tua ini ditinggalkan begitu saja di panti jompo. Mereka tidak dibiarkan mati, tapi kehidupan yang mereka rasakan telah mati. 

Harapan kebahagiaan saat memasuki usia senja telah hangus lenyap sesaat setelah mereka ditinggalkan di panti jompo.

Rasanya hati pun teriris membayangkan masa tua yang sekejam ini. Benar-benar tidak manusiawi!

Ancaman Budaya Bermartabat

Saya khawatir melazimkan orang tua di panti jompo akan menggeser martabat kita sebagai manusia. 

Kemanusiaan kita menjadi tumpul, apatis terhadap rasa belas kasih dan sayang terhadap sesama. 

Sebab, jika dengan orang tua sendiri saja kita mampu meninggalkan, apalagi dengan orang lain? 

Ketika hal ini menjadi lumrah, akan jadi apa bangsa ini ketika orang tua sudah tidak ada lagi harganya di mata anak-anaknya sendiri?

Tatanan etika akan rontok, dan manusia tidak lagi berharga. Manusia diperlakukan bak barang: bagus tetap disimpan, usang tinggal dibuang. 

Meninggalkan orang tua di panti jompo mencederai rasa kemanusiaan. Jangan sampai hal ini justru menjadi sesuatu yang diagungkan, sehingga menjadi budaya baru yang tidak bermartabat bagi bangsa ini.

Di Mana Martabat Kita?

Pertanyaannya adalah, di mana martabat kita sebagai manusia jika pada ibu dan ayah yang telah merawat dan membesarkan kita, kita justru abai saat mereka menjadi lemah dan tak berdaya sama seperti saat kita dalam dekapan mereka sesaat setelah Tuhan mengizinkan kita lahir ke dunia?

Dalam angan, kelak saya ingin menjalani masa tua dengan penuh kebahagiaan. Hidup bersama dengan anak, menantu, dan cucu. 

Masa tua diharapkan menjadi puncak kebahagiaan, masa beristirahat dari segala penat beragam aktivitas perjuangan hidup. 

Kehidupan datang silih berganti bak siklus. Kematian dan kelahiran selalu beriringan, dan menua adalah konsekuensi dari proses kehidupan yang pasti dijalani. 

Semuanya berlaku sebab akibat, aksi potensi, apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai.

Demi masa tua yang membahagiakan, selayaknyalah para orang tua harus mempersiapkan masa depan ini sejak dini, bahkan sejak anak-anak masih berada di dalam kandungan. 

Membisikkan berbagai harapan baik sejak mereka dalam kandungan, membuainya dengan cinta dan kasih sayang pada tumbuh kembang mereka, memberikan pendidikan dan penghidupan yang layak. 

Ajaran tentang ketuhanan dan agama menjadi titik utama yang harus senantiasa kita tanamkan sejak mereka berada di dalam kandungan.

Merawat orang tua adalah sebuah konsep tentang kemanusiaan, etika, dan moralitas. Mengabaikannya adalah manifestasi dari pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan. 

Nilai-nilai ini diharapkan akan tumbuh bersama dengan tumbuh kembangnya generasi muda bangsa ini. Merawat orang tua adalah bentuk dari kemartabatan. 

Inilah yang membedakan kita dengan makhluk hidup lainnya: memiliki akal budi dan rasa kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun