Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Penggerak: Opsionalitas dan Paradoks Tujuan Nasional Pendidikan

3 Mei 2024   00:26 Diperbarui: 3 Mei 2024   04:40 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan guru penggerak adalah sebuah program yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sifatnya opsional. Padahal, tercapainya tujuan nasional pendidikan bukanlah sebuah pilihan, melainkan kewajiban yang harus dicapai.

Nyala guru penggerak yang diilhami dari filosofi Ki Hajar Dewantara, yang menganalogikan guru sebagai pemimpin pembelajaran, adalah seorang petani yang tidak akan mengubah padi menjadi jagung, tapi bagaimana merawat dan menjaga padi untuk menjadi padi terbaik. 

Filosofi ini tercermin dalam peran guru penggerak sebagai pemimpin pembelajaran yang akan membantu siswa untuk menemukan kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga menemukan potensi terbaiknya.

Sayangnya, guru penggerak adalah program opsional, padahal nyala dari filosofi ini sangat penting bagi tujuan nasional pendidikan bangsa kita.

Harus ada perubahan pola pikir bahwa guru penggerak adalah sebuah program pendidikan bagi guru yang sifatnya opsional, tidak wajib. 

Tentu saja perubahan pola pikir ini bukan pada kita, tapi ini adalah sebuah usulan bagi pemerintah, bahwa sebenarnya program pendidikan guru penggerak ini seharusnya menjadi kegiatan yang sifatnya wajib bagi seorang guru. 

Bukan masalah karir, sebagai prasyarat untuk menuju karir berikutnya sebagai kepala sekolah ataupun pengawas. Ini adalah masalah nasib bangsa.

Akan ada kepincangan dalam pendidikan jika ada guru penggerak dan guru bukan (tidak mau) penggerak. Padahal setiap guru harusnya menjadi seorang pemimpin pembelajaran di kelas, garda depan dalam perubahan peradaban. 

Namun bagaimana jika program pendidikan guru penggerak hanya program yang opsional?

Tidak Menarik

Buktinya dari 60 guru, sampai dengan tahun 2023 akhir, sekolah kami hanya memiliki satu guru penggerak. 

Terus terang, saya termasuk dalam golongan guru yang malas. Guru yang enggan bergerak, seperti yang dikatakan salah satu teman, masuk dalam kategori guru yang "halah", halah untuk apa, halah nanti repot, halah males lah, pokoknya malas, dan ternyata apa yang saya rasakan ini mewakili beberapa teman yang juga memiliki sikap yang sama.

Tunggu, saya jelaskan agar tidak menjadi makna yang negatif. Malas di sini adalah malas mengikuti berbagai kegiatan yang opsional atau pilihan. 

Tentu saja tugas pokok sebagai guru tetap terlaksana dengan baik, tapi sungguh malas untuk berpartisipasi dalam kegiatan pilihan, bebas untuk mengikuti atau tidak.

Padahal, berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan ini sangat penting untuk meningkatkan kompetensi kita sebagai seorang guru. 

Namun, jika pendidikan guru penggerak ini tetap opsional, tentu saja ini seharusnya menjadi masalah. Pendidikan akan menjadi tidak seimbang dalam satu sekolah. 

Bayangkan, tentu akan ada perbedaan situasi di kelas antara guru yang telah memahami konsep pembelajaran berdiferensiasi dan konsep segitiga restitusi. 

Lalu, bagaimana kualitas pendidikan akan tetap sama jika pendidikan guru penggerak tetap menjadi opsional?

Pemerataan Pendidikan

Apalagi dengan PPDB zonasi, seharusnya pemerintah lebih mendorong seluruh guru untuk memiliki kompetensi yang seimbang pada setiap daerah. 

Sebab, dengan PPDB zonasi, seluruh layanan diharapkan sama, tanpa perbedaan antara satu sekolah dengan yang lain. Namun, kenyataannya di lapangan, perbedaan dan gradasi antar sekolah itu nyata. Masih banyak sekolah yang diberi label favorit dan non-favorit.

Sebuah analogi sederhana, padi yang sama pada sawah yang sama diproses dengan menggunakan mesin yang berbeda. Satu kantung gabah diproses menggunakan teknologi terkini, sementara kantung lainnya diproses secara manual. 

Tentu saja akan ada perbedaan hasilnya. Gabah yang diproses menggunakan teknologi terkini akan menghasilkan beras kualitas premium dengan minimum beras yang pecah. Namun, jika gabah diproses secara manual, kadar beras pecahnya akan lebih tinggi.

Hal yang sama berlaku dalam dunia pendidikan. Masih banyak perbedaan kompetensi guru yang disebabkan oleh kondisi geografis. Sekolah yang berada di kota biasanya memiliki lebih banyak akses informasi terkini tentang pendidikan. 

Namun, di daerah pelosok dengan keterbatasan akses internet dan listrik, situasinya tentu akan berbeda.

Bagaimana mungkin kualitas pendidikan akan tetap sama jika perbedaan kompetensi guru terus berlanjut dengan adanya pendidikan guru penggerak yang hanya opsional semata? 

Diskriminasi

Tidak hanya diskriminasi status, antara pelabelan guru penggerak dan bukan guru penggerak, tentu saja yang paling fatal pasti terjadi perbedaan ataupun diskriminasi kompetensi antara guru penggerak dan bukan penggerak. 

Terus terang saya malu jika harus menuliskan ini, bahkan saya gelagapan saat awal ditanya tentang pembelajaran berdiferensiasi. Saya juga malu terlihat gelagapan saat ditanya tentang segitiga restitusi.

Ada banyak hal yang diperoleh ketika menjadi guru penggerak. Tentunya ini akan menjadi peluang perbedaan yang sangat signifikan jika pendidikan guru penggerak menjadi program opsional bagi seorang guru. 

Bagi guru bukan guru penggerak, bisa jadi pengetahuan tentang dunia pendidikan ya itu-itu aja. Andaikan ada yang pengetahuannya setara dengan guru penggerak, ya berarti dia adalah guru yang aktif dalam mengupgrade informasi. 

Tapi coba dihitung ada berapa banyak guru yang bukan guru penggerak yang memiliki kompetensi yang sama dengan guru penggerak, pasti hanya hitungan jari.

Padahal guru adalah garda depan dalam pembentukan peradaban bangsa, yakin dengan beberapa gelintir guru penggerak dalam satu sekolah bisa memantik pendidikan sesuai dengan arah tujuan nasional pendidikan?

Guru Penggerak Bukanlah Pilihan

Jadi guru penggerak bukanlah sebuah hal pilihan, tapi harusnya menjadi sebuah kewajiban. Bukan siapa yang mau, tapi semuanya harus mau.

Bukan masalah siapa yang mau dan siapa yang lulus seleksi guru penggerak, tapi ini masalah pendidikan loh, masalah kita bersama, masalah bangsa kita, bagaimana kita mencoba membangun peradaban yang baik sesuai dengan tujuan nasional pendidikan. 

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepertinya wajib mendesain bagaimana pendidikan guru penggerak menjadi agenda utama bagi seorang guru. 

Sebab guru yang terdidik sesuai dengan perkembangan zaman akan lebih mampu memberikan pembelajaran yang maksimal sesuai dengan zaman. Pembelajaran ini diharapkan menjadi efektif sehingga tujuan nasional pendidikan tercapai.

Bayangkan jika negeri ini dipenuhi oleh guru-guru yang menyala semangatnya karena pendidikan guru penggerak. 

Guru yang penuh kompetensi, paham bagaimana cara mengajar, dan paham dengan berbagai instrumen dan teknologi yang mampu mendorong pembelajaran efektif, Indonesia akan maju. 

Seluruh guru harus menjadi guru penggerak, sehingga mampu menjadi guru yang up to date sehingga terupgrade.

Bayangkan jika gurunya saja sebagai motor pendidikan sudah terupgrade, yakin, nyala pendidikan perubah peradaban di depan mata. 

Tentu saja ini harus dibahas dengan serius dan lebih dalam, jangan sampai justru agenda ini menjadi masalah baru di dunia pendidikan, misalnya saja dengan durasi waktu yang lebih singkat, atau berbagai mekanisme lain yang memudahkan.

Ini adalah sebuah saran bagi pemerintah dan para pemangku kebijakan, demi anak-anak bangsa, karena guru lah garda terdepan dalam peradaban negeri.

Yah itung-itung artikel ini sebagai sebuah refleksi bersama saat hari pendidikan nasional di tengah gegap gempitanya program guru penggerak sampai dengan saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun